Ketika warga negara lain panik dan meninggalkan Jepang pasca-kerusakan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi, warga negara Indonesia di sana relatif tenang. Di balik ketenangan itu adalah 12 mahasiswa dan ahli nuklir asal Indonesia yang belajar dan bekerja di Jepang.
Tiap hari mereka mengkaji dan merilis data terbaru soal kebocoran radiasi ini dan sejauh mana tingkat amannya.
”Jika kondisi di Tokyo sudah membahayakan, kami yang pertama akan lari,” kata Muhammad Kunta Biddineka (32), mahasiswa program doktoral yang mengambil studi nuklir di The University of Tokyo. Ia menambahkan, ”Kita harus waspada soal nuklir ini, tetapi tidak perlu panik. Situasi Tokyo masih aman.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kunta adalah salah satu dari 12 mahasiswa Indonesia yang belajar nuklir di Tokyo. Jika dosen pembimbingnya, Ketua Laboratorium Research Laboratory for Nuclear Reactor Masanori Aritomi kini berkantor di Kantor Perdana Menteri Jepang untuk mendampingi pemerintah membuat kebijakan terkait nuklir, Kunta berkantor di Pusat Krisis Kedutaan Besar Republik Indonesia di Jepang.
Selama 10 hari terakhir Kunta dan anggota Tim Nuklir lain berkantor di KBRI untuk memantau perkembangan terbaru soal kebocoran nuklir di Fukushima Daiichi.
Analisis Tim Nuklir ini menjadi rujukan bagi KBRI untuk bersikap dan mengeluarkan keputusan penting terkait zona aman dan langkah-langkah yang harus diambil untuk mengantisipasi kebocoran radiasi. ”Tanggung jawab ini sangat berat sehingga awalnya kami khawatir juga kami akan keliru dalam memberi masukan,” kata Teddy Ardiansyah, juga mahasiswa doktor soal nuklir di The University of Tokyo.
Teddy adalah orang pertama yang diminta Dubes RI di Jepang M Lutfi untuk membantu membaca situasi. Lalu, ia menghubungi 11 temannya yang tengah belajar dan bekerja di bidang nuklir di Jepang. Ia juga menjalin komunikasi dengan para pakar nuklir Indonesia di Tanah Air, juga di berbagai negara lain, misalnya dengan ahli nuklir Indonesia di Chalmers University of Technology, Swedia, Alexander Agung.
Beberapa anggota tim nuklir yang lain adalah mahasiswa doktoral program nuklir Tokyo Institute of Technology, Dwi Irwanto, Syailendra Pramuditya, dan Teddy Ardiansyah; peneliti Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) yang mengambil program doktor di Tokyo Institute of Technology, Topan Setiadipura; Master in Nuclear Engineering Tokai University, Deby Mardiansah; dan peneliti Postdoctoral di Japan Atomic Energy Agency (JAEA), Sidik Permana.
Dalam tekanan
”Tiap hari kami deg-degan sebelum mengeluarkan rekomendasi. Kalau sampai salah, kami semua ke neraka karena bisa membahayakan orang lain. Kami selalu berdebat keras sebelum membuat kesimpulan tiap harinya,” kata Kunta.
Para anggota Tim Nuklir ini sedikit tenang setelah mendapat kepastian, yang menyebabkan ledakan bukanlah plutonium yang menjadi bahan bakar PLTN Fukushima Daiichi. Namun, yang meledak adalah hidrogen.
Topan Setiadipura mengatakan, Pemerintah Jepang sangat konservatif dalam melindungi warganya, terutama karena pengalaman buruk mereka terkait nuklir pascabom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Jaminan keamanan itulah yang selama ini membuat rakyat Jepang sangat percaya kepada otoritas pemerintah.
”Pemerintah Jepang menjamin keamanan produk yang beredar di pasar. Sejak kejadian Fukushima, mereka mengecek seluruh produksi makanannya di 47 prefektur. Jadi, bayam dan susu yang beredar di pasaran pasti yang sudah aman untuk konsumsi,” ujar Topan.
Ia menambahkan, jika air keran di Tokyo tercemar, pemerintah pasti akan menghentikan alirannya. ”Selama air masih mengalir, berarti sudah aman,” ujarnya.
Transparansi
Kunta mengatakan, kebocoran nuklir di reaktor Fukushima Daiichi menjadi pelajaran penting bagi para teknisi nuklir untuk berefleksi. Dari kasus ini, dia belajar banyak tentang kerepotan sekaligus kesigapan Pemerintah Jepang dalam menangani kasus ini.
Pemerintah Jepang sangat transparan soal kadar radiasi dan kondisi produk pertanian yang kemungkinan tercemar radiasi dalam upaya melindungi keselamatan warganya.
Bagaimana jika nuklir di tangan pemerintah yang tidak memiliki kredibilitas tinggi? Bagaimana jika Pemerintah Indonesia jadi membangun PLTN di Jepara dan terjadi kebocoran di sana?
Menjawab hal itu, Kunta mengatakan, ”Masalah nuklir bukan sekadar perhitungan teknis. Ada masalah etika dan perilaku, yang itu di luar kontrol kami, para insinyur nuklir.”
Ia menambahkan, sebagai teknokrat nuklir, ia dan kawan-kawannya memang berharap Indonesia akan membangun PLTN. ”Tetapi, melihat kondisi saat ini, kami bertanya-tanya soal kesiapan Pemerintah Indonesia, terutama soal perilaku dan tanggung jawabnya ke publik yang masih lemah,” katanya. (Ahmad Arif, dari Tokyo, Jepang)
Sumber: Kompas, 23 Maret 2011