Peta Tunggal Masih Sulit Diwujudkan

- Editor

Sabtu, 10 Maret 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Peta tunggal guna penyusunan rencana tata ruang masih sulit diwujudkan. Terbatasnya ketersediaan sumber daya manusia di instansi pemerintah pusat dan daerah yang memiliki kompetensi di bidang informasi geospasial menjadi salah satu penyebab lambatnya proses integrasi peta.

Deputi Bidang Informasi Geospasial Tematik Badan Informasi Geospasial Nurwadjedi mengatakan, tata kelola informasi geospasial di Indonesia masih belum ideal. Padahal, data geospasial menjadi data dasar utama dalam perumusan kebijakan pembangunan pemerintah.

ARIS SETIAWAN YODI–Staf Khusus Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Raldi Hendro Koestoer (kiri) dan Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB Bernardus Wisnu Widjaya saat menjadi narasumber di diskusi “Pembangunan Berkelanjutan” yang diselenggarakan oleh FMIPA UI di Depok, Sabtu (10/3)

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Tata kelola penyelenggaraan informasi geospasial yang belum baik menimbulkan dampak konflik dalam pengelolaan dan pemanfaatan lahan,” ujar Nurwadjedi saat menjadi pembicara dalam seminar nasional bertajuk “Pembangunan Berkelanjutan” yang diselenggarakan oleh Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia di Depok, Sabtu (10/3).

Menurut Nurwadjedi, terjadinya konflik dalam pemanfaatan ruang salah satunya disebabkan oleh penyusunan rencana tata ruang (RTR) menggunakan referensi data geospasial (georeferensi) yang berbeda. Misalnya, terdapat perbedaan batas atau skala suatu wilayah dalam beberapa peta, seperti peta kawasan hutan, kawasan non hutan, dan kawasan pesisir.

Oleh karena itu, dalam rangka percepatan pembangunan, dikatakan Nurwadjedi, pemerintah menerapkan kebijakan satu peta. Hal itu tercantum dalam Paket Kebijakan Ekonomi Jilid VIII. Percepatan penerapan kebijakan satu peta diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016. Badan Informasi Geospasial rencananya akan merampungkan peta tersebut pada Agustus 2018.

Peta dengan skala 1 : 50.000 atau disebut peta skala menengah itu akan memiliki satu standar, satu basis data, satu referensi geospasial, dan diunggah pada satu portal, yaitu Ina – Geoportal. Dengan demikian, setiap lembaga pemerintahan dapat memanfaatkan data informasi geospasial tunggal yang memiliki kepastian hukum.

Meski begitu, Nurwadjedi menilai, terdapat beberapa kendala dalam penyusunan satu peta. Selain keterbatasan SDM di berbagai instansi sebagai kendala utama, beberapa kendala lainnya, antara lain ketidakpastian anggaran, kualitas peta dasar yang memerlukan pembaharuan, masih banyaknya data spasial yang tidak tersedia seperti peta batas desa dan batas hak tanah adat, dan kewenangan terhadap informasi geospasial tematik yang terbagi (pemerintah pusat dan daerah).

Hingga saat ini pemerintah telah berhasil melakukan integrasi data dari banyaknya informasi geospasial tematik (IGT). Untuk Pulau Sumatera 66 data telah dapat terintegrasi dari 82 IGT, Pulau Jawa 35 terintegrasi dari 81 IGT, Pulau Kalimantan 69 terintegrasi dari 78 IGT, Pulau Sulawesi 63 terintegrasi dari 80 IGT, Maluku 26 terintegrasi dari 80 IGT, dan Papua yang baru terintegrasi 26 dari 81 IGT.

Abdul Kamarzuki, Direktur Jenderal Tata Ruang Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Negara mengatakan, kebijakan satu peta penting untuk mendukung proses pembangunan yang efektif, khususnya dalam rangka penyusunan tata ruang wilayah.

Kamarzuki menilai, beberapa isu lingkungan dalam rencana tata ruang wilayah antara lain semakin tingginya tekanan penduduk di Pulau Jawa. Hal itu menyebabkan daya dukung lingkungan hidup terlampaui. Kondisi tersebut diperparah konversi lahan di Pulau Jawa yang sangat tinggi.

Menurut Kamarzuki, 60 persen penduduk Indonesia berada di Pulau Jawa. Padahal luas Pulau Jawa hanya 7 persen dari total luas wilayah Indonesia. Laju pertumbuhan pun meningkat pesat dari yang berjumlah 41,7 juta jiwa pada 1930 menjadi 134,4 juta jiwa pada 2008.

“Daya dukung ekologis Pulau Jawa telah terlampaui. Hal itu ditandai dengan kejadian bencana banjir dan longsor di Pulau Jawa yang menunjukan kecenderungan frekuensi dan lokasi sebaran yang semakin meluas,” tutur Kamarzuki.

Manfaat
Staf Ahli Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Raldi Hendro Koestoer mengatakan, ketersediaan data geospasial yang tidak saling tumpang tindih di beberapa lembaga negara akan mempermudah pemerintah menerapkan kebijakan pengentasan kemiskinan.

Raldi mencontohkan, data geografis dijadikan acuan pemerintah dalam program pembangunan daerah perbatasan di Indonesia dan kebijakan tol laut. “Perbatasan geografis yang selama ini dianggap sebagai konflik, kini oleh Presiden Joko Widodo justru dijadikan penggerak ekonomi masyarakat. Data geospasial menjadi penting,” tutur Raldi.

Ihwal keterbatasan SDM di Indonesia yang memiliki kompetensi di bidang geospasial, Raldi menilai, perlu ada pembenahan kurikulum pengajaran di bidang geografi. Mahasiswa di bidang geografi perlu mengenal kondisi geografis atau alam secara lebih nyata dan tidak hanya terkungkung dalam ruangan kelas.

Sementara itu, Bernardus Wisnu Widjaya, Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyampaikan, pihaknya akan membangun Politeknik Penanggulangan Bencana di daerah. Hal itu guna mendorong terciptanya SDM yang memiliki kapasitas di bidang penanggulangan bencana. Tentu saja pengetahuan tentang data geospasial mutlak dibutuhkan.

Menurut Wisnu, data spasial, khususnya yang tersaji dalam peta bencana dapat membantu menyelamatkan masyarakat Indonesia saat mengantisipasi terjadinya bencana. Terlebih, Indonesia merupakan wilayah yang rawan terjadi bencana alam.

“Peta rawan bencana di satu daerah dengan daerah lain masih berbeda-beda skalanya, itu tantangannya sampai saat ini. Akan tetapi, kami telah membuat buku panduan berjudul “Inarisk” untuk memetakan daerah mana saja yang rawan bencana. Itu dapat dijadikan referensi siapa pun yang akan melakukan pembangunan fisik di suatu daerah,” tutur Wisnu. (DD14)

Sumber: Kompas, 10 Maret 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer
James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta
Harta Terpendam di Air Panas Ie Seum: Perburuan Mikroba Penghasil Enzim Masa Depan
Haroun Tazieff: Sang Legenda Vulkanologi yang Mengubah Cara Kita Memahami Gunung Berapi
BJ Habibie dan Teori Retakan: Warisan Sains Indonesia yang Menggetarkan Dunia Dirgantara
Masalah Keagenan Pembiayaan Usaha Mikro pada Baitul Maal wa Tamwil di Indonesia
Berita ini 11 kali dibaca

Informasi terkait

Sabtu, 14 Juni 2025 - 06:58 WIB

Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?

Jumat, 13 Juni 2025 - 13:30 WIB

Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia

Jumat, 13 Juni 2025 - 11:05 WIB

Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer

Jumat, 13 Juni 2025 - 08:07 WIB

James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta

Rabu, 11 Juni 2025 - 20:47 WIB

Harta Terpendam di Air Panas Ie Seum: Perburuan Mikroba Penghasil Enzim Masa Depan

Berita Terbaru

Artikel

James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta

Jumat, 13 Jun 2025 - 08:07 WIB