Kelapa sawit yang kini dikenal sebagai sumber utama minyak nabati di Indonesia ini awalnya masuk ke Indonesia sebagai tanaman hias tahun 1848. Sebanyak empat batang sawit dibawa oleh peneliti Belanda dari Mauritius (Afrika), ditanam di Kebun Raya Bogor. Pohon sawit terakhir dari keempat sawit awal ini mati pada tahun 1990-an dan mencapai umur 150 tahun.
Keempat pohon inilah yang kemudian menjadi induk bagi semua pohon sawit yang kini memenuhi kawasan Asia Tenggara. Di Indonesia, perkebunan kelapa sawit pertama kali dibangun secara komersial di Sumatera Utara tahun 1911.
K Schadt, kebangsaan Jerman, tahun 1911 menanam 2.000 bibit sawit di tanah konsesinya di Tanah Itam Ulu, Sumut. Dengan bekerja bersama saudaranya, pertanaman berangsur-angsur diperluas. Pada tahun itu juga seorang pekebun Belgia mengikuti jejak Schadt menanam kelapa sawit skala besar. Kebun sawit itu dibangun di Aceh Timur dan di Asahan, Sumut (FC van Geuzn/Haryono Semangun & Aziz L).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selanjutnya perkebunan sawit ini mulai dikembangkan secara besar-besaran di era pemerintahan Soeharto pada tahun 1970-an dengan luas sekitar 200.000 hektar. Kemudian terus berkembang pada tahun 1980-an sampai sekarang.
Saat ini Indonesia dan Malaysia menguasai 86 persen produksi crude palm oil (CPO) dunia. Total produksi CPO dunia tahun 2009 sekitar 41,7 juta ton. Indonesia sendiri memproduksi 21 juta ton per tahun, Malaysia 18 juta ton per tahun, dan negara lain 4 juta ton.
Luas perkebunan sawit di Indonesia diperkirakan 7,3 juta hektar, sementara Malaysia 4,7 juta hektar. Luas kebun sawit dunia sekitar 13,1 juta ha. Dengan demikian, Indonesia adalah produsen sawit di dunia.
Untuk mempertahankan posisi Indonesia di masa depan, perlu dilakukan peningkatan produksi sesuai permintaan pasar. Namun, saat ini perluasan areal sawit bukan merupakan opsi yang populer.
Dengan adanya berbagai tekanan dari dunia Barat dan pencinta lingkungan bahwa perkebunan sawit mengorbankan hutan hujan tropis, opsi yang harus dilakukan adalah meningkatkan produktivitas panen per hektar tanpa harus memperluas areal secara besar-besaran.
Hal itu, menurut Reza Tirtawinta, peneliti sawit pada Taman Buah Mekarsari, Bogor, dapat dicapai dengan cara meremajakan perkebunan sawit yang sudah tua (di atas 25 tahun) dengan menanam varietas unggul yang berproduksi tinggi.
”Karena itu, sangat penting menyiapkan benih varietas unggul ’idaman’ masa depan dari sekarang, dimulai dari mengeksplorasi calon pohon induk unggul, merakitnya menjadi verietas ’super’ melalui proses pemuliaan, dan memproduksi benih unggul secara massal untuk disebarluaskan ke petani/pengusaha sawit di Indonesia,” kata Reza, salah satu anggota Konsorsium Sumber Daya Genetik Sawit Indonesia.
Konsorsium ini terdiri atas 19 perusahaan sawit besar di Indonesia yang bersama-sama mempunyai komitmen untuk memajukan persawitan di Indonesia, khususnya dalam merakit varietas unggul masa depan.
Pengembangan varietas sawit unggulan baru, tambah Reza, saat ini sudah semakin sulit. Mengapa? ”Karena kita menggunakan materi genetik yang sama selama 40-50 tahun terakhir. Akibatnya, sekarang sulit untuk meningkatkan produktivitas pada varietas yang baru dirakit,” jawab Reza.
Keragaman genetik
Karena itu, katanya lebih lanjut, diperlukan sumber keragaman genetik yang lebih luas agar banyak sifat baru yang menguntungkan dapat ”diwariskan” pada varietas baru yang akan diciptakan. Keragaman ini hanya terdapat pada jenis sawit liar yang belum dieksplorasi di habitat alaminya, yaitu di negara-negara beriklim tropis di sepanjang garis khatulistiwa.
Pada sawit dikenal ada 3 tipe, yaitu dura (ditandai dengan batok yang tebal), pisifera (tidak berbatok), dan tenera (berbatok tipis). Persilangan antara dura (sebagai induk betina) dan pisifera (sebagai induk jantan) akan menghasilkan tenera yang secara luas ditanam di perkebunan sawit komersial karena produktivitasnya yang tinggi.
Untuk memperoleh benih tenera yang unggul, diperlukan induk betina dan induk jantan yang memiliki sifat-sifat tertentu yang diinginkan agar persilangannya dapat mewariskan gabungan sifat unggul kepada keturunannya.
Menurut Reza, pohon sawit komersial (tenera) yang ideal untuk masa depan harus memiliki sifat-sifat produktivitas tinggi (jumlah tandan banyak dan ukuran besar), kandungan minyak tinggi (mesocarp tebal dan rendemen tinggi), batang pohon pendek (mudah dipanen sampai umur 30 tahun), pelepah daun pendek (agar jarak tanam dapat dipersempit sehingga jumlah tanaman per hektar lebih banyak), dan tangkai buah panjang (mudah dipanen).
”Selain itu juga tahan terhadap hama dan penyakit berbahaya, mampu hidup pada kondisi agroklimat yang kering dengan curah hujan rendah,” kata Reza seraya menambahkan, sifat-sifat seperti itu bisa didapatkan secara terpisah dari sawit-sawit liar yang tumbuh di habitat aslinya di sentra-sentra sawit alami di Afrika dan Amerika tropis.
(FX Puniman, Wartawan; Tinggal di Bogor)
Sumber: Kompas, Senin, 27 September 2010 | 03:44 WIB