Pelaku Diet Rendah Karbohidrat Memiliki Usia Hidup Lebih Pendek

- Editor

Senin, 20 Agustus 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Diet rendah karbohidrat, bahkan tidak mengonsumsi karbohidrat sama sekali, menjadi pilihan sebagian orang untuk menguruskan badan secara cepat. Tak hanya demi mendapatkan berat tubuh ideal, diet rendah karbohidrat, seperti diet Atkins (menghindari makanan tinggi karbohidrat, tetapi tidak membatasi asupan protein dan lemak), juga menjanjikan untuk menurunkan risiko sejumlah penyakit.

Pola diet rendah karbohidrat itu kini juga marak dilakukan orang-orang, tak hanya di negara maju, seperti Eropa dan Amerika Utara, tetapi juga dipilih sebagian orang di Indonesia demi mendapatkan tubuh dengan berat ideal. Padahal, risiko jangka panjang dari diet rendah karbohidrat itu belum diketahui pasti.

Studi terhadap 15.428 responden berumur 45-64 tahun di Amerika Serikat selama 25 tahun menunjukkan, responden dengan konsumsi karbohidrat sedang yang mengganti konsumsi daging dengan protein dan lemak nabati justru lebih sehat. Mereka yang diet rendah karbohidrat justru memiliki rata-rata usia lebih pendek empat tahun dibandingkan diet dengan karbohidrat sedang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

KOMPAS/ASWIN RIZAL HARAHAP–Suasana dapur mess atlet Perkumpulan Bulu Tangkis Djarum di Kudus, Jawa Tengah, Jumat (5/9/2017). Mereka menyiapkan makanan dengan asupan gizi yang berimbang demi menunjang prestasi atlet.

Studi yang dipublikasikan di jurnal The Lancet Public Health, Kamis (16/8/2018), itu dilakukan dengan meminta responden mengisi kuesioner tentang makanan dan minuman yang mereka konsumsi beserta jumlah porsinya. Dari kuesioner itulah, peneliti memperkirakan proporsi kalori yang responden dapatkan dari karbohidrat, lemak, dan protein.

Setelah 25 tahun, peneliti menemukan, responden yang memperoleh 50-55 persen energi mereka dari karbohidrat justru memiliki tingkat kematian lebih rendah dibandingkan yang mengonsumsi karbohidrat tinggi dan rendah.

Karbohidrat itu dapat berasal dari sayur, buah, dan gula. Namun, sumber utamanya adalah makanan bertepung, seperti beras, roti, kentang, pasta, mi, dan sereal.

Studi yang dilakukan Sara B Seidelmann dari Divisi Kardiovaskular Departemen Kedokteran Rumah Sakit Brigham and Women’s, Boston, AS, dkk itu juga menunjukkan pada umur 50 tahun, responden yang mengonsumsi karbohidrat dalam jumlah moderat mampu bertahan hidup hingga 33 tahun berikutnya atau memiliki usia harapan hidup hingga 83 tahun.

Itu berarti responden dengan diet moderat karbohidrat mempunyai umur rata-rata lebih lama empat tahun dibandingkan responden yang diet ekstra rendah karbohidrat (maksimal 30 persen energinya dari karbohidrat), 2,3 tahun lebih lama dibandingkan peserta diet rendah karbohidrat (30-40 persen energi dari karbohidrat) dan 1,1 tahun lebih lama dibandingkan yang diet tinggi karbohidrat (minimal 65 persen energinya dari karbohidrat).

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG–Pegawai sebuah warung makan di kawasan Rawa Belong, Jakarta, melayani pembeli, Senin (18/5/2017). Pola makan yang tidak sehat dapat menjadi salah satu penyebab penyakit mematikan, seperti jantung koroner dan stroke.

Para peneliti kemudian menarik data dari tujuh penelitian lain dan menggabungkan dengan studi mereka untuk menganalisis pola diet lebih dari 432.000 orang yang ada di 20 negara. Hasil tetap cocok dengan studi yang mereka lakukan, yaitu diet rendah atau tinggi karbohidrat terkait dengan peningkatan risiko kematian hingga 20 persen dibandingkan dengan diet moderat karbohidrat.

Nabati vs hewani
Dari data itu, Seidelmann dkk kemudian membandingkan sesama responden dengan diet rendah karbohidrat. Mereka dibagi dalam dua kelompok, yaitu yang banyak mengonsumsi protein dan lemak hewani sebagai pengganti karbohidrat atau yang banyak mengonsumsi protein dan lemak nabati.

Hasilnya, mereka yang lebih banyak makan segala jenis daging atau keju sebagai pengganti karbohidrat memiliki risiko kematian sedikit lebih tinggi. Sebaliknya yang banyak mengonsumsi kacang-kacangan dan polong-polongan mendapat risiko kematian yang sedikit lebih rendah.

”Diet rendah karbohidrat dan menggantikannya dengan protein dan lemak makin populer saat ini demi alasan kesehatan dan penurunan berat badan. Namun, data kami menunjukkan, diet rendah karbohidrat dan menggantinya dengan protein dan lemak hewani justru memiliki rentang usia harapan hidup yang lebih pendek,” kata Siedelmann seperti dikutip BBC, Jumat (17/8/2018).

Karena itu, mereka yang ingin diet rendah karbohidrat sebaiknya mengganti karbohidratnya dengan makanan yang lebih banyak mengandung protein dan lemak nabati. Cara ini dinilai membuat proses penuaan seseorang menjadi lebih sehat untuk jangka panjang.

–Buah dan sayur-mayur menjadi komponen penting dalam penyusunan pola makan karena mengandung serat, vitamin, dan mineral.

Mereka yang melakukan diet dengan membatasi karbohidrat dan menggantinya dengan konsumsi protein dan lemak hewani justru membuat mereka kurang mengonsumsi sayur, buah, dan biji-bijian. Padahal, konsumsi protein dan lemak hewani itu meningkatkan peradangan dan penuaan pada tubuh.

”Pesan penting dari studi ini adalah tidak cukup hanya fokus pada nutrisi atau zat gizi, tetapi juga harus memastikan sumbernya apakah dari hewani atau nabati,” kata Nita Forouhi dari Unit Epidemiologi Konsil Riset Kedokteran (Medical Research Council) Universitas Cambridge Inggris yang tidak terlibat dalam penelitian.

Karena itu, diet rendah karbohidrat hanya akan memberi manfaat jika menggantinya dengan protein dan lemak yang bersumber dari tumbuhan. Sebaliknya, diet itu tidak memberikan manfaat jika menggantinya dengan protein dan lemak dari hewan.

Ahli gizi di Public Health England, badan eksekutif dari Kementerian Kesehatan dan Layanan Sosial Inggris, Alison Tedstone, menambahkan studi tersebut menunjukkan diet rendah karbohidrat dapat merusak kesehatan jangka panjang. ”Karbohidrat berserat tinggi seharusnya menopang setengah dari kebutuhan energi kita, termasuk dari buah dan sayur, serta mengurangi asupan daging dan susu berlemak tinggi,” katanya.

Meski demikian, studi selama 25 tahun di AS itu tetap memiliki keterbatasan. Studi ini lebih menunjukkan adanya keterkaitan antara diet rendah atau tinggi karbohidrat dan peningkatan risiko kematian. Namun, studi ini tidak menunjukkan bahwa diet rendah atau tinggi karbohidrat menjadi penyebab meningkatkan risiko kematian.

Riset dengan basis data kuesioner yang dilaporkan responden kemungkinan besar tidak akurat. Selain itu, peneliti juga hanya menghitung diet itu awal studi dan enam tahun kemudian. Padahal, pola diet responden bisa berubah setelah 19 tahun kemudian.

Di sisi lain, profesor emeritus dari King’s College London, Inggris, Tom Sanders, mengatakan, penggunaan kuesiner makanan membuat responden meremehkan asupan kalori dan lemak yang mereka konsumsi. Pola diet masyarakat umumnya adalah banyak lemak-rendah karbohidrat dan rendah lemak-tinggi karbohidrat. Padahal, kedua pola diet itu sama-sama bisa memicu obersitas.

”Kematian lebih tinggi itu bisa dipicu akibat kelebihan berat badan,” tambahnya.

HTTP://GIZI.DEPKES.GO.ID–Piring makanku sebagai panduan pola makan dengan gizi seimbang.

Sementara itu, Andrew Mente, ahli epidemiologi nutrisi dari Institut Riset Kesehatan Populasi Universitas McMaster, Hamilton, Kanada, dan Salim Yusuf, profesor kardiologi Universitas McMaster Kanada, dalam komentarnya yang menyertai publikasi hasil riset diet rendah karbohidrat di AS itu menulis, ”Nutrisi penting dikonsumsi di atas tingkat minimal guna menghindari kekurangan, tetapi harus dibawah tingkat maksimal agar tidak berubah menjadi racun.”

Berdasarkan prinsip itu, seperti dikutip dari Live Science, Jumat (17/8/2018), asupan karbohidrat yang moderat cenderung lebih sesuai untuk populasi umum. Konsep inilah yang diterjemahkan dalam pola diet umum masyarakat, termasuk di Indonesia, yaitu makan makanan yang beragam dengan gizi seimbang.

”Buah, sayuran, kacang-kacangan, biji-bijian utuh, ikan, susu dan daging yang belum diproses (daging segar, bukan dalam olahan seperti sosis), semuanya dalam jumlah sedang atau moderat,” katanya.

Jadi, studi di AS ini mengajarkan kita bahwa segala sesuatu yang berlebihan tetap tidak baik untuk tubuh manusia. Semua perlu sedang-sedang saja.–M ZAID WAHYUDI

Sumber: Kompas, 19 Agustus 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 6 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB