Keberhasilan tidak ditentukan oleh program studi yang dipilih, apakah favorit atau tidak, tetapi pada kemampuan komunikasi, berkolaborasi, dan keterampilan sosial lainnya yang tak akan tergantikan oleh proses otomasi.
–Peserta mengerjakan soal masuk perguruan tinggi bidang Ilmu Pengetahuan Sosial di Auditorium Gedung Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia di Depok, Selasa (12/6/2012).
Tren program studi favorit yang menjadi pilihan calon mahasiswa relatif sama dari tahun ke tahun meski tiga tahun terakhir sejumlah perguruan tinggi menawarkan program studi baru sesuai tuntutan era 4.0. Sama seperti tahun lalu, hasil Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi tahun 2020 menunjukkan, program studi yang banyak diminati adalah teknologi informasi, farmasi, kedokteran gigi, manajemen, pendidikan guru sekolah dasar, dan ilmu komunikasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejumlah perguruan tinggi seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung (ITB), IPB University, Universitas Padjadjaran (Unpad), dan Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya sejak 2-3 tahun lalu menawarkan prodi aktuaria. Namun di UI misalnya, prodi yang paling banyak peminat masih tetap pendidikan dokter, sistem informasi, dan ilmu komputer. Demikian pula di UGM, prodi yang paling banyak peminat masih farmasi, kedokteran, dan teknologi informasi.
“Ini menunjukkan calon mahasiswa dan orangtua lebih melihat yang realistis, yang ada di depan mata. Prodi kedokteran misalnya, sudah jelas nanti pekerjaannya seperti apa. Revolusi industri 4.0 memang masa depan, tetapi itu masih 5-10 tahun lagi,” kata Satryo Soemantri Brodjonegoro, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia yang juga Guru Besar Fakultas Teknik ITB, Kamis (9/4/2020), di Jakarta.
Meski demikian, tidak ada yang salah dengan pilihan-pilihan tersebut. Demikian pula, bukan berarti prodi yang favorit lebih unggul dibandingkan dengan prodi yang tidak masuk kategori favorit maupun prodi-prodi baru. Selain aktuaria, UGM menawarkan prodi teknik biomedis. Universitas Airlangga menawarkan lima prodi baru, yaitu rekayasa nano teknologi, teknik robotika, teknik elektro, teknik industri, dan teknik sains data.
Alasan pembukaan prodi teknik sains data misalnya, menjawab kebutuhan di era 4.0. Saat ini, data diklaim sebagai mata uang paling berharga di dunia. Mempelajari teknik sains data atau data sains dinilai akan sangat menguntungkan di masa depan. Menurut Rektor Unair Mohammad Nasih, bidang teknik juga banyak diminati calon mahasiswa baru. Dari hasil SNMPTN 2020, ada kecenderungan calon mahasiswa dari jurusan IPA fokus dan tertarik pada bidang teknik.
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA–Sejumlah siswa SMAN3 Kupang merayakan kelulusan April 2019. Meski dinyatakan lulus dengan nilai memuaskan dan sangat memuaskan, belum tentu mampu mengikuti tes masuk perguruan tinggi di luar NTT, atau diterima didunia kerja.
Kemampuan dasar
Pada dasarnya, kata Satryo, pendidikan strata satu (S1) baru memberikan kemampuan dasar untuk berkarir. Untuk dapat memenuhi tuntutan era 4.0, kemampuan teknis akademis atau hard skill saja tidak cukup, harus diikuti soft skill. Bahkan menurut Satryo, porsi soft skill harus lebih besar, yaitu 60 persen.
Ini juga menjadi tantangan bagi perguruan tinggi untuk menggali dan menumbuhkan soft skill mahasiswanya. Perguruan tinggi harus kembali ke falsafah bahwa studi S1 tidak untuk menyiapkan tenaga ahli, tetapi menyiapkan mahasiswa untuk berkarir.
“Saya minta dosen kalau memberi kuliah porsinya diatur, hard skill 40 persen dan soft skill 60 persen. Cara belajar yang dikembangkan. Saat mengajar, saya harus mengajarkan keahlian yang dibutuhkan lima tahun ke depan. Saya membuat soal yang solusinya tidak ada, untuk memacu mahasiswa berpikir kritis, kreatif, dan kerja tim,” kata Satryo.
Itulah yang disebut soft skill, yaitu kemampuan yang berkaitan dengan kecerdasan emosional, kemampuan berkomunikasi, berkolaborasi, manajerial, dan juga keterampilan sosial lainnya yang tak akan tergantikan oleh proses otomasi. “Kalau kita memahami era 4.0, signifikan untuk mereka yang mempunyai kemampuan soft skill. Kalau (soft skill) ini kuat, apapun program studinya, pasti punya pekerjaan,” kata dia.
Kajian McKinsey Global Institute pada 2017 juga menunjukkan, manajerial yang membutuhkan keahlian spesifik dan interaksi dengan para pihak, misalnya, termasuk bidang yang sulit diotomasi pada 2030. Konsep otomatisasi dalam revolusi industri 4.0 akan mengubah struktur dan lapangan pekerjaan. Hasil lembaga riset ini menyebutkan, pada 2030 sebanyak 23 juta pekerjaan di Indonesia bakal digantikan proses otomasi.
“Yang penting, kalau memilih program studi, pilih program studi yang disenangi, yang ada passion-nya. Tidak selalu pekerjaan yang digeluti dan sukses persis sama dengan yang dipelajari, yang sejalan dengan kuliah maksimal 30 persen. Syarat menguasai soft skill itu yang akan menentukan keberhasilan masa depan,” kata Satryo.
Mikael Maxelovin Ave dan Paulina Ristea Herdiningytas pun memilih program studi sesuai minat mereka. Kedua siswa SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan, Magelang, Jawa Tengah tersebut merupakan dua dari 96.496 siswa lolos SNMPTN 2020.
“Awalnya saya mau memilih prodi farmasi ITB karena melihat prospek kerjanya. Tapi passion saya lebih ke (pelajaran) kimia dan fisika. Kalau di farmasi, nanti fisikanya enggak kepake. Jadi saya milih teknologi industri di ITB,” kata Mikael yang bercita-cita suatu saat nanti bisa mendirikan perusahaan yang memproduksi peralatan medis.
Adapun Paulina memilih prodi PGSD karena bercita-cita menjadi guru. Selain itu, dia juga mendapat informasi dari ayahnya yang guru SD bahwa kebutuhan guru saat ini tinggi. “Ayah saya cerita kalau tenaga pendidik itu kurang. Selain itu banyak guru yang sepuh (tua), jadi pasti butuh pengganti,” kata dia.
Oleh YOVITA ARIKA
Editor: ILHAM KHOIRI
Sumber: Kompas, 11 April 2020