Privatisasi Air Menjadi Sorotan
Pemenuhan air bersih warga perkotaan di Indonesia terancam seiring makin fluktuatifnya debit air baku. Itu diperparah tingginya tingkat kebocoran, mutu air baku buruk akibat pencemaran air di daerah aliran sungai, dan terus meningkatnya kebutuhan air bersih seiring pertumbuhan jumlah penduduk.
Untuk menjamin pemenuhan air bersih bagi warga, termasuk di perkotaan, Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air atau Kruha mendorong agar penyusunan regulasi tak kembali memberi ruang besar bagi privatisasi atau komersialisasi air sebagai sumber kebutuhan hidup manusia.
Hal itu terungkap dalam Peringatan Hari Air Sedunia 2016 yang digelar di sejumlah daerah, antara lain di Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Samarinda, dan Ambon, Selasa (22/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di Surabaya, Jawa Timur, misalnya, Sungai Brantas dengan 40 anak sungai jadi sumber air bagi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), irigasi, dan industri. Namun, sungai itu juga jadi tempat pembuangan limbah rumah tangga serta limbah irigasi dan industri. “Di hilir, 430 industri membuang limbah ke Daerah Aliran Sungai Brantas,” kata Kepala Divisi Hilir Perum Jasa Tirta I Muhammad Taufiq, kemarin.
Sementara di Samarinda, Kalimantan Timur, pegiat lingkungan menggelar aksi menyusuri Sungai Karang Mumus, Samarinda, yang tercemar terutama akibat penambangan batubara. Di Kota Ambon, Maluku, debit air turun akibat degradasi lahan di kawasan mata air. Menurut Ketua Lembaga Kalesang Lingkungan Maluku Costansius Kolatfeka, hal itu akibat penebangan kayu dan pembakaran hutan sekitar mata air.
Krisis air
Menurut pengajar Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Indonesia, Firdaus Ali, dalam diskusi publik “Hari Air Dunia 2016”, kemarin, di Jakarta, 97 persen air permukaan dari luar Jakarta dan rentan gangguan suplai. Air tanah dangkal tercemar berat, kondisi air tanah kritis dan memicu penurunan muka tanah.
Selain gangguan distribusi, pasokan air baku dari luar Jakarta juga rentan tarik ulur kepentingan wilayah, terutama Jawa Barat dan Banten. Kini, 10,1 juta warga Jakarta harus dilayani air bersih, tetapi layanan air bersih perpipaan baru menjangkau 54 persen dengan 814.000 sambungan.
Pemenuhan air bersih Jakarta pun terkendala kebocoran. Menurut Firdaus, yang juga pendiri Indonesia Water Instute, angka kebocoran air perpipaan 41 persen, antara lain karena kerusakan infrastruktur dan pencurian.
Direktur Utama PAM Jaya Erlan Hidayat memaparkan, penambahan wilayah cakupan air bersih perpipaan tidak signifikan karena air baku terbatas. Pihaknya mengklaim melayani 62,08 persen wilayah Jakarta akhir 2015 dan naik 0,6 persen dibandingkan dengan tahun 2014.
Barce Simarmata, Deputi Direktur Pelayanan Teknis Palyja, menambahkan, tidak semua sungai di Jakarta bisa dimanfaatkan untuk bahan baku air minum karena mutu buruk. “Air dari Banjir Kanal Barat mengandung amonium melebihi batas ambang sehingga air harus diolah dengan teknologi khusus,” ujarnya.
Sementara itu, Kruha menyiapkan naskah akademik sebagai usulan pengganti Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2004 yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi tahun lalu. Mereka berupaya agar UU tidak kembali memberi ruang besar bagi privatisasi air.
“Naskah akademis dalam tahap finalisasi. Kami tak lagi memakai terminologi sumber daya air karena seolah jadi privatisasi air,” kata Sigit Karyadi Budiono, aktivis Kruha, kemarin. Kruha yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) menggelar aksi di depan Mahkamah Agung dan berakhir di depan Istana Negara. Mahkamah Agung diminta mengabulkan kasasi KMMSAJ atas gugatan menolak privatisasi air di Jakarta.
Naskah akademis yang disusun Kruha bersama sejumlah pakar akan diseminasikan pada 29 Maret nanti di Yogyakarta. Jadi, pemerintah harus memperkuat hak penguasaan negara atas air, pengelolaan air integral, dan perbaikan mutu air baku.(ICH/JAL/MKN/HLN/PRA/ODY/CHE/HRS/FRN)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Maret 2016, di halaman 13 dengan judul “Pasokan Air Bersih Terancam”.