Perguruan Tinggi Cenderung Ikut Tren Pasar
Pemetaan kebutuhan profesi dan pengaturan kuota program studi di perguruan tinggi sangat mendesak dilakukan. Terjadi surplus mahasiswa pada program studi bidang sosio-humaniora. Sementara mahasiswa program studi di bidang sains-teknologi minim.
Padahal, berdasarkan evaluasi kebutuhan pembangunan negara, program studi bidang sains- teknologi amat dibutuhkan untuk sektor-sektor strategis yang tengah jadi isu utama, seperti pertanian, industri, dan energi terbarukan.
“Saat ini yang terjadi adalah perguruan tinggi membuka prodi (program studi) atau menentukan kuota penerimaan mahasiswa baru berdasarkan tren permintaan pasar,” kata Kepala Subdirektorat Pendidikan Tinggi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Amich Alhumami di sela-sela “Konferensi Pendidikan Jurusanku” yang diadakan di Jakarta, Selasa (3/5). Acara itu diselenggarakan oleh Jurusanku.com, sebuah lembaga konsultasi pendidikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Amich menerangkan, dari 5,3 juta mahasiswa di Indonesia, 67,25 persen berkuliah di prodi sosio-humaniora. Sisanya memilih prodi sains-teknologi. Padahal, berdasarkan evaluasi kebutuhan pembangunan negara, sektor-sektor yang penting bagi masa depan Indonesia adalah kelautan, pertanian, industri, dan energi terbarukan.
Sementara sektor-sektor yang surplus mahasiswa juga kesulitan mempertahankan mutu, mulai dari jumlah dosen, infrastruktur, alat perkuliahan, hingga pengadaan penelitian yang bermutu.
Mubazir
“Kalau perguruan tinggi hanya melayani permintaan tren pasar, ujung-ujungnya mereka mencetak penganggur,” tutur Amich.
Hal ini terbukti dengan data Bappenas 2014 yang menunjukkan, 688.000 penganggur di Indonesia atau setara 10 persen dari jumlah total penganggur merupakan lulusan perguruan tinggi. Mereka tak terserap bursa tenaga kerja karena kebutuhan di bidang yang sesuai dengan kompetensi mereka sudah terisi.
Sarjana atau diploma penganggur ini merupakan bagian dari 8 persen penduduk Indonesia yang tamat pendidikan tinggi. Adapun 65 persen penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas berpendidikan maksimal SMP sederajat.
Upaya pemetaan kebutuhan tenaga kerja baru dimulai April 2016 ketika Kementerian Ketenagakerjaan menandatangani nota kesepahaman dengan 11 perguruan tinggi untuk melakukan penelitian dan pemetaan.
Promosi prodi
Pendiri Jurusanku.com, Ina Liem, menjelaskan salah satu langkah penting yang harus diambil adalah mempromosikan kepada guru, orangtua, dan siswa mengenai keberadaan prodi-prodi yang dianggap masyarakat tak konvensional, tetapi dibutuhkan. Selama ini, mayoritas masyarakat terperangkap pada pemikiran kebutuhan pembangunan 1970-an yang perlu banyak dokter, pengacara, atau ekonom.
Jurusanku.com melakukan survei kepada 11.750 siswa SMA sederajat untuk melihat minat dan pengetahuan mereka. Salah satu prodi yang paling diminati adalah kedokteran yang memiliki 1.222 peminat. Padahal, data Kementerian Kesehatan menunjukkan jumlah dokter mencukupi, tetapi persebarannya tak merata di Indonesia.
Sebaliknya, prodi yang dibutuhkan oleh pembangunan minim peminat. Hanya 27 orang yang berniat mengambil prodi keguruan. Adapun prodi perikanan diminati 12 orang, pertanian 23 orang, energi terbarukan 22 orang, teknik perkapalan 4 orang, dan logistik cuma 10 orang.
“Harus ada trik sosialisasi dan promosi besar-besaran agar masyarakat memahami pentingnya sektor tersebut untuk keberlangsungan bangsa. Setelah itu, baru mereka berminat untuk mempelajari prodi itu,” kata Ina.
Nanda (16), siswi kelas XI St John’s Catholic School, mengatakan, ia mencari sendiri jenis-jenis prodi yang ditawarkan di universitas. Hal itu terutama ia lakukan dengan mengumpulkan informasi dari internet. Adapun mengenai prodi yang berkaitan dengan kebutuhan pembangunan belum pernah ia dengar. (DNE)
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Mei 2016, di halaman 13 dengan judul “Petakan Kembali Program Studi”.