Lima universitas direncanakan mulai mengembangkan Academic Health System (AHS) atau sistem pendidikan kesehatan yang bekerjasama dengan RS pendidikan yang ada di sekitarnya. Sistem ini diharapkan dapat meningkatkan kompetensi dan mewujudkan pemerataan distribusi tenaga kesehatan hingga ke pelosok.
Hal ini mengemuka dalam pembukaan Muktamar Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan Indonesia (ARSPI) di Palembang, Jumat (2/3). Hadir dalam acara tersebut Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin, dan 300 peserta Muktamar ARSPI dari seluruh Indonesia.
Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) Ali Ghufron mengatakan kelima universitas yang akan menjalani sistem HAS adalah Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, dan Universitas Hasanuddin. “Mulai tahun ini, kelima universitas tersebut sudah harus memenuhi indikator yang sudah ditetapkan oleh kementerian,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sistem AHS sebenarnya sudah dikonsepkan sejak lima tahun lalu, hanya saja pelaksanaannya belum optimal. Namun, sejak tahun lalu, Kementerian Kesehatan dan Kemenristekdikti sudah membentuk komite bersama untuk merumuskan kosep AHS agar dapat diaplikasikan segera di sejumlah universitas. “Saat ini, tinggal menunggu tanda tangan dari menteri,” ucap Ali.
Konsep yang dicanangkan adalah mengintegrasikan RS Pendidikan dan jejaringnya yang berada di bawah kewenangan Kemenkes dengan sejumlah institusi pendidikan, mulai dari fakultas kedokteran, kedokteran gigi, dan fakultas kesehatan lainnya yang berada di bawah kewenangan Kemenristekdikti. Bahkan, ke depan akan dilakukan kerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri untuk memperluas cakupan yani kerjasama dengan pemerintah daerah.
Ali menerangkan ada sejumlah keuntungan yang diperoleh ketika konsep ini dijalan, yakni tata kelola rencana strategi dari fakultas kedokteran dengan RS pendidikan dapat lebih terarah. “Selama ini, dokter yang ada di RS pendidikan tidak diakui di fakultas kedokteran. Dengan konsep ini, maka dokter yang bekerja di RS pendidikan juga dianggap sebagai tenaga pengajar, bahkan berpeluang mengejar gelar profesor,” ungkap Ali.
Mahasiswa juga akan diuntungkan karena proses penelitan ataupun praktek lapangan dapat lebih mudah karena semua hal sudah terintegrasi. Hal ini diharapkan bermuara pada dihasilkannya mahasiswa yang jauh berkualitas.
Ketua Umum ARSPI Anwar Santoso menjelaskan, sekarang, ada 95 RS pendidikan dan 368 RS yang digunakan untuk pendidikan dari 83 Fakultas Kedokteran yang ada di seluruh Indonesia. Namun, integrasi fungsional antara sektor pendidikan dan sektor kesehatan belum optimal.
Hal ini disebabkan belum adanya regulasi resmi yang mengatur integrasi antara kedua sektor tersebut. Alhasil, pelaksanaan pendidikan kesehatan kurang optimal. Selama ini, lanjut Anwar, di sejumlah RS pendidikan, biaya operasional pendidikan ditanggung oleh RS pendidikan. “Apabila hal ini terus dibiarkan, maka RS tersebut akan bangkrut,” ujar Anwar.
Dari hal kompetensi, kata Anwar, masih banyak, fakultas kedokteran yang tidak menyesuaikan kurikulumnya dengan kebutuhan masyarakat yang ada saat ini, terutama isu kesehatan dunia. Padahal, dalam kurun waktu tertentu ada jenis penyakit terus berkembang, baik penyakit baru atau penyakit yang muncul kembali. Itu semua harus diantisipasi. Belum lagi permasalahan belum meratanya tenaga kesehatan di pelosok.
Penerapan AHS di sejumlah universitas ini diharapkan dapat menjadi solusi permasalahan kesehatan yang masih kerap muncul. Misalnya, lanjut Anwar, dengan sistem AHS, Universitas Hasanudin dapat memperkuat jaringannya, dengan menyediakan tenaga kesehatan di wilayah Sulawesi atau di Indonesia timur.
Menteri Kesehatan
mengatakan, penerapan konsep ini juga harus mengatur penyebaranya tenaga medisnya. Pendidikan tenaga kesehatan akan disesuaikan dengan jenjang pelayanan. Misalnya RS Pendidikan hanya diisi oleh dokter yang menempuh pendidikan lanjutan seperti mengambil spesialis. Adapun untuk tingkat dibawahnya, disebar di puskesmas.
Begitu juga dengan dosen juga bisa disebar ke sejumlah daerah terpencil dengan penyertaan insetif dan renumerasi tertentu. Dengan komite bersama yang dibentuk, diharapkan dapat mendorong aturan, kurikulum, standar operasi, dan alat-alatnya dapat segera dirumuskan. (RAM)–RHAMA PURNAJATI
Sumber: Kompas, 3 Maret 2018