Selama ini masyarakat beranggapan galaksi Bimasakti, tempat tata surya kita berada, digambarkan rata. Padahal, sejak lama para astronom mengetahui bahwa sebenarnya galaksi Bimasakti tidaklah rata, tetapi melengkung.
APOD.NASA.GOV/MICHAEL GOH—Galaksi Bimasakti yang dipotret di atas Taman Nasional Nambung Australia Barat.
Sejak pertengahan abad ke-20, astronom telah mengetahui bahwa piringan galaksi kita, Bimasakti, tidaklah rata seperti yang digambarkan selama ini. Pinggir piringan Bimasakti sejatinya melengkung ke bawah dan ke atas di sisi yang berbeda. Namun, sampai saat ini astronom belum tahu pasti apakah bagian yang melengkung itu bergerak atau tidak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selama ini, Bimasakti digambarkan sebagai galaksi spiral yang memiliki beberapa lengan galaksi yang berisikan ratusan miliar bintang. Matahari terletak di salah satu lengan galaksi dan berada di bagian tengah cakram piringan galaksi. Sementara cakram piringan galaksinya digambarkan datar atau rata.
Namun, pengamatan melalui panjang gelombang radio menunjukkan tepian piringan Bimasakti tidaklah rata seperti yang digambarkan selama ini. Di salah satu sisi pinggir piringan Bimasakti itu melengkung ke bawah, sedangkan pinggiran piringan di sisi yang lain justru melengkung ke atas.
Žofia Chrobáková, mahasiswa doktoral di Institut Astrofisika Kepulauan Canary (IAC), Spanyol, seperti dikutip Live Science, Kamis (3/6/2021), mengatakan, lengkungan di pinggir piringan galaksi itu adalah hal umum pada galaksi spiral.
Sejumlah teori diajukan berbagai ilmuwan untuk menjelaskan fenomena lengkungan di pinggir piringan Bimasakti tersebut. Studi Dorota M Skowron dan rekan di jurnal Science, 2 Agustus 2019, dan dikutip BBC menyebut, lengkungan pinggir piringan galaksi itu terjadi akibat interaksi dengan galaksi lain di dekat Bimasakti.
Dikutip dari situs Badan Antariksa Eropa (ESA), 2 Maret 2020, dugaan lain yang bisa memicu lengkungan pinggir piringan Bimasakti itu antara lain pengaruh medan magnet antargalaksi, pengaruh halo materi gelap yang menyelubungi Bimasakti, atau keberadaan materi sangat besar yang tidak terlihat yang mengelilingi Bimasakti.
KOMPAS/THE INSTITUTO DE ASTROFISICA DE CANARIAS (IAC)—-Pemodelan yang menggambarkan wujud cakram piringan galaksi Bimasakti yang tidak rata, tetapi melengkung ke bawah di satu sisi dan melengkung ke atas di sisi yang lain. Bentuk lengkungan dan pinggir piringan Bimasakti itu salah satunya diduga akibat perputaran atau rotasi Bimasakti pada porosnya yang berputar sambil naik turun seperti wahana ombak banyu di pasar malam.
Dari data pemetaan bintang menggunakan satelit Gaia milik ESA, lengkungan di pinggir piringan Bimasakti itu diduga akibat tabrakan yang sedang terjadi antara Bimasakti dan galaksi lain di dekatnya yang lebih kecil ukurannya dibandingkan Bimasakti. Tabrakan itu memicu terjadinya riak di piringan galaksi, mirip riak yang muncul saat kita melempar batu ke permukaan air.
Sejumlah teori lain menyebutkan lengkungan itu terbentuk akibat adanya galaksi lain di dekat Bimasakti yang berukuran lebih kecil dan mengorbit Bimasakti sebagai galaksi yang lebih besar. Tarikan satelit galaksi itu akan menimbulkan gaya tarik gravitasi dan menghasilkan riak-riak hingga piringan Bimasakti menjadi melengkung.
Berbagai ide soal pembentukan lengkungan di piringan Bimasakti itu akan menghasilkan lengkungan yang bersifat aktif. Artinya, lengkungan itu juga akan berputar cepat bak gasing seperti gerak bagian lain pada piringan galaksi. Fenomena gerak piringan galaksi ini dinamai presesi.
”Jika kita tahu seberapa cepat lengkungan itu berputar, itu akan menjadi satu puzzle yang bisa mengungkap banyak informasi tentang bagaimana lengkungan itu terbentuk,” tambah Chrobáková.
Tahun lalu, Eloisa Poggio dan rekan di jurnal Nature Astronomy, 2 Maret 2020, menyebut gaya rotasi dan gangguan gravitasi dari berbagai sumber akan membuat piringan Bimasakti bergoyang naik turun seperti gasing atau wahana ombak banyu di pasar malam. Gerakan ini juga bisa memicu lekukan di pinggir piringan Bimasakti. Piringan Bimasakti yang melengkung itu juga ikut berputar atau berotasi terhadap pusat galaksi.
Rotasi Bimasakti
Studi Xinlun Cheng dan rekan yang dipublikasikan di The Astrophysical Journal, 11 Desember 2020, menyebut, bagian piringan Bimasakti yang melengkung itu bergerak mengorbit pusat galaksi dengan periode mencapai 600 juta-700 juta tahun untuk satu kali putaran. Ini jauh lebih cepat dibandingkan prediksi yang dilakukan ilmuwan lain menggunakan pemodelan yang berbeda, seperti melihat efek halo non-sferis.
”Ini lebih cepat hampir 10 kali lipat dibandingkan pemodelan sebelumnya,” kata Chrobáková. Bandingkan dengan waktu yang dibutuhkan matahari untuk satu kali mengelilingi pusat Bimasakti yang mencapai 220 juta tahun. Kecepatan Matahari mengelilingi pusat Bimasakti lebih cepat karena posisi Matahari ada di tengah piringan Bimasakti atau lebih dekat ke pusat Bimasakti dibandingkan lengkungan Bimasakti yang ada di pinggir.
Namun, studi terbaru Chrobáková dan Martín López-Corredoira, juga dari IAC, menemukan bahwa kecepatan gerak lengkungan di pinggir piringan Bimasakti tidak secepat itu. Perhitungan ini juga dilakukan menggunakan data bintang dari satelit Gaia, tetapi menggunakan pemodelan yang berbeda.
Hasilnya, Chrobáková dan López-Corredoira menemukan lengkungan di pinggir piringan Bimasakti itu bergerak 3,4 kali lebih lambat dibandingkan temuan sebelumnya yang mencapai 600 juta-700 juta tahun untuk satu kali putaran. Temuan ini dipublikasikan di The Astrophysical Journal, 13 Mei 2021.
KOMPAS/J SKOWRON/OGLE/ASTRONOMICAL OBSERVATORY UNIVERSITY OF WARSAW,—-Pemodelan lengkungan cakram di pinggir piringan Bimasakti dengan distribusi bintang-bintang muda Cepheid (bintang muda yang masif, panas, dan berdenyut dan dijadikan sebagai indikator jarak dalam pengukuran astronomi) di piringan Bimasakti.
Temuan Chrobáková dan López-Corredoira membuat studi tentang gerak lengkungan di pinggir piringan Bimasakti kembali ke tahap awal, kembali pada pertanyaan dasar apakah lengkungan itu bergerak atau kalau bergerak seberapa cepat dia memutari inti Bimasakti.
”Ini anti-penemuan (yang menyebut pinggir piringan Bimasakti berputar dengan periode 600 tahun-700 tahun). Namun, ini juga terobosan, sekaligus meletakkan kembali ke tempat awal (berbagai) studi dimulai,” kata Chrobáková.
Namun, Ronald Drimmel, astronom di Universitas Turin, Italia, yang terlibat dalam pengukuran perputaran lengkungan pinggir piringan galaksi yang lebih awal, menilai galat atau rentang kesalahan pengukuran Chrobáková cukup besar. ”Kondisi itulah yang kemungkinan menunjukkan tidak ada gerakan atau justru menunjukkan adanya gerakan besar. Ada sedikit ketidakpastian dalam hal ini,” katanya.
Sebagian besar ketidakpastian itu bersumber dari tidak adanya bentuk pasti dari lengkungan di pinggir piringan galaksi tersebut. Belum ada satu kelompok peneliti pun yang bisa mengukur bentuk tepat dari lengkungan tersebut.
”Pengukuran untuk mengetahui lengkungan di pinggir piringan Bimasakti itu sulit. Kita (manusia Bumi) tepat berada di tengah cakram piringan Bimasakti. Untuk melihat ke tepi Bimasakti, ada awan debu yang membatasi seberapa jauh kita bisa melihat ke pinggir piringan Bimasakti,” katanya.
Chrobáková pun setuju jika diperlukan data tambahan lebih banyak untuk bisa menjawab teka-teki ini. Data itu diharapkan bisa diperoleh dari data pemetaan bintang yang dilakukan Gaia, khususnya untuk bintang-bintang di sekitar awan debu di piringan Bimasakti tersebut.
”Bimasakti adalah galaksi terbaik yang bisa kita jelajahi untuk memperoleh data dengan detail. Galaksi lain terlalu jauh untuk dijelajahi guna menyelesaikan perdebatan (gerak lengkungan pinggir piringan Bimasakti) ini,” ujarnya.
Bagaimanapun, Bimasakti, rumah besar kedua manusia di Bumi setelah Tata Surya, masih penuh misteri. Butuh waktu, ilmu pengetahuan, dan teknologi lebih baik untuk terus bisa memahami karakter dan perilakunya.
Oleh MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
Editor: ADHITYA RAMADHAN
Sumber: Kompas, 7 Juni 2021