Punan Batu Berperan Penting dalam Kajian Genetika

- Editor

Senin, 22 Oktober 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Genetika orang Punan Batu di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, memberi informasi penting adaptasi dan metabolisme tubuh para pemburu dan peramu di area tropis. Kecilnya populasi mereka memicu perkawinan antarsepupu dan berpeluang terjadi akumulasi mutasi genetik.

Kajian kehidupan para pemburu dan peramu lebih banyak dilakukan di area beriklim kering Afrika, terutama masyarakat Hadza di Tanzania. Studi pemburu peramu di hutan hujan tropis masih amat terbatas.

”Riset komprehensif tentang pemburu dan peramu Kalimantan baru kali ini kami lakukan bagi Punan Batu. Sebelumnya, kami mengkaji Punan Aput dan Punan Tubu, tetapi mereka sudah meninggalkan budaya berburu dan meramu,” kata Wakil Direktur Lembaga Eijkman, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Herawati Sudoyo Supolo, Sabtu (20/10/2018), di Bulungan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Studi pada Punan Batu melihat kaitan genomik dengan struktur populasi, distribusi penyakit, dan dinamika migrasi. ”Dari sudut keanekaragaman, dipelajari variabel memengaruhi corak unik populasi ini, di antaranya kekerabatan dan terkait penyakit endemik,” katanya.

–Para peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman tengah memeriksa tekanan darah orang Punan Batu di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, Jumat (19/10/2018). Hasil tes cepat (rapid test) terhadap terhadap tekanan darah, gula darah, dan profil lipid, menunjukkan bahwa komunitas Punan Batu sangat sehat. Hal ini kemungkinan dipengaruhi pola diet dan aktivitas fisik yang tinggi. Kompas/Ahmad Arif

?Selama sepekan melakukan survei, Tim Eijkman telah mengumpulkan materi genetik dari 36 orang Punan Batu. Sebagaimana diberitakan sebelumnya, orang Punan Batu hidup berpindah-pindah di dalam hutan di sekitar hulu Sungai Sajau, Kabupaten Bulungan. Hingga saat ini, sebagian besar di antara mereka belum memiliki identitas kependudukan dan tidak terlayani fasilitas kesehatan (Kompas, 19/10/2018).

?Peneliti Eijkman, Pradiptajati Kusuma mengatakan, materi genetik ini akan dianalisis dengan metode termutakhir, yaitu pengurutan total genom (whole genome sequensing). “Kami akan melihat terjadinya mutasi deleterious akibat kawin sepupu di komunitas ini. Seberapa besar pengaruh negatifnya atau sebaliknya bagaimana tubuh mereka bisa menahan hal ini,” kata dia.

?Menurut Pradiptajati, dari 36 orang Punan Batu yang diteliti, golongan darahnya hanya O dan A, yang menunjukkan mereka rata-rata merupakan komunitas yang tertutup dan berkerabat. Hal itu diperkuat dari hasil wawancara yang menyebutkan, banyak di antara mereka menikah antar sepupu.

?Dalam banyak kasus, komunitas kecil yang menikah antarsepupu dekat berpeluang memunculkan mutasi genetik yang merugikan. Itu terjadi misalnya pada masyarakat Desa Bengka di Kabupaten Singaraja, Bali. Berdasarkan studi Suryana Winata (1995), ada 2,2 persen populasi di desa itu mengalami tuna rungu akibat terjadinya pernikahan dengan hubungan genetik berdekatan.

?“Studi serupa di India dan beberapa negara lain juga menunjukkan adanya mutasi deleterious ini. Sejauh ini kami belum tahu dampaknya di Punan Batu. Apakah mereka mengalami juga kelainan genetik, atau sebaliknya tubuh mereka mampu melawan pengaruh negatifnya. Ini kaitannya sangat dekat dengan proses seleksi alam,” kata dia.

Metabolisme Tubuh
?Peneliti senior Lembaga Eijkman, Safarina G. Malik, hasil tes cepat (rapid test) terhadap terhadap tekanan darah, gula darah, dan profil lipid, menunjukkan komunitas Punan Batu sangat sehat. “Hampir semua tesnya hasil bagus dan tidak ada yang mengalami obesitas. Ini mungkin dipengaruhi pola diet dan aktivitas fisik yang tinggi,” kata dia.

?Orang Punan Batu rata-rata masih mengonsumsi umbi-umbian hutan sejenis diocorea, ikan, dan berbagai binatang liar. Komposisi protein dalam pola makan mereka umumnya lebih tinggi dibandingkan karbohidrat dengan aktivitas fisik, yaitu jalan kaki di hutan, rata-rata 5 – 8 jam per hari.

?Dari pantauan, kehidupan masyarakat Punan Batu di Kabupaten Bulungan sedang mengalami transisi budaya akibat perubahan lingkungan. Keberadaan binatang buruan semakin terbatas, demikian juga dengan umbi-umbian hutan, akibat perusakan hutan dan perluasan perkebunan sawit. Sebagian warga Punan Batu sudah beralih mengonsumsi beras. “Ini jadi kesempatan terakhir untuk memelajari pemburu dan peramu di Kalimantan,” kata Herawati.–AHMAD ARIF

Sumber: Kompas, 22 Oktober 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Berita ini 3 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Rabu, 2 Juli 2025 - 18:46 WIB

Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Jumat, 27 Juni 2025 - 05:33 WIB

Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah

Berita Terbaru

Fiksi Ilmiah

Bersilang Nama di Delhi

Minggu, 6 Jul 2025 - 14:15 WIB

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB