Petualangan Imajinasi Fenny

- Editor

Senin, 7 April 2014

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Fenny Martha Dwivany mengulik pisang sampai ke DNA-nya dan ikut mengirim biji-biji tomat ke ruang angkasa. Ya, ruang angkasa! Dalam diri Fenny, bersemayam sosok ilmuwan berotak encer, kaya imajinasi, dan tak pernah berhenti bermimpi.

Pukul 10.00 pagi. Udara Kota Bandung masih terasa sejuk walau perlahan mulai diterpa matahari. Sosok Fenny sudah menunggu di depan gedung Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung, ”markasnya” sehari-hari.

Dalam balutan atasan putih dan kalung berbandul motif batik, Fenny tersenyum ramah. Lalu, dia giring langkah menuju ruang kerjanya. Sebuah ruangan yang rapi, terang, berhias gambar bunga warna-warni di dinding, alat peraga DNA dari bubur kertas buatan mahasiswa, serta susunan bingkai foto Fenny bersama suami dan buah hatinya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Namun, barang-barang di ruangan itu tak ada yang seaneh benda-benda yang dikeluarkan Fenny, kemudian dari laci abu-abu di sudut ruangan, sebuah pengisi baterai (charger) dan sekotak camilan berbentuk pisang kuning terang dikeluarkan. ”Ini belum seberapa. Setiap teman yang menemukan barang berbentuk pisang, mulai dari boneka monyet, boneka pisang, pisau pengiris pisang, atau benda apa saja seputar pisang, mereka akan foto dan tawarkan ke saya, lama-lama jadi ngumpulin, deh, ha-ha-ha,” tawa Fenny renyah.

Fenny begitu lekat dengan pisang dan itu semua berawal dari pertemuannya dengan seorang pedagang pisang tua yang biasa mondar-mandir di depan rumahnya. Waktu itu, Fenny baru pulang dari menuntaskan program doktor bidang biologi molekuler di Australia. ”Saya melihat tukang pisang langganan itu berdagang dengan dorongan dan aduh…, pisangnya hitam-hitam. Tidak cantik seperti pisang di supermarket,” ujar Fenny yang keluarganya sangat suka makan pisang.

Rupanya, pisang begitu mudah matang, apalagi jika tubuhnya lebam karena penyimpanan yang buruk. Pisang akan sulit disimpan lama. Fenny menduga, itu pula sebabnya, meski Indonesia kaya dengan ragam jenis pisang, tak lantas menjadi negara pengekspor pisang. Otak penelitinya langsung berpendar terang. Mesti ada cara supaya pisang-pisang itu tidak cepat rusak.

Fenny merasa kian bertenaga setelah mendengar cerita sebuah perusahaan roti yang menggunakan berton-ton pisang setiap minggunya kesulitan menyimpan pisang-pisang itu. ”Wah, ternyata industri juga butuh,” ujar Fenny. Petualangan imajinasi bersama pisang pun dimulai.

Semula, Fenny mengandalkan kecanggihan biologi molekuler. Ia mencoba meredam kerja hormon etilen (berbentuk gas) yang memengaruhi pematangan pisang. Dia modifikasi gen-gen yang berperan dalam produksi etilen. Riset Fenny tentang pengontrolan pematangan buah pisang ambon itu pula yang mengantarnya menjadi peraih UNESCO-L’Oreal Fellowhip for Women in Science Internasional dan memberangkatkannya ke Perancis.

Sampai pada suatu titik, Fenny menyadari agar riset ikut memecahkan masalah yang butuh jawaban segera, perlu ”gotong royong” ilmuwan berbagai bidang.

Maka, Fenny tak berhenti pada gen pisang. Untuk mengatasi masalah buah pasca panen sampai tiba di toko butuh keahlian, mulai dari ilmu ekonomi, pertanian, biologi, fisika, hingga desain produk dan kemasan. ”Akhirnya dipakai kemasan dari bambu agar pisang tidak mudah lebam dan cepat matang,” ujarnya

Saking lengketnya dengan pisang, Fenny sampai dijuluki ”Banana Lady”. ”Pernah seorang direktur perusahaan berkirim surel. Direktur itu bilang: ’Fenny, saya suka membawa pisang ke kantor, tetapi istri saya dan karyawan saya tidak suka pisang. Bagaimana caranya mendorong seisi kantor saya suka pisang?’ Ha-ha-ha, saya yang bingung jawabnya,” kisah Fenny.

Lewat pisang, Fenny belajar setia dan fokus pada kerja yang ditekuninya. ”Kalau kita mencla-mencle, orang tidak paham apa yang kita kerjakan. Ketika fokus dengan pisang, begitu orang tanya Fenny siapa, ya? Fenny pisang. Oooh… orang langsung menandai,” ujar Fenny yang tergabung dalam konsorsium ahli pisang dunia.
Tomat ke ruang angkasa

Saking cintanya dengan buah lonjong kuning cerah itu, Fenny sempat berkeinginan mengirim buah kesayangannya itu ke ruang angkasa. ”Biarin, deh, aku enggak ke luar angkasa asal pisangnya berangkat,” ujarnya.

Fenny sempat bekerja sama dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) untuk program
”ground based experiment to study fruit ripening process” yang berkolaborasi dengan space agency di Jepang. Dia membuat proposal penelitian efek lingkungan ruang angkasa terhadap ekspresi gen yang menyangkut pematangan buah, terutama pisang ambon. Riset itu bisa diaplikasikan, misalnya, untuk pertanian di luar angkasa atau produksi pangan di lingkungan terkontrol. Sayangnya, pisang kesayangannya tak memungkinkan terbang menembus atmosfer.

”Rupanya, astronot disuplai buah- buah segar selama beberapa hari pertama mereka di ruang angkasa. Tetapi, pisang di-black list karena ada sampah kulit dan ketika matang menyebarkan bau tajam. Nanti astronotnya bisa pingsan,” canda Fenny.

Fenny dan rekan-rekan peneliti di ITB harus berpuas diri dengan mengirim biji tomat ke ruang angkasa dalam program Space Seed for Asian Future. Biji tomat dibawa ke ruang angkasa selama tiga bulan tahun 2011, kemudian dipulangkan ke bumi untuk ditanam dan diamati.

Fenny menolak ungkapan ”makan saja Indonesia masih susah, sudah mau buat penelitian luar angkasa”. ”Ah, seakan-akan kita tidak boleh berpikir futuristik. Boleh dong, tapi tentu saja ada saatnya kita realistis dalam membuat penelitian,” ujarnya.

Biji-biji tomat dari ruang angkasa itu lantas menjelma menjadi alat jitu mengedukasi remaja agar terpikat sains. ”Dalam sebuah program edukasi, kami bagikan biji-biji itu kepada anak-anak SMP. Mereka tanam biji-biji itu, lalu diamati dan dibandingkan dengan biji yang diam saja di bumi,” ujarnya. Selain itu, Fenny dan rekan-rekannya melanjutkan jaringan kerja sama riset biologi ruang angkasa bersama Lapan.

Bagi Fenny, rasa ingin tahu selalu menjadi jiwa peneliti. ”Penelitian, di bidang ilmu pasti sekali pun, tak selalu seperti berhitung 1 + 1 = 2. Terkadang penelitian kandas di tengah jalan dan peneliti harus bangkit dari awal lagi, terus mencari,” ujarnya.

Ya, Fenny selalu bertualang dengan imajinasi sampai melintasi batas-batas bumi. Ia tak pernah menyerah….

————-
Masa Kecil Jago Mengkhayal

Fenny Martha Dwivany pada masa kecil asyik dengan dunia penuh imajinasi. Sewaktu kecil, ia gemar menggambar dan menulis puisi.

”Kadang gambarnya tidak lazim. Kalau anak-anak biasanya menggambar gunung itu warnanya hijau, nah, aku pilih warna pink. Aku punya imajinasi sendiri,” ujar Fenny.

Selain menggambar, Fenny juga suka menulis puisi ketika duduk di bangku sekolah dasar. ”Dulu, ada satu buku penuh puisi saya. Sekarang entah di mana. Sedari kecil aku suka membaca majalah dan koran yang isinya puisi anak gede,” ujarnya.

Dia masih mengenang komentar seorang gurunya tentang tugas puisi karya Fenny ketika di kelas IV SD. ”Guruku tanya, ’ini beneran kamu bikin sendiri?’ Guruku itu tidak percaya itu puisi aku yang bikin. Padahal, itu benar-benar aku tulis sendiri. Barangkali karena kata-katanya tidak seperti anak umur 9 tahun, ada kata-kata laki-laki di malam buta bla… bla…. Untungnya, dikasih nilai 9.”

Kreativitas, kata Fenny, membuat hidup berwarna, termasuk ketika menjadi peneliti. ”Ilmuwan itu imajinasinya juga harus tinggi, jago mengkhayal,” ujarnya.

Fenny Martha Dwivany
Lahir: Bandung, 18 April 1972u Pekerjaan: Pengajar dan peneliti di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandungu Bidang Keahlian: Genetika dan Biologi Molekuleru Riwayat Pendidikan:- S-1 Institut Teknologi Bandung Jurusan Biologi- S-2 Institut Teknologi Bandung Jurusan Biologi- S-3 University of Melbourne Bidang Biologi Molekuleru Penghargaan:- For Women in Science Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO dan L’Oreal Indonesia (nasional dan internasional) 2006/2007- Australia Award (Endevour Research Award) dari Pemerintah Australia (2010)- Schlumberger Faculty for The Future Award dari Schlumberger Foundation Belanda, 2011- Anugerah Iptek–Ristek untuk Wanita Peneliti Bidang Biologi Molekuler (2012)- Satyalancana Karya Satya X Tahun dari Pemerintah Indonesia (2013)

Oleh: Indira Permanasari

Sumber: Kompas, 6 April 2014

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dr. Jonas E Penemu Obat Anti Polio
Antoni Van Leewenhoek 1632 – 1723
Purbohadiwidjoyo Geologiwan
Jane Goodall, Ilmuwan Terkemuka Inggris Tanpa Gelar Sarjana
Prof. Dr. D. Dwidjoseputro, M.Sc. Sosok Guru dan Guru Besar Biologi Sesungguhnya
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
IPB University Punya Profesor Termuda Berusia 37 Tahun, Ini Profilnya
Haroun Tazieff, Ahli vulkanologi, dan Otoritas Tentang Bahaya Alam
Berita ini 3 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 14 Juni 2023 - 14:35 WIB

Dr. Jonas E Penemu Obat Anti Polio

Rabu, 14 Juni 2023 - 14:30 WIB

Antoni Van Leewenhoek 1632 – 1723

Minggu, 14 Mei 2023 - 14:17 WIB

Purbohadiwidjoyo Geologiwan

Minggu, 11 September 2022 - 16:13 WIB

Jane Goodall, Ilmuwan Terkemuka Inggris Tanpa Gelar Sarjana

Kamis, 26 Mei 2022 - 16:33 WIB

Prof. Dr. D. Dwidjoseputro, M.Sc. Sosok Guru dan Guru Besar Biologi Sesungguhnya

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB