Perbaiki Edukasi di dalam Keluarga

- Editor

Rabu, 1 Juni 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Bangun Kesetaraan Jender sejak dari Rumah
Pandangan masyarakat tentang seksualitas cenderung menyalahkan korban kekerasan seksual sebagai pemicu terjadinya tindakan pelecehan. Hal ini dapat diatasi dengan mendorong keluarga benar-benar menjadi tempat pemberian pendidikan seksualitas yang benar.

“Selama ini, mayoritas pendidikan keluarga di Indonesia menomorsatukan anak laki-laki, sementara anak perempuan diajarkan untuk tunduk,” kata Ketua Pusat Studi Jender dan Seksualitas Universitas Indonesia Irwan Martua Hidayana, di Jakarta, Selasa (31/5).

Menurut dia, pembiasaan tersebut membentuk pemahaman komunal bahwa laki-laki lebih penting daripada perempuan. Alhasil, muncul sikap yang mengabaikan aspirasi dari perempuan karena dianggap bukan bagian yang patut diperhitungkan di masyarakat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Dalam kasus kekerasan seksual, kedekatan hubungan diartikan sebagai hak kepemilikan. Contohnya, suami merasa berhak menganiaya istri, ayah merasa berhak melecehkan anak perempuan, guru berkuasa atas siswa, dan sebagainya,” ujar Irwan.

Apa yang disampaikan Irwan sejalan dengan laporan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2013. Laporan ini menyatakan, 70 persen kekerasan seksual dilakukan oleh orang terdekat, seperti orangtua, saudara, guru, pacar, dan teman.

Pandangan menomorduakan perempuan mendapat dukungan ketika orang-orang di sekolah dan lingkungan sekitar tidak melakukan pembelaan saat melihat perempuan dilecehkan. Sebagai contoh, ketika siswa laki-laki menangis, guru menegur agar tidak cengeng seperti perempuan. Contoh lain, masyarakat tidak melarang anak-anak menonton tayangan media yang menampilkan perempuan sebagai obyek hiburan.

Pendapat senada dikemukakan oleh psikolog seksual Baby Jim Aditya yang banyak memberikan konseling kepada korban kekerasan seksual serta para pelaku. “Tidak efektif jika hanya anak atau siswa yang dididik. Orangtua dan guru merupakan kelompok pertama yang harus diberikan pemahaman tentang seksualitas,” ujarnya.

Tidak komunikatif
Dalam pengalamannya memberikan pendidikan seksualitas kepada siswa, Baby mendapati siswa tidak nyaman mengungkapkan pertanyaan ataupun perasaan mereka mengenai pubertas kepada orangtua. Beberapa siswa mengaku bisa bertanya mengenai masalah pubertas kepada ibu, tetapi semua mengaku tidak bisa mengomunikasikan hal tersebut kepada ayah. Hal tersebut terjadi, antara lain, karena di keluarga jarang ada diskusi. Biasanya, komunikasi yang berlangsung berupa anak mendengar perintah orangtua.

“Ketidaknyamanan anak untuk bertanya membuat mereka mencari informasi di berbagai media, seperti internet, majalah, bahkan melalui mitos di kalangan remaja. Mereka tidak memiliki pengetahuan dasar seksualitas. Akibatnya, pemahaman yang mereka peroleh sering kali keliru,” kata Baby.

Berdayakan guru
Ketua Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia DKI Jakarta Susi Fitri mengungkapkan, banyak guru yang belum mengerti konsep kekerasan seksual. Di dalam menangani kasus seks remaja, mereka terjebak pada pandangan bahwa hal tersebut terjadi atas dasar suka sama suka.

“Para guru tidak menyangka bahwa kekerasan seksual dilakukan oleh orang-orang terdekat dan bentuknya bermacam-macam, tidak hanya penetrasi kelamin,” tutur Susi.

Ketidakpahaman tersebut membuat guru tidak bisa mengenali kekerasan yang terjadi pada siswa. Padahal, siswa yang diasuh para guru mungkin mengalami pelecehan yang dilakukan oleh anggota keluarga, teman, bahkan orang-orang di lingkungan pendidikan. Pelecehan berlangsung dalam bentuk verbal, psikis, atau fisik. (DNE)
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Juni 2016, di halaman 12 dengan judul “Perbaiki Edukasi di dalam Keluarga”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Berita ini 4 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Berita Terbaru

Artikel

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Senin, 7 Jul 2025 - 08:07 WIB

Fiksi Ilmiah

Bersilang Nama di Delhi

Minggu, 6 Jul 2025 - 14:15 WIB

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB