Bangun Kesetaraan Jender sejak dari Rumah
Pandangan masyarakat tentang seksualitas cenderung menyalahkan korban kekerasan seksual sebagai pemicu terjadinya tindakan pelecehan. Hal ini dapat diatasi dengan mendorong keluarga benar-benar menjadi tempat pemberian pendidikan seksualitas yang benar.
“Selama ini, mayoritas pendidikan keluarga di Indonesia menomorsatukan anak laki-laki, sementara anak perempuan diajarkan untuk tunduk,” kata Ketua Pusat Studi Jender dan Seksualitas Universitas Indonesia Irwan Martua Hidayana, di Jakarta, Selasa (31/5).
Menurut dia, pembiasaan tersebut membentuk pemahaman komunal bahwa laki-laki lebih penting daripada perempuan. Alhasil, muncul sikap yang mengabaikan aspirasi dari perempuan karena dianggap bukan bagian yang patut diperhitungkan di masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Dalam kasus kekerasan seksual, kedekatan hubungan diartikan sebagai hak kepemilikan. Contohnya, suami merasa berhak menganiaya istri, ayah merasa berhak melecehkan anak perempuan, guru berkuasa atas siswa, dan sebagainya,” ujar Irwan.
Apa yang disampaikan Irwan sejalan dengan laporan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2013. Laporan ini menyatakan, 70 persen kekerasan seksual dilakukan oleh orang terdekat, seperti orangtua, saudara, guru, pacar, dan teman.
Pandangan menomorduakan perempuan mendapat dukungan ketika orang-orang di sekolah dan lingkungan sekitar tidak melakukan pembelaan saat melihat perempuan dilecehkan. Sebagai contoh, ketika siswa laki-laki menangis, guru menegur agar tidak cengeng seperti perempuan. Contoh lain, masyarakat tidak melarang anak-anak menonton tayangan media yang menampilkan perempuan sebagai obyek hiburan.
Pendapat senada dikemukakan oleh psikolog seksual Baby Jim Aditya yang banyak memberikan konseling kepada korban kekerasan seksual serta para pelaku. “Tidak efektif jika hanya anak atau siswa yang dididik. Orangtua dan guru merupakan kelompok pertama yang harus diberikan pemahaman tentang seksualitas,” ujarnya.
Tidak komunikatif
Dalam pengalamannya memberikan pendidikan seksualitas kepada siswa, Baby mendapati siswa tidak nyaman mengungkapkan pertanyaan ataupun perasaan mereka mengenai pubertas kepada orangtua. Beberapa siswa mengaku bisa bertanya mengenai masalah pubertas kepada ibu, tetapi semua mengaku tidak bisa mengomunikasikan hal tersebut kepada ayah. Hal tersebut terjadi, antara lain, karena di keluarga jarang ada diskusi. Biasanya, komunikasi yang berlangsung berupa anak mendengar perintah orangtua.
“Ketidaknyamanan anak untuk bertanya membuat mereka mencari informasi di berbagai media, seperti internet, majalah, bahkan melalui mitos di kalangan remaja. Mereka tidak memiliki pengetahuan dasar seksualitas. Akibatnya, pemahaman yang mereka peroleh sering kali keliru,” kata Baby.
Berdayakan guru
Ketua Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia DKI Jakarta Susi Fitri mengungkapkan, banyak guru yang belum mengerti konsep kekerasan seksual. Di dalam menangani kasus seks remaja, mereka terjebak pada pandangan bahwa hal tersebut terjadi atas dasar suka sama suka.
“Para guru tidak menyangka bahwa kekerasan seksual dilakukan oleh orang-orang terdekat dan bentuknya bermacam-macam, tidak hanya penetrasi kelamin,” tutur Susi.
Ketidakpahaman tersebut membuat guru tidak bisa mengenali kekerasan yang terjadi pada siswa. Padahal, siswa yang diasuh para guru mungkin mengalami pelecehan yang dilakukan oleh anggota keluarga, teman, bahkan orang-orang di lingkungan pendidikan. Pelecehan berlangsung dalam bentuk verbal, psikis, atau fisik. (DNE)
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Juni 2016, di halaman 12 dengan judul “Perbaiki Edukasi di dalam Keluarga”.