Home / Berita / Plagiarisme Marak di Perguruan Tinggi

Plagiarisme Marak di Perguruan Tinggi

Plagiarisme di perguruan tinggi, baik oleh mahasiswa, dosen, maupun tenaga kependidikan lain, masih marak. Nyaris seribu kasus plagiarisme pernah ditemukan dalam sertifikasi dosen. Pencegahan perlu dilakukan, diiringi penegakan kode etik keilmuan.

Hal itu terungkap dalam dalam seminar “Plagiarisme dalam Perspektif Etika dan Hukum”, di Jakarta, Kamis (16/4). Seminar yang dilaksanakan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kementerian Ristek dan Dikti) bekerja sama dengan Universitas Sebelas Maret itu dihadiri perwakilan perguruan tinggi, kepolisian, dan kejaksaan. Pembicara ialah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jimly Asshiddiqie, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Widyo Pramono, dan pengajar Universitas Sebelas Maret, Adi Sulistiyono.

Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan Kementerian Ristek dan Dikti Supriadi Rustad mengatakan, plagiarisme mulai dari portofolio, artikel, proposal, skripsi, tesis, disertasi, dan buku. Dalam kasus pengurusan sertifikasi dosen, misalnya, pada 2011, ditemukan praktik copy paste seperti portofolio atau karya ilmiah 3.000 kasus. Kasus serupa masih terjadi pada 2013, dengan ditemukan 800 kasus. Belum lagi ketika pengurusan pangkat dosen atau guru besar.

“Penanganan plagiarisme secara internal oleh kampus terkesan lama. Ada pemikiran untuk membentuk mahkamah kode etik di Kementerian Ristek dan Dikti yang bisa bekerja sama dengan dewan kehormatan atau etik di perguruan tinggi,” tutur Supriadi.

Dalam pembukaan seminar, Menteri Ristek dan Dikti Muhammad Nasir mengatakan, plagiarisme harus diatasi untuk menghasilkan sumber daya manusia bermartabat. Ketika pemerintah mendorong perguruan tinggi meningkatkan karya ilmiah untuk dipublikasikan dan dikembangkan jadi prototipe atau produk inovasi, persoalan keaslian karya jadi masalah penting. “Kita mengumpulkan masukan untuk menangani plagiarisme,” katanya.

Etika keilmuan
Menurut Jimly, etika yang diatur di perguruan tinggi bukan cuma soal plagiarisme, melainkan juga etika keilmuan agar bisa berfungsi dengan baik. Untuk itu, pembentukan mahkamah etika keilmuan dirasakan perlu. Senada dengan Jimly, Adi Sulistiyono mendorong pembentukan mahkamah kehormatan etika dosen.

Widyo Pramono berpendapat, efek jera untuk tindak plagiarisme bisa saja diberikan dengan memberlakukannya sebagai tindak pidana korupsi, bukan sekadar pelanggaran hak cipta. “Apa jadinya sumber daya manusia Indonesia jika praktik copy paste atau plagiarisme marak di perguruan tinggi,” kata Widyo. (ELN)
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 April 2015, di halaman 12 dengan judul “Plagiarisme Marak di Perguruan Tinggi”.

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published.

%d blogger menyukai ini: