Kenaikan Anggaran Tidak Selesaikan Masalah
Upaya meningkatkan dana riset tak boleh menggantungkan pada anggaran pemerintah. Keterlibatan industri dalam riset justru harus diutamakan. Jika partisipasi industri tetap lemah, sebesar apa pun dana riset digelontorkan pemerintah, hal itu tak akan memberi hasil optimal dalam meningkatkan daya saing bangsa.
Kepala Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Husein Avicenna Akil mengemukakan hal itu, Senin (30/6), di Jakarta, menanggapi paparan dua calon wakil presiden, yakni Jusuf Kalla dan Hatta Rajasa, pada Minggu (29/6) malam.
Hatta berjanji akan meningkatkan anggaran riset hingga menjadi Rp 10 triliun secara bertahap dalam lima tahun ke depan. Kalla menegaskan, dengan anggaran pendidikan 20 persen APBN saat ini, dana itu seharusnya cukup dipakai untuk mengembangkan riset demi menciptakan inovasi dalam negeri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kalla menekankan pentingnya akuntabilitas hasil riset. Jadi, dana yang dipakai terukur jelas capaian atau produk yang dihasilkan. Namun, riset dan inovasi di Indonesia lemah karena riset yang dilakukan belum mampu menjawab perkembangan teknologi sehingga Indonesia bergantung teknologi negara lain.
Husein memaparkan, Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 merencanakan dana riset 1 persen produk domestik bruto mulai tahun 2014. Melihat besaran dana riset pada tahun 2009, itu berarti butuh dana riset Rp 59 triliun, tidak termasuk gaji pegawai. Namun, hal tersebut belum terwujud.
Mantan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Marzan Aziz Iskandar menilai, kenaikan anggaran riset Rp 10 triliun dalam lima tahun ke depan tak memadai. Untuk membangun riset, perlu dialokasikan dana Rp 18 triliun per tahun, 20 persen di antaranya ditanggung pemerintah. Negara-negara maju menganggarkan riset 3 persen dari PDB.
Staf Ahli Menteri Riset dan Teknologi Teguh Raharjo menyatakan, anggaran iptek pemerintah Rp 14 triliun per tahun, rasio anggaran litbang Indonesia 0,08 persen dari PDB. Menurut Bank Dunia, anggaran litbang ideal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi 2 persen dari PDB.
Dorong industri
Menurut Husein, belanja riset Indonesia Rp 4,72 triliun pada 2009 atau 0,08 persen dari PDB. Dari jumlah itu, sebanyak 81,3 persen dari pemerintah dan hanya 18,7 persen dari industri manufaktur. Dana riset dari pemerintah di Malaysia hanya 15 persen (2006) dan di Singapura 36,6 persen (2004).
”Jika anggaran riset didominasi pemerintah, tak akan memberi hasil positif bagi bangsa, hanya membuang uang saja,” kata Husein. Dana riset besar dari pemerintah menunjukkan, bangsa itu hanya jadi pasar bagi produk teknologi negara lain. Riset untuk menghasilkan teknologi dilakukan di negara lain, industri hanya membeli teknologi itu.
Selain itu, peningkatan anggaran besar mesti diimbangi penyiapan sumber daya riset bermutu serta agenda atau jenis riset terarah, terstruktur, dan komprehensif. Percuma dana riset besar jika sumber daya tak tersedia. ”Kebijakan pemerintah semestinya mendorong keterlibatan industri dalam riset,” kata dia.
Hatta mengklaim, saat menjadi Menristek pada 2001-2004, ia menggagas konsep triple helix, keterpaduan pemerintah, perguruan tinggi, dan industri. Pada era Kusmayanto Kadiman jadi Menristek pada 2004-2009, konsep itu dikenal sebagai ABG, akademisi, bisnis, pemerintah. Namun, semua konsep itu tak jalan.
Oleh karena itu, Husein menilai perlu perbaikan masalah birokrasi penghambat riset. Contohnya, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi menyebut kemungkinan pemberian insentif khusus bagi industri yang melakukan riset. Namun, belum ada aturan pelaksanaan.
Teguh menyatakan, mayoritas isu yang dipaparkan kedua cawapres tak baru. Sinergi dan interaksi akademisi, bisnis, dan pemerintah tak mudah diwujudkan tanpa kebijakan pemerintah yang menarik bagi pengembang dan potensial pengguna teknologi.
Kenaikan anggaran riset pun belum tentu mendorong produktivitas, difusi teknologi, dan kontribusi iptek pada pertumbuhan ekonomi. Integrasi pendidikan dan riset belum tentu memecahkan masalah produktivitas riset, teknologi, dan kontribusi bagi ekonomi. (MZW/YUN/ISW)
Sumber: Kompas, 31 Juni 2014