Konferensi Para Pihak ke-18 Konvensi Perdagangan Satwa Dilindungi memutuskan Berang-berang masuk dalam Appendix 1. Hal ini berarti perdagangan berang-berang hanya boleh dari penangkar yang terdaftar. Saat ini di Indonesia baru ada satu penangkar berang-berang di Surabaya.
Indonesia sebenarnya menolak peningkatan status hewan air ini karena tidak terlalu banyak diperdagangkan. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Subdirektorat Penerapan Konvensi Internasional Nining Ngudi Purnamaningtyas, Kamis (5/9/2019) di Jakarta.
KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA–Sebanyak empat anak berang-berang (Lutra lutra) dan 10 kalajengking (Scorpiones sp), yang diamankan petugas pengamanan bandara (aviation security) Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali, dari seorang penumpang pada Kamis (23/5/2019) malam, diserahkan ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Bali, Denpasar, Jumat (24/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Berang-berang (Aonyx cinereus) tadinya ada di Appendix 2 kemudian naik menjadi Appendix 1. Kami sebenarnya menolak karena perdagangan berang-berang tidak terlalu tinggi, paling tahun lalu ada dua atau tiga ke Jepang,”ujar Nining. Saat ini baru ada satu penangkaran berang-berang yang terdaftar yang ada di Jawa Timur.
“Di Jepang, hewan ini dijadikan peliharaan di rumah karena sifatnya yang menginduk,” tambah Nining. Berang-berang banyak ditemukan di dekat Malang atau sekitar Probolinggo di tempat-tempat dingin dan sungai bersih.
Indonesia keberatan karena alasan dari Uni Eropa sebagai pihak pengusul dinilai tendensius. “Isunya bukan isu perdagangan, namun lebih pada isu kesejahteraan hewan (animal welfare) yang kampanye di media amat tinggi. Jadi menurut kami kurang tepat.” Alasan lain yang membuat Indonesia keberatan yaitu alasan dikaitkan dengan kerusakan hutan.
Indonesia juga memandang berat dimasukkannya tokek (Gecko gecko) yang semula non-Appendix kemudian dimasukkan ke dalam Appendix II. “Ini artinya ada kuota penangkapan dari alam. Padahal kita sebenarnya sudah memberlakukan kuota,” kata Ning.
Menurut mereka, didasarkan perdagangan yang tinggi. Di Indonesia, asal tokek yang diperdagangkan berasal dari Jawa tengah dan Jawa Timur. “Kuota penangkapan alam lebih dari satu juta, kuota penangkaran di bawah itu,” tambahnya.
Ekspor yang besar adalah ke China untuk obat dan berbagai kebutuhan, diekspor dalam bentuk kering. Ning mengungkapkan, ”Itu salah satu contoh bahwa kita sudah berusaha secara saintifik agar berkelanjutan dan sebagainya tapi keputusan kemarin memasukkan ke Apenddix II.” “Sebenarnya pembatasan sudah kita lakukan padahal belum Appendix.”
KOMPAS/LASTI KURNIA–Berbagai jenis tokek ikut hadir dijual sebagai hewan peliharaan di area Indonesia International Pet Expo 2019 di ICE BSD City, Tangerang, Banten, Sabtu (3/8).
Menurut Ning, penelitian sudah banyak dilakukan dari LIPI. Implikasi dari rambu-rambu tidak kesulitan tapi karena masuk kita tinggal masukkan informasi tentang sumbernya. “Kita harus sosialisakan kepada pelaku usaha. Ada urusan pelabuhan dan tiap tahun harus ada laporan tahunan terkait jenisnya negara tujuan dan sebagainya,” ujarnya.
Tantangan lain yaitu catatan dari negara pengirim dan negara penerima yang sama-sama diterima CITES ternyata kadang tidak sama. “Bisa dari segi jumlah atau dari sumber,” ujarnya. Implikasinya adalah pengawasan harus lebih ketat dan perlu menambah sumber daya manusia.
Indonesia keberatan soal Gecko gecko alasannya, hewan tersebut amat mudah ditemukan karena mereka follower manusia ( ada di sekitar manusia), penangkapan juga berpola karena saat hujan biasanya tidak dilakukan penangkapan, populasi tinggi berdasarkan survei dan penelitian dan mudah berkembang biak, “Dan kami sudah memberikan kuota juga, sudah mengatur,” katanya.
KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA–Petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bali, Jumat (24/5/2019), memberikan susu ke anak berang-berang. Sebanyak empat anak berang-berang dan 10 kalajengking diamankan dari seorang penumpang warga Rusia di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali, Kamis (23/5) malam.
Keberlanjutan
Menurut Ning dari seluruh hasil pertemuan para pihak ke-18, Indonesia menurut dia harus memperketat penangkaran terutama untuk yang masuk ke dalam Appendix I. Di Indonesia antara lain penangkaran yang sudah terdaftar di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yaitu arwana dan buaya. “Penangkaran kita harus diperkuat manajemennya untuk keberlanjutan di sisi lain untuk keperluan perdagangan internasional,” tambahnya.
Hardi Baktiantoro, pendiri Centre for Orangutan Protection sepakat bahwa penangkaran harus diperkuat terutama pengawasannya. “Jangan sampai ada kasus seperti kasus CV Bintang terang uang terdaftar tapi ternyata juga disita Balai Konservasi Sumber Daya alam karena ada yang tidak terdaftar,”ujarnya. Juga perlu dikuatkan lagi adalah komitmen penegaskan hukum. (ISW)
Oleh BRIGITTA ISWORO LAKSMI
Sumber: Kompas, 6 September 2019