Setelah rezim Orde Baru tumbang, lembaga pendidikan secara sistematis dimanfaatkan kelompok masyarakat tertentu untuk membangun generasi agamis. Guru dan dosen pun kemudian menjadi agen utama gerakan agamis ini, kemudian terus menguatkan identitas keagamaan, bahkan atas nama negara.
“Akibatnya, lembaga sekolah tak lagi menjadi arena pembebasan, tetapi menjadi instrumen beroperasinya gerakan ideologis. Bersamaan dengan itu, ide pemikiran kritis menjadi tidak populer di kalangan pendidikan sehingga kajian terhadap praksis pendidikan dari sudut pandang pedagogi kritis terasa langka,” kata dosen Universitas Negeri Yogyakarta, Sugeng Bayu Wahyono, Jumat (17/6), di Yogyakarta.
Bayu bersama dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Zuly Qodir; guru SMA de Britto, St Kartono; dan aktivis pendidikan Ferry Indratno menjadi pembicara dalam diskusi bertema “Bangsa Piye To Iki (bangsa bagaimana ini), Mencari Jawaban dalam Dunia Pendidikan”.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tema pembicaraan unik dan aktual, memancing kehadiran puluhan peserta diskusi yang terdiri dari mahasiswa dan dosen yang bertahan mulai dari siang sampai selesai saat berbuka puasa.
Kajian kritis
Melalui kajian kritis, akan terbongkar praktik dominasi, hegemoni, dan penindasan, baik secara vulgar maupun halus dalam lembaga pendidikan di Indonesia yang melanggengkan kemapanan.
“Kajian kritis memberi bekal dan amunisi untuk menyubversi dan menggoyang cara oposisi biner, asal-usul, asli-tidak asli, bertumpu pada titik tunggal dan universal yang semuanya menjadi sumber penindasan,” kata Bayu yang juga dikenal sebagai sosiolog.
Melalui kajian kritis, gugatan tidak hanya bisa dilakukan terhadap dominasi kapitalis dan agama, tetapi juga nilai kemapanan yang diajarkan Ki Hajar Dewantara. Guru dikatakan di depan harus menjadi teladan, di tengah guru harus menjadi pemrakarsa, dan di belakang guru harus memberikan dorongan kepada murid.
“Prinsip pendidikan berpusat pada guru mendukung kemapanan, ajaran Ki Hajar perlu diperdebatkan dengan, misalnya, pembelajaran yang berpusat pada siswa, sebagaimana dianjurkan paradigma kritis,” kata Bayu.
Tak perlu ajaran dari luar
Menurut Zuly Qodir, ajaran-ajaran pendiri Muhammadiyah, Kiai Achmad Dahlan, sekarang ini perlu terus dipelajari dan disosialisasikan lagi. “Banyak teman saya dosen dan mempunyai kartu anggota Muhammadiyah masih belum paham dengan ajaran Kiai Dahlan. Kalau kita semua paham, tak perlu mempelajari dan mengadopsi ajaran dari luar,” katanya.
Dengan gaya bicara meledak-ledak disertai humor yang mengundang tawa, Zuly mengungkapkan yang diinginkan dengan gagasan Islam berkemajuan oleh Kiai Dahlan adalah Islam yang menyampaikan benih-benih kemanusiaan, yang menyampaikan tentang kebenaran, yang menyampaikan kebajikan, kedamaian, keadilan, kemaslahatan, dan keutamaan hidup.
“Kalau hal ini dipelajari dan diamalkan, kita tidak usah mengimpor ajaran lain dari luar,” ucapnya. (SIG)
——–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Juni 2016, di halaman 12 dengan judul “Pemikiran Kritis Tidak Populer”.