Melindungi hutan di Indonesia yang masih tersisa tak hanya bermanfaat bagi global, tetapi juga bagi Indonesia. Hutan tidak saja bisa menyimpan karbon, tapi juga hutan memengaruhi iklim secara lokal, regional, dan global.
KOMPAS/SUCIPTO–Atap rumah warga Desa Long Tuyoq dan Liu Mulang di Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, dikelilingi hutan yang rapat, Kamis (12/12/2020).
Laporan khusus Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) tahun lalu menekankan bahwa mengurangi deforestasi, restorasi, dan melindungi hutan tersisa bisa menjadi langkah signifikan untuk mengerem krisis iklim. Pernyataan ilmiah ini sebenarnya telah menunjukkan Indonesia pada jalan yang benar dalam komitmen penurunan emisi gas rumah kaca atau NDC. Sayangnya, janji Indonesia pada dunia global ini diragukan seiring rencana perubahan regulasi yang isinya disinyalir tak berpihak bagi perlindungan hutan tersisa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada dokumen kontribusi niatan Indonesia dalam penurunan emisi gas rumah kaca atau NDC yang terkait Perjanjian Paris (telah diratifikasi Indonesia), Indonesia menyampaikan rencana penurunan emisi sebanyak 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional. Dari penurunan tersebut, 17 persennya berasal dari sektor perubahan lahan dan hutan.
Dalam NDC tersebut, sejumlah pihak menilai Indonesia masih kurang ambisius. Ini karena Indonesia sebagai pemilik hutan tropis utama di dunia masih membuka diri terhadap pengurangan hutan seluas 3,25 juta hektar pada 2020-2030 atau 325.000 hektar per tahun. Pemerintah Indonesia beralasan deforestasi masih dibuka hingga 3,25 juta hektar pada periode 2020-2030 ini untuk memenuhi kebutuhan pembangunan dan lahan.
Angka deforestasi terencana tersebut bisa dianggap negatif seperti alasan di atas. Tetapi juga angka yang positif sebagai patokan kinerja Indonesia untuk menurunkan angka deforestasi yang kini mencapai 688.844,52 hektar yang 448.777,49 hektar di antaranya berada di kawasan hutan. Angka ini merupakan laju deforestasi tahunan Indonesia pada 2006-2018.
GREENPEACE–Pemandangan udara hutan primer dekat sungai Digul di Papua selatan.
Niatan kendur
Namun, niat untuk mengurangi laju deforestasi yang terhitung mulai tahun 2020 sesuai komitmen dalam NDC, pada tahun ini pula komitmen tersebut tampak kendur. Ini tampak dari isi draf Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau RUU Sapu Jagat (omnibus law) yang dari sejumlah sisi akan membuat Indonesia melenceng dari upaya penurunan deforestasi.
Misalnya pada sejumlah perubahan atau penghapusan yang dilakukan pada UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Omnibus law menghilangkan syarat 30 persen kawasan hutan yang harus dipertahankan untuk setiap daerah aliran sungai (DAS) dan atau pulau.
Omnibus law mengatur lebih lanjut bahwa penentuan luas kawasan yang harus dipertahankan akan dilakukan pemerintah pusat sesuai kondisi fisik dan geografis daerah aliran sungai dan/atau pulau.
Dihapusnya ketentuan minimal 30 persen luas kawasan hutan yang harus dipertahankan dikhawatirkan akan memicu deforestasi secara masif di daerah-daerah yang memiliki luas kawasan hutan lebih dari 30 persen. Dari 34 provinsi di Indonesia, terdapat enam provinsi yang memiliki luasan kawasan hutan kurang dari 30 persen, yaitu Bali, Lampung, dan seluruh enam provinsi di Pulau Jawa.
Selain itu, tidak ada lagi kewajiban bagi daerah-daerah yang luas kawasan hutannya kurang dari 30 persen untuk menambah luas kawasan hutannya. Penambahan tutupan hutan—minimal bila tak bisa meningkatkan kawasan hutan—merupakan langkah mitigasi sekaligus adaptasi bagi sejumlah krisis iklim dan bencana ekologis.
Belum lagi sejumlah perubahan dalam UU No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang syarat pemberian izinnya sangat dilonggarkan dalam RUU Cipta Kerja. Lihat saja, Pasal 30 angka 14 RUU Cipt Kerja mengenai perubahan terhadap Pasal 45 UU Perkebunan. Di situ, ketentuan mengenai kewajiban memiliki izin lingkungan, kesesuaian rencana tata ruang wilayah, dan kesesuaian perkebunan sebelum mendapatkan izin usaha pertambangan (IUP) dihapus.
Pengabaian terhadap rencana tata ruang yang disusun di antaranya memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan ini bisa memicu penerbitan izin-izin perkebunan yang tidak memperhatikan kemampuan alam dalam menyangganya. Termasuk di dalamnya pertimbangan keberadaan tutupan hutan.
Kondisi saat ini saja dengan sejumlah regulasi yang masih ”lumayan baik” sejumlah pelanggaran masih terjadi. Seperti kasus perkebunan sawit di Buol, Sulawesi Tengah, yang membuka tutupan hutan alam seluas 7.862 hektar. Penolakan pun datang dari bupati setempat karena pembukaan hutan tersebut menyimpang dari tata ruang daerah Kabupaten Buol.
Apabila sejumlah kemudahan terhadap penggunaan hutan kian dipermudah, bukan tak mustahil deforestasi Indonesia kian tak terkendali. Apabila asumsinya saja laju deforestasi tidak meningkat (sekitar 688.000 hektar per tahun), ”kesempatan” bagi Indonesia untuk membuka hutan seluas 3,25 juta hektar pada 2030 telah terlampaui pada tahun 2025.
Deforestasi maupun degradasi hutan akan sangat berlawanan dengan upaya global untuk bersama-sama mengatasi krisis perubahan iklim. Indonesia yang memiliki modalitas hutan dalam peranannya secara global bisa berkontribusi cukup dengan menjalankan janjinya. Meski menurut catatan UNFCCC (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim), janji yang disampaikan negara-negara dalam NDC bila bisa dijalankan pun belum mampu mencegah peningkatan suhu sebesar 2 derajat celsius.
Seperti laporan IPCC tahun 2019 lalu berjudul Special Report on Climate Change, Desertification, Land Degradation, Sustainable Land Management, Food Security, and Greenhouse Gas Fluxes in Terrestrial Ecosystems, hutan memengaruhi iklim secara lokal, regional, dan global melalui berbagai jalur, tidak sekadar menyimpan karbon. Artinya, melindungi hutan tersisa tak hanya bermanfaat bagi global, tetapi juga internal Indonesia.
Laporan IPCC menyebutkan, deforestasi memengaruhi jumlah sinar matahari yang dipantulkan, mengurangi evapotranspirasi, mendinginkan udara, memengaruhi pelepasan aerosol dan senyawa organic volatile biogenic yang dapat memengaruhi pembentukan awan, ataupun memengaruhi kecepatan angin. Dengan kata lain, melindungi hutan adalah langkah menyediakan air yang cukup di saat kemarau dan menjaga air di saat musim hujan bagi kelangsungan hidup warganya sendiri.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Editor: ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Sumber: Kompas, 18 April 2020