Catatan dari Seminar Mahasiswa tentang Lingkungan
Dalam rangkaian dies natalisnya ke-40, akhir Februari lalu KSM Geografi FMIPA Universitas Indonesia mengajak para mahasiswa untuk berfikir prospektif dalam upaya mencari alternatif tentang kondisi kesehatan lingkungan hidup di perkotaan yang aman, tertib, lancar, dan sehat, lazim disebut ATLAS (istilah I Made Sandy).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Upaya tersebut dilatarbelakangi oleh pesatnya pertumbuhan kota yang menuntut penyediaan berbagai fasilitas dalam menciptakan kehidupan yang layak bagi masyarakat kota. Penduduk perkotaan dunia antara tahun 1920 sampai dengan 1980 telah bertambah lima kali lipat, dari 360 juta menjadi 1807 juta orang.
Menjelang tahun 2000, menurut perkiraan PBB, penduduk perkotaan akan bertambah 78 persen, sehingga mencapai 3208 juta orang. Ini menunjukkan pertumbuhan yang amat pesat jika dibandingkan dengan penduduk pedesaan yang diperkirakan bertambah 19 persen pada tahun 2000.
Berkenaan dengan proyeksi ini, majalah terkemuka di dunia Time di awal 1989 mengetangahkan sampul muka yang di luar kebiasaannya. Untuk kedua kalinya sejak berdirinya, majalah ini keluar dari tradisi menokohkan manusia sebagai man or woman of the year. Bila pada 1982, komputer tampil sebagai machine of the year, maka pada 1989 menampilkan endangered earth-planet of the year.
Alasan yang dikemukakan bahwa sepanjang 1988 artikel dan pemberi-taan dodiominasi oleh masalah-masalah krisis lingkungan di planet bumi. Mulai dari ledakan penduduk di dunia ketiga, musibah akibat kebakaran hutan, dan pencemaran lingkungan sampai dengan bencana terkoyaknya lapisan pelindung kehidupan planet bumi.
Di Indonesia, menurut hasil sigi penduduk antarsensus (Supas) 1985 penduduknya berjumlah 161,1 juta jiwa dari 147,5 juta jiwa pada sensus penduduk 1980. Untuk kawasan ASEAN, Indonesia merupakan negara yang terbesar jumlah penduduknya. Besarnya jumlah penduduk tersebut disebabkan karena dua faktor utama yaitu natural increase (kelahiran, kematian) dan migration (al. urbanisasi). Pada daerah perkotaan di Indonesia faktor yang lebih berpengaruh adalah urbanisasi.
Urbanisasi menimbulkan berbagai bentuk penurtman kualitas lingkungan kota, termasuk tata ruang yang tidak memenuhi syarat, terbentuknya daerah kumuh, bertambahnya jumlah sampah, meningkatnya pencemaran air, dan tanah oleh limbah domestik, dan lain sebagainya. Penurunan kualitas lingkungan kota juga ditopang oleh perkembangan industri, lalu lintas dan prasarana lain dalam kota antara lain pencemaran udara.
Selain itu urbanisasi juga mengakibatkan menurunnya estetika, menimbulkan ancaman terhadap pe-ninggalan-peninggalan historis, menyempitnya ruang ferbuka, taman kota, lapangan olahraga, rekreasi, dan sebagainya. (Sugeng Martopo, 1988).
Dari penduduk Indonesia yang ada, 63,3% menempati Pulau Jawa dan Bali yang luasnya hanya 7,2% dari luas Indonesia seluruhnya. Karena itu meskipun secara kuantitatif penduduk yang tinggal di kota lebih sedikit (misalnya 14,8% pada tahun 1961) daripada penduduk desa, bukan berarti densitas penduduk di desa lebih tinggi. Hal ini karena areal pedesaan jauh lebih luas daripada areal kota. Kondisi kependudukan semacam inilah yang mendominasi sebab utama timbulnya krisis lingkungan.
Krisis Lingkungan Hidup Perkotaan, Kini dan Masa Mendatang
Perkembangan kota yang cepat diberbagai wilayah Indonesia, secara menonjol ditandai dengan pertum-buhan penduduk dan pembangunan fisik. Akibat logisnya, dapat menimbulkan pergeseran kondisi lingkungan yang pada akhirnya akan menimbulkan problema kesehatan lingkungan perkotaan. (Achmadi, 1988). Krisis lingkungan hidup di perkotaan yang paling menonjol adalah:
- Masalah Udara. Dampak dari ledakan penduduk (population explotion) menuntut untuk penyediaan berbagai sarana termasuk transportasi. Akibat adanya jaringan transportasi di perkotaan yang kian padat, memberikan dampak menurunnya kualitas udara. Udara perkotaan telah tercemar oleh berbagai polutan seperti carbon monoksida (CO2), timah hitam (Pb), SO2, ozone (03), hidro karbon, NO., dan lain-lain. Kota-kota di Indonesia telah menjadi kota debu, dan tercemar oleh polutan lain yang telah melewati ambang batas (lihat tabel dalam P4L, KLH, 1985).
Mengamati tabel di atas betapa parahnya keadaan udara kita, karena di berbagai kota-kota di Indonesia telah tercemar CO, NO2, SO2 dan sebagainya.
- Masalah Air
Krisis air di Indonesia menyangkut 2 aspek pokok, yaitu kuantitatif dan kualitatif.
Secara kuantitatif pulau-pulau di Indonesia telah ada yang mendekati kritis, seperti Bali dan NTB. Bahkan Jawa dan Madura kondisi airnya telah kritis. Jika melihat beberapa kota di Jawa terdapat kecenderungan mengalami penderitaan hebat, kecuali ada upaya tata guna air yang konprehensif. Jawa, Madura, Bali, dan Nusa Tenggara merupakan wilayah dengan potensi sumber daya iar rendah. Diperkirakan hanya 10.000 m3-100.000 m3/ kapita/ tahun, termasuk wilayah potensi sedang yang meliputi Sumatera, Sulawesi, dan Maluku. Tahun 2000 potensi air di Jawa diperkirakan tinggal 1.745 m3/kapita/tahun. (KLH, 1986).
Sedangkan secara kualitatif terdapat trend kualitas air yang terus menurun akibat pertumbuhan penduduk dan aktivitasnya. Hal ini karena meningkatnya pencemaran air oleh buangan pemukiman/ limbah domestik, industri, intensifikasi pertanian. Sebagai contoh, sungai Ciliwung di Jakarta, kali Garang di Semarang, Kali Surabaya yang me-rupakan pemasok utama kehidupan, telah tercemar oleh bahan kimia organik, deterjen, nitrat di samping bakteri coli, kolera, thypus, dsb. (KLH, 1987).
- Masalah Pemukiman
Pemukian perkotaan di Indonesia yang tidak terencana dapat menimbulkan perkampungan kumuh, yang jelas merusak nilai estetika dari wa-jah kota. Karena umumnya perkampungan kumuh merupakan konsentrasi tempat tinggal masyarakat yang rata-rata berpendapatan rendah, kepadatannya tinggi dan prasarana kota yang tidak memadai. (Bianpoen, 1984).
Perkampungan di perkotaan yang tidak terencana ini merupakan masalah kesehatan lingkungan yang masih akan ada menjelang tahun 2000 mendatang. (Achmadi, 1989). Hal ini terjadi karena mentalitas kesehatan lingkungan penduduk pemukiman yang berorientasi pada tata nilai pedesaan. Ditambah lagi persepsi terhadap perumahan sehat yang masih kecil dengan sarana kesehatan lingkungan yang kurang memadai. (Achmadi, ibid).
Alternatif Penanganan
Upaya mengatasi krisis lingkungan harus terus dilakukan apabila generasi penerus kita tidak ingin menderita “pollution pressure”. Timbulnya krisis udara di perkotaan terutama diakibatkan oleh asap kendaraan umum/pribadi yang kian hari kian meningkat.
Oleh karena itu tepat bila perluasan jaringan sistem pelayanan angkut-an di atas rel KRD/KRL) terus diupayakan. Upaya menyempurnakan persimpangan (smoothing) al. “belok kiri jalan terus” adalah usaha mengurangi kemacetan lalu lintas pada persimpangan di samping upaya mencapai ROW (right of way), pelebaran jalan juga terus digalakkan.
Gagasan baru, barangkali dapat di-intens-kan di Indonesia adalah Staggering Work Days, Scrapping, dan Traffic Restraint. Di negara-negara industri, Singapura dan Jepang misalnya, penggeseran jam kerja dan hari kerja, pembatasan usia kendaraan bennotor dan berlalu lintas telah lama dilakukan. Dengan demikian, udara berkesempatan mengadakan proses cuci sendiri secara alamiah. Strategi ini ternyata dapat mengatasi problematik pencemaran udara yang terjadi.
Dalam mengatasi krisis air, dilakukan usaha reboisasi dan penghijauan terutama pada daerah gundul, agroforestry, pengaturan keseimbangan ekosistem lahan pertanian, lahan pemukiman dan tata ruang, membangun waduk serta mengadakan cek dam. Pada lingkungan perkotaan di Indonesia agaknya tepat jika diterapkan konsep kawasan hijau (garden city), karena perkembangan kota-kota di Indonesia seirama dengan perkembangan industrinya.
Konsep garden city ini di Inggris, yang terkenal dengan kota industrinya, dapat berfungsi untuk menahan debu dan mencuci udara di samping juga dapat mencegah krisis air.
Alternatif mengatasi masalah pemukiman perkotaan di Indonesia dilakukan dengan “perbaikan kampung”‘ lazim dikenal dengan Kampung Improvement Program/KIP. Meski upaya ini terus digalakkan, akan sia-sia bila bersamaan dengan penekanan pertumbuhan penduduk kota. Oleh karena itu hal yang paling esensial sebenarnya terletak pada ‘bagaimana’ agar pertumbuhan penduduk kota tidak melebihi daya dukung kota itu sendiri.
Memang untuk menangani krisis lingkungan di perkotaan banyak kendala yang dihadapi. Seperti diakui sendiri oleh M. Gempur Adnan (staf ahli menteri negara KLH) bahwa “untuk mengelola kesehatan lingkungan di perkotaan kita masih terbentur pada berbagai keterbatasan baik biaya, tenaga ahli, informasi, teknologi maupun masih lemahnya koordinasi di samping juga belum sangkil dan mangkusnya produk hukum yang operatif”.
Tetapi sebagai bangsa yang sedang giat membangun, kata Gempur lebih lanjut “Kita harus optimis bahwa berbagai kendala dapat diatasi dengan upaya kerja keras dan koordinasi dengan beberapa departemen yang terkait”. Seperti halnya juga imbauan dan ajakan yang penuh simpatik dan optimistis dari penduduk Virginia dalam menanggapi majalah Time tentang sampul mukanya bahwa, “…In The Beginning, Qod Created The Heaven and The Earth7 In the 20th Century, Man acted to destroyed the planet. Let it be writen that in the 21 st century Man worket to heal his world…”
Karena dengan kerja keras dan sikap “need for achievement” inilah kita bisa menyembuhkan dan memulihkan kondisi kualitas lingkungan di Planet Bumi ini termasuk lingkungan hidup di perkotaan pada masa mendatang.
Tabel 1. City and its level of Air Pollutant (1982 and 1984) which above the Proposed Standard Level.
City |
Pollutant recorded as above proposed AQS |
|||||
CO |
NO2 |
SO2 |
Dust |
O |
NH3 |
|
Jakarta* |
|
4*) |
1 |
3 |
1 |
|
Bogor* |
1 |
|
1 |
3 |
|
|
Bandung* |
|
|
|
4 |
|
|
Cirebon* |
|
1 |
|
4 |
|
1 |
Yogyakarta* |
|
|
|
3 |
|
|
Semarang* |
|
|
1 |
4 |
|
|
Surabaya* |
|
1 |
|
4 |
|
|
Pontianak** |
|
2 |
|
|
|
|
Banjarmasin** |
|
1 |
|
|
|
|
Balikpapan ** |
|
1 |
|
3 |
|
|
Manado** |
|
2 |
|
4 |
|
|
*) Indicated sumber of places; * 1982, ** 1984.
Oleh Tirto Adi, Penulis adalah mahasiswa IKIP Surabaya, peserta seminar Kesehatan Lingkungan Hidup di UI
Sumber: Jawa Pos, 8 Maret 1989