DULU lelaki muda ini gemar mencuri burung. Demi beberapa lembar rupiah, dengan berbagai jebakan, Nengah Sudipa (21) menangkap burung kepodang dan jenis burung lain yang cukup berharga dari pohon-pohon tempat mereka tinggal, kemudian menjualnya.
Namun, semua kebiasaan buruk itu kini tak pernah lagi dilakukannya. Praktis, sejak sekitar dua-tiga tahun terakhir, ia justru menjadi aktivis pelestari burung, khususnya jalak bali. Dengan burung berbulu putih bersih berjambul kuning ini, Nengah jatuh cinta setengah mati. Yang ia inginkan dan lakukan sekarang hanyalah melindunginya.
”Pernah ada jalak yang digigit biawak sampai salah satu sayapnya patah. Saya rawat dia sampai sembuh meskipun cuma bisa hidup di dalam sangkar,” kisah Nengah. Sayang, burung tersebut harus mati justru ketika seorang dokter asing mencoba mengoperasinya.
Sehari-hari, Nengah berkutat dengan jalak bali di sebuah tempat pelestarian burung seluas lebih kurang 1 hektar di Pulau Nusa Penida, daerah tujuan wisata di Kabupaten Klungkung, Bali. Jalak bali dewasa didatangkan dari luar Nusa Penida.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebelum dilepas ke alam, jalak ditempatkan di kandang kecil kemudian dibiasakan di kandang besar. Total waktu yang dibutuhkan untuk beradaptasi sekitar 6 bulan sebelum dilepasliarkan.
Dari tangannya, Nengah memberi makan jalak yang masih dalam masa adaptasi. Campuran makanan yang disukai jalak ternyata cukup pedas, ada cabai, kacang panjang, pisang, kentang, kecambah, dan wortel. Semua bahan dicacah dulu. ”Sekali makan bisa 1/4 kilogram,” katanya
Nengah tidak sendiri di tempat pelestarian jalak bali yang dikelola Yayasan Sahabat Taman Nasional (Friends of National Parks Foundation) pimpinan I Gede Nyoman Bayu Wirayudha itu. Ada beberapa pekerja lainnya, termasuk sukarelawan asing dari sejumlah negara. Seorang sukarelawan asal Inggris yang lebih suka dipanggil Pak Max, misalnya, selain membantu Nengah, ia juga mengajar bahasa Inggris kepada anak-anak setempat secara gratis.
Pak Max membuat kaus bergambar jalak bali. Bagi wisatawan, pejabat, dan peneliti yang datang ke Nusa Penida dan membeli kaus ini berarti turut menyumbang pembiayaan pelestarian burung yang di Bali sendiri mulai langka.
”Hidup di sini menyenangkan. Saya bisa membaca buku, mengajar, berkeliling pulau, berenang, dan tentu saja ikut memastikan jalak bali tidak punah. Itu amat berarti,” katanya.
Menurut Bayu, Nusa Penida ini hanyalah tempat pelestarian, tepatnya tempat untuk pelepasliaran jalak bali. ”Kami tidak menangkarkan jalak bali di sana. Kami harap, jalak bali yang dilepasliarkan di sana akan berkembang secara alami karena di sana banyak pohon tempat berlindung dan lokasinya cukup aman,” katanya.
Bagi Bayu, tempat pelepasliaran di Nusa Penida hanyalah salah satu solusi dari persoalan yang membelenggu upaya pelestarian jalak bali. Pekerjaan rumah yang tak ditangani dengan baik oleh pemerintah selama bertahun-tahun sampai kini. Bahkan, di taman nasional pun, kasus pencurian jalak bali terjadi.
Memotivasi warga
Warga setempat, Komang Gaca (33), mengatakan, Nusa Penida memang telah menjadi kawasan tujuan wisata di Bali. Akan tetapi, aliran wisatawan ke pulau yang berjarak sekitar satu jam perjalanan dengan kapal dari Sanur itu tak sederas arus turis ke beberapa obyek terkenal di Bali, seperti Kuta dan Ubud.
Tujuan wisata utama di Nusa Penida antara lain restoran apung dengan target utama tamu asing. Banyak pula penyelam yang ingin melihat ikan mola- mola yang hanya ditemukan di pulau ini. Namun, bagi warga setempat, kehadiran turis yang tak berlangsung setiap hari itu belum terlalu berdampak.
Menjadikan Nusa Penida sebagai habitat baru jalak bali jelas tak mudah. Dukungan masyarakat setempat menjadi amat penting, dengan harapan keseluruhan pulau nantinya bisa jadi tempat hidup yang aman bagi jalak bali. Tentu saja dengan tidak mengesampingkan warga setempat hidup dan memiliki pulau itu. Untuk itu, Bayu berupaya menjadikan warga sebagai subyek pelaku pelestari dan industri pariwisata di Nusa Penida.
Bayu memulainya dengan menyewa lahan milik Nyoman Sukarta sebagai tempat pelepasliaran jalak bali. Sukarta kini juga mengembangkan usahanya dengan membangun hotel, tepat bersebelahan dengan tempat pelestarian jalak bali.
Di hotel yang diberi nama Ring Sameton itu, burung-burung terbiasa hinggap dan berkicau di tamannya yang luas. Si burung maskot Pulau Bali pun kini sudah terbiasa mampir di taman hotel ini pagi atau sore hari.
Saat kami mampir beberapa waktu lalu, hanya 2-3 kamar dari sekitar 10 kamar di hotel Sukarta terisi tamu. Masa puncak hunian hotel, seperti juga dialami segelintir hotel lain yang ada di Nusa Penida, adalah sekitar Juni hingga Agustus atau saat musim panas di negara Eropa dan Amerika Serikat.
”Saya juga korban Pak Bayu. Didorong biar bisa jadi pemandu turis sekalian menyewakan dan menyetir sendiri mobilnya. Sekarang pendapatan saya lumayan. Kalau sebelumnya, cuma tergantung dari bertani rumput laut saja,” kata Gaca.
Gaca mematok sewa mobilnya—yang mirip armada KWK, sejenis mikrolet di Jakarta—seharga Rp 450.000 untuk satu hari penuh, sudah termasuk bahan bakar minyak. Gaca pun siap mengantar jemput tamu di dermaga. Usaha seperti ini tak cuma digeluti Gaca, tetapi juga warga lain.
Selain sewa mobil, warga juga sudah mulai menyewakan sepeda motor dan sepeda. Kerajinan tradisional setempat, yaitu kain sarung cepuk dan beberapa pernak-pernik lainnya juga perlahan diperkenalkan kepada wisatawan. Dengan berkendara sekitar 1-2 jam, turis bisa dibawa langsung ke perajin yang masih menggunakan alat tenun bukan mesin. Uniknya, ada alat tenun kecil selebar lebih kurang 60 sentimeter yang masih digunakan sampai saat ini.
Di sekitar tempat pelestarian jalak juga dikembangkan kebun organik yang hanya menggunakan pupuk kandang dan kompos. Tomat, kacang-kacangan, dan bayam adalah hasil kebun itu yang cukup dicari orang.
”Pak Bayu juga mengajari warga menanam pohon jati dan beberapa jenis pohon lain. Selain pulau jadi lebih hijau, air cepat meresap, dan kayu yang ditanam bisa jadi tabungan bernilai ekonomi tinggi bagi warga,” tambah Nengah.
Dijaga pura
Kelestarian jalak bali juga turut dijamin dengan banyaknya pura yang dikeramatkan di Nusa Penida.
”Jalak suka berada dekat pura. Di pura selalu ada sesajen yang menjadi incarannya untuk disantap. Di sisi lain, orang yang punya niat jahat tak akan berani mencuri atau mencelakai makhluk hidup di pura dan lingkungan sekitarnya,” kata Nengah.
Berkat petunjuk Nengah dan panduan darinya, tim ekspedisi bisa melihat langsung jalak bali di sarangnya, tepat di samping Pura Puseh di Desa Pekraman Ped. Sepasang jalak bali tampak melindungi sarang mereka yang telah berisi beberapa telur. Jalak jantan bisa mudah dikenali dengan ciri jambulnya yang lebih panjang.
Di pohon-pohon besar sekitar Pura Dalem Bungkut, yang merupakan pura tertua dan menjadi tujuan utama peziarah dan amat dikeramatkan warga setempat, banyak ditemukan sarang jalak bali.
”Sudah ada yang bertelur dan menetas, ini salah satu keberhasilan. Saya tidak akan pernah bosan berkeliling menjaga sarang-sarang mereka dan memastikan tidak ada pencuri,” kata Nengah meyakinkan.
Embrio kehidupan baru yang mungkin menandai suatu peradaban baru mengedepankan keselarasan dengan alam telah dimulai di Nusa Penida. (NELI TRIANA)
Sumber: Kompas, 13 Desember 2013