Pemeriksaan Timpang, Pengendalian Covid-19 Makin Sulit

- Editor

Senin, 20 Juli 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kemampuan tes yang belum merata membuat penyebaran Covid-19 di Indonesia sulit dipetakan dengan baik. Padahal, tes secara masif dan cepat disertai pelacakan kontak menjadi kunci pengendalian wabah.

Kemampuan tes yang belum merata membuat penyebaran Covid-19 di Indonesia sulit dipetakan dengan baik. Hingga saat ini, baru DKI Jakarta yang secara konsisten memenuhi jumlah tes minimal. Padahal, tes masif dengan hasil yang cepat, selain pelacakan kontak, merupakan kunci untuk mengendalikan wabah.

Data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, jumlah spesimen yang diperiksa untuk mendeteksi terkait Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru pada Sabtu (17/7/2020), sebanyak 25,552 spesimen dalam sehari, tetapi individu yang diperiksa baru 13.238 orang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sementara total orang yang diperiksa hingga saat ini 697.043 orang di mana 84.882 di antaranya positif Covid-19. Dengan demikian, positiviy rate atau jumlah positif dibagi jumlah kasus yang diperiksa mencapai 12,2 persen.

Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang kondisi Covid-19 di Indonesia pada 15 Juli 2020 menyebutkan, jumlah tes di Jakarta dalam tiga minggu terakhir rata-rata sudah 2 per 1000 orang per minggu atau sudah dua kali lipat dari batas minimal, sekalipun trennya menurun. Sementara, positivity rate di Jakarta meningkat dari ambang batas 5 persen menjadi 10 persen.

Jawa Timur masih memiliki positivity rate tertinggi, yaitu 23 persen-30 persen. Adapun jumlah tes di Jawa Timur masih fluktuatif dan rata-rata masih di bawah 0,5 per 1000 orang per minggu.

Nilai positivity rate yang juga tinggi adalah Jawa Tengah dengan rata-rata 15 persen-20 persen, dengan jumlah tes rata-rata hanya 0,25 per 1.000 orang per minggu. Ini merupakan jumlah tes paling rendah di Jawa.

”Pemerataan kemampuan tes di daerah sangat penting, terutama di daerah dengan potensi penularan sangat tinggi seperti di Jawa. Tanpa itu, kita sulit mengetahui tingkat penyebaran Covid-19 sehingga tak bisa menyatakan suatu daerah berhasil mengatasi wabah ini jika hanya berdasar jumlah kasusnya,” kata Iqbal Elyazar, epidemiolog Laporcovid19.org.

Selain Jakarta, menurut Iqbal, sejumlah daerah menunjukkan peningkatan jumlah tes, tetapi kebanyakan masih jauh dari target minimal. Berdasarkan data yang dikompilasi dari laporan Pusat Data dan Informasi Litbang Kementerian Kesehatan, daerah yang sudah memenuhi target tes minimal dalam seminggu untuk periode 9-15 Juli 2020 selain Jakarta adalah Sumatera Barat, Yogyakarta, Bali, dan Sulawesi Selatan.

Adapun daerah dengan jumlah tes yang sudah mendekati taget minimal adalah Papua, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Di luar daerah ini, jumlah tesnya masih sangat jauh dari memadai. ”Misalnya Aceh, yang diapresiasi Presiden Joko Widodo termasuk sukses mengendalikan Covid-19, baru memiliki jumlah pemeriksaan 0,66 spesimen per 1.000 penduduk hingga Rabu (15/7/2020). Bahkan, Jambi baru melakukan 0,11 pemeriksaan per 1.000 penduduk, dan merupakan yang paling sedikit di Indonesia,” katanya.

Pentingnya tes masif dengan hasil yang cepat juga diungkap dalam kajian di jurnal The Lancet Public Health pada 16 Juli 2020. Disebutkan, kecepatan strategi pelacakan kontak sangat penting untuk memperlambat penularan Covid-19 dan ini hanya bisa dilakukan jika tes bisa dilakukan dengan masif dan cepat.

Mirjam Kretzschmar dari Universitas Utrecht, Belanda, yang memimpin kajian ini menyebutkan, jika tes Covid-19 tertunda tiga hari atau lebih setelah seseorang mengalami gejala, bahkan strategi pelacakan kontak yang paling efisien tidak dapat mengurangi penularan virus selanjutnya. Penelusuran kontak dapat menjadi intervensi efektif untuk mencegah penyebaran Covid-19, tetapi hanya jika proporsi kontak yang dilacak tinggi dan prosesnya cepat.

Epidemiolog dari Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Komunitas, Fakultas Kedokteran Universitas Djenderal Sudirman, Joko Mulyanto, mengatakan, pelacakan kasus idealnya dilakukan terhadap 80 persen kontak erat harus sudah bisa dikonfirmasi dalam 72 jam. ”Jadi, ada dua parameter penting untuk mengatasi jumlah kontak erat yang dilacak dan durasi pelacakan,” katanya.

Risiko Jawa Tengah
Terkait rendahnya kapasitas tes dan pelacakan ini, Joko mengkhawatirkan kondisi Semarang dan sekitarnya yang sudah mengalami penularan di dalam komunitas, dengan tren kasus terus meningkat. ”Jalur pantura (pantai utara Jawa) dari Semarang ke timur sampai Jawa Timur sudah merah. Namun, Semarang ke barat belum terlihat. Semarang ke arah Solo, Salatiga, dan Boyolali juga merah, sedangkan yang relatif masih rendah di bagian tengah,” ujarnya.

Menurut Joko, tigginya posivity rate di Jawa Tengah disumbangkan Semarang dan sekiarnya yang angkanya masih di atas 15 persen. ”Tetapi, di Banyumas dari sekiar 1.000 tes terhadap tenaga kesehatan dan pedagang pasar baru-baru ini, positivity rate sekitar 1,7 persen,” katanya.

Joko mengatakan, kapasitas tes di Jawa Tengah masih amat kecil, dibandingkan daerah lain di Jawa. Itu disebabkan, dari awal pemerintah provinsi tidak menganggap tes sebagai strategi utama, dan lebih menekankan pada strategi intervensi sosial. ”Ketika menyadari tes penting, dan pemerintah pusat juga mulai memprioritaskan testing baru muncul arahan dari gubernur agar kabupaten/kota meningkatkan tes PCR,” katanya.

Namun instruksi ini tidak disertai dengan pasokan sumber daya yang memadai sehingga akan sangat bergantung pada kemampuan fiskal masing-masing kabupaten/kota. Padahal mengembangkan kemampuan laboratorium untuk tes butuh waktu lama, apalagi kalau dari nol biayanya amat besar.

”Dibandingkan Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur, infrastruktur yang ada dan bisa dikembangkan menjadi laboratorium untuk pemeriksaan lebih sedikit,” ungkapnya.

Menurut Joko, hampir semua laboratorium di Jawa Tengah yang saat ini bekerja untuk pemeriksaan masih mendapatkan pasokan sumber daya dari pemerintah pusat. ”Jadi sebenarnya kontribusi daerah relatif rendah,” ujarnya.

Oleh AHMAD ARIF

Editor EVY RACHMAWATI

Sumber: Kompas, 19 Juli 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB
Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri
PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen
7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 1 April 2024 - 11:07 WIB

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:17 WIB

PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:09 WIB

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya

Rabu, 3 Januari 2024 - 17:34 WIB

Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia

Minggu, 24 Desember 2023 - 15:27 WIB

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB