Berada di Zona Wallacea, masyarakat di Pulau Seram, Maluku, memiliki posisi penting untuk memahami pembauran dan asal-usul manusia di Indonesia. Dari aspek bahasa, warga pulau ini menuturkan Austronesia, tetapi secara fisik memiliki kedekatan dengan masyarakat Papua.
Zona Wallacea merupakan wilayah kepulauan di Indonesia, yang ada di sebelah timur Pulau Kalimantan dan barat Papua. Zona itu awalnya dibuat ahli ilmu alam Alfred Russel Wallace untuk membedakan fauna di Kalimantan, Sumatera, Jawa, hingga Bali, dengan yang ada di Wilayah Papua.
Wilayah Wallacea, terdiri dari Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Maluku Utara, hingga Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat itu, dikenal sebagai zona antara dari dua area biogeografi Indonesia bagian barat dan timur. Zona itu memiliki fauna dari wilayah Indonesia barat yang pernah bergabung dengan daratan Asia dan dari bagian timur yang pernah bergabung dengan Australia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, pemisahan untuk memetakan penyebaran fauna itu ternyata berimpit dengan diaspora manusia Indonesia di masa lalu. “Orang Melayu mendiami hampir semua bagian barat kepulauan (Nusantara) itu, sedangkan Papua mendiami New Guinea (Pulau Papua) dan beberapa pulau di dekatnya…,” sebut Wallace pada buku The Malay Archipelago (1869).
Belakangan penggolongan manusia Indonesia di bagian barat sebagai “Melayu” dinilai tak tepat. Kajian ahli bahasa Peter Bellwood memetakan, manusia Indonesia di sebelah barat berbahasa Austronesia asal Formosa, Taiwan (teori out of Taiwan) dan diperkirakan tiba di Nusantara sekitar 4.500 tahun lalu. Selain dituturkan di Indonesia dan Taiwan, bahasa Austronesia menyebar di Filipina, Kepulauan Pasifik, dan Madagaskar.
Kajian lebih mendalam dengan metode genetika menemukan, masyarakat yang secara bahasa dipetakan menuturkan Austronesia juga memiliki keragaman asal-usul. Orang Jawa, misalnya, lebih dominan unsur Austroasiatik-dari daratan Asia, utamanya selatan China-dibandingkan Austronesia.
Demikian halnya, di Papua sendiri amat beragam, secara fisik ataupun bahasa berjumlah lebih dari 270. Kajian genetika menunjukkan, orang Papua berasal dari migran awal dari Afrika yang tiba di Nusantara sekitar 50.000 tahun lalu (teori out of Afrika), lalu sebagian dari mereka menyeberang dan dikenal sebagai Aborigin Australia.
Kajian budaya menunjukkan interaksi budaya Austronesia dan Papua berlangsung lama. Itu, misalnya, tampak dari tradisi menyirih dan menginang dari Austronesia yang membudaya di Papua. Sebaliknya, arsitektur rumah penutur Austronesia di Wae Rebo, Flores, menunjukkan peminjaman kebudayaan Papua. Jelas ada interaksi kebudayaan antara dua penutur besar di Nusantara asal dua kelompok migran yang datang dalam rentang waktu amat jauh itu.
Adanya pembauran kebudayaan ini menunjukkan pentingnya posisi pulau-pulau di Zona Wallacea, termasuk Pulau Seram, yang jadi semacam jembatan penghubung antara Indonesia bagian barat dan timur.
Migrasi dan pembauran
Untuk memahami komposisi dan pembauran Austronesia dan Papua masa lalu ini secara saintifik, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi beberapa tahun terakhir meneliti genetika di Zona Wallacea. Sebelumnya, kajian lebih banyak dilakukan di Nusa Tenggara Timur, seperti di Sumba dan Alor, yang menemukan ada pembauran genetik Austronesia dan Papua di sana.
Kali ini, kajian dilakukan di Pulau Seram, di Maluku. “Pengambilan sampel genetik akan dilakukan di empat populasi di Pulau Seram,” kata Isabella Apriana, peneliti Eijkman, di Masohi, Senin (8/5).
Empat populasi itu berasal dari Negeri Administratif Nua Nea, Negeri Huahulu, Negeri Saleman, dan Negeri Sawai. Negeri merupakan sebutan desa adat di Pulau Seram. Tiap populasi tradisional di desa berbeda itu memiliki kemiripan budaya, seperti ciri khas ikat kepala merah ataupun tarian meski punya penamaan berbeda.
Dari aspek antropologi, sebagaimana dikaji Valerio Valeri (2000), masyarakat Huahulu yang tinggal di kaki Gunung Binaya dinilai sebagai yang tertua. Namun, tiap negeri memiliki klaim bahwa mereka paling tua. Misalnya, Musrifai Rumaolat, tokoh adat dari Negeri Saleman mengatakan, warga di desanya lebih tua dibanding Huahulu.
Riset genetika, menurut Deputi Direktur Eijkman Herawati Sudoyo, diharapkan bisa menjelaskan komposisi asal-usul leluhur masyarakat Seram, proses diaspora, dan pembaurannya. Dalam kajian sebelumnya di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, Tim Eijkman menemukan kesesuaian cerita lisan dengan uji DNA tentang asal-usul dan diaspora leluhur masyarakat di pulau itu. Ditemukan, leluhur masyarakat Sumba tertua berasal dari Desa Wunga di Sumba Timur. Masyarakat Sumba juga merupakan paduan genetika Papua dan Austronesia.
Dengan membandingkan DNA orang Seram dengan populasi masyarakat lain, kajian ini melengkapi peta genetika manusia Indonesia. Kekerabatan dan interaksi orang Seram dengan masyarakat Indonesia lain juga bisa dipetakan.
Sejauh ini, Lembaga Eijkman telah memetakan genetika terhadap sekitar 80 persen populasi manusia Indonesia dalam 16 tahun terakhir. Kajian-kajian sebelumnya menguatkan kompleksitas dan keberagaman asal-usul manusia Indonesia. Setidaknya ada empat gelombang kedatangan manusia ke Indonesia, yaitu dari Afrika, dari daratan Asia, dan Formosa (Taiwan), sebelum ada migrasi belakangan di era sejarah dari India, Arab, Tiongkok, dan Eropa.–AHMAD ARIF
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Mei 2017, di halaman 14 dengan judul “Jembatan Indonesia Barat-Timur”.