Pendidikan Islam selama ini dikenal cenderung bersifat tradisionalis, lebih mementingkan penghafalan ayat dan hadis ketimbang mengikuti perkembangan ilmu modern. Akan tetapi, hal tersebut dipatahkan di dalam Apresiasi Pendidikan Islam 2015.
Dalam ajang itu dipilih sembilan dosen dari perguruan tinggi Islam yang dinilai berprestasi secara nasional dan internasional. Mereka dibagi dalam tiga kategori, yaitu Sosial Humaniora, Studi Islam, dan Sains Teknologi. Dalam setiap kategori dipilih juara I, II, dan III. Hal ini membuktikan bahwa dosen-dosen di perguruan tinggi Islam sama bagusnya dan mampu bersaing di dalam tatanan global.
Berikut profil singkat mengenai para juara I di setiap kategori.
Jajang A Rohmana (39), juara I kategori Studi Islam
Jajang adalah dosen Program Studi Pendidikan Agama Islam di Sekolah Tinggi Agama Islam Miftahul Huda di Pamanukan, Jawa Barat. Ia sudah sepuluh tahun menjadi dosen. Di dalam baktinya sebagai pengajar, Jajang aktif melakukan penelitian mengenai kajian Islam yang diterbitkan di jurnal internasional Studia Islamika dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan Al-Jamiah dari UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Fokus penelitiannya ialah tafsir Al Quran yang menggunakan bahasa Sunda dan bernuansa lokal. “Di sini terlihat sekali bahwa karakter Islam Nusantara sangat toleran karena bisa berakulturasi dengan nilai-nilai budaya lokal,” tutur Jajang ketika ditemui seusai acara Apresiasi Pendidikan Islam 2015 di Jakarta, Jumat (11/12).
Di dalam budaya masyarakat Sunda, Islam menyebar dengan memanfaatkan karya sastra. Contohnya adalah puisi-puisi Kinanti, Dandanggula, dan Asmarandana. Melalui puisi-puisi lokal ini terjemahan Al Quran dan kisah pengalaman sufistik diajarkan kepada masyarakat. Contoh-contoh moral yang digunakan pun mengambil dari kejadian yang kerap dialami masyarakat Sunda. Akibatnya, Islam terasa dekat dengan budaya Sunda, bukan seperti pengaruh asing.
Jajang menjabarkan bahwa melalui metode penyebaran yang damai itu, masyarakat Indonesia menangkap roh Islam, bukan budaya Timur Tengah. “Islam dan budaya lokal itu seperti gula dengan rasa manisnya yang tidak bisa dipisahkan,” katanya.
Namun, nilai-nilai tersebut perlahan luntur karena banyak persepsi keliru di masyarakat bahwa Islam mesti berwatak Timur Tengah sehingga mereka langsung mengambil nilai-nilai Timur Tengah dan memaksa menerapkannya di Nusantara. Hal tersebut tampak dari penelitian The Wahid Institute dan Setara Institute yang menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat adalah tiga besar provinsi yang tidak toleran se-Indonesia.
“Hendaknya kita kembali melihat sejarah persebaran Islam agar memahami bahwa agama datang dengan damai dan untuk mendamaikan masyarakat,” kata Jajang.
Muhammad Avicena (38), juara I kategori Sosial Humaniora
Avicena berasal dari UIN Syarif Hidayatullah. Di sana ia sudah delapan tahun mengampu mata kuliah Psikologi dan sering melakukan penelitian. Salah satu penelitian yang ia lakukan bersama-sama dengan psikolog dari India, Turki, Nigeria, dan Serbia adalah mengenai trauma pada anak sekolah. Hasilnya dipublikasikan di jurnal-jurnal internasional dan situs International Child Mental Health Study Group.
Dalam penelitian tersebut tampak jelas bahwa sekolah dan lingkungan sekitar di Indonesia justru mengakibatkan trauma pada anak, baik dalam bentuk perundungan, masa orientasi siswa, kekerasan verbal, kekerasan fisik, maupun tenaga pengajar yang justru menakut-nakuti anak dibandingkan dengan membimbing mereka.
“Dalam perjalanan sekolah, anak berhadapan dengan risiko melihat pemalakan, tawuran, ataupun perilaku premanisme,” kata Avicena. Akibatnya, anak membentuk sikap negatif terhadap sekolah yang ditunjukkan, dari malas ke sekolah, stres ketika disuruh ke sekolah, hingga memutuskan membolos. Lebih lanjut lagi, ketika anak-anak dengan trauma berkumpul, mereka berisiko membentuk sikap apatis, bahkan agresif terhadap masyarakat. Hal ini yang kemudian membuat terjadinya tawuran, geng motor, atau penyalahgunaan obat-obatan terlarang.
“Melihat kekerasan dan merasakan trauma membuat anak merasa bahwa cara menghadapi dunia adalah dengan menjadi keras terhadap orang lain,” kata Avicena.
Hal tersebut bertambah rumit untuk diatasi karena Indonesia kekurangan tenaga kesehatan mental. Data Organisasi Kesehatan Dunia tahun 2011 menunjukkan hanya ada 600 psikiater klinis di Indonesia, sementara Ikatan Psikologi Klinis Indonesia mengatakan hanya ada 300 psikolog klinis. Di sekolah, tidak semua guru Bimbingan Konseling adalah tenaga profesional yang memang memahami pertumbuhan mental anak.
Avicena menuturkan bahwa dalam hal ini memang perlu kebijakan dari pemerintah untuk menjadikan terapi dan konseling sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan di lembaga-lembaga pendidikan.
Marjoni Inamora (38), juara I kategori Sains Teknologi
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Batusangkar, Sumatera Barat, ini sudah tujuh tahun mengampu mata kuliah Fisika. Ia sangat tertarik dengan konsep energi terbarukan karena selain ramah lingkungan juga hemat dan efisien. Oleh karena itu, Marjoni meneliti tentang sintetis grafit. Sebuah selaput tipis yang diperoleh dari hasil pembakaran materi organik.
Selaput tersebut kemudian diletakkan di atas panel surya untuk dijadikan penghantar listrik. “Sejauh ini, panel surya masih memakai selaput siliko yang harganya mahal. Lebih kurang Rp 15 juta per lempengan ukuran 1 meter x 1,5 meter,” kata Marjoni.
Selaput grafit yang ia kembangkan memang masih memiliki kekurangan seperti daya konversi energi surya menjadi listrik baru 14 persen, sementara silikon mampu mengonversi 30 persen. Akan tetapi, bahan selaput grafit mudah dan murah didapat sehingga bisa menjadi alternatif dalam mengembangkan penggunaan energi surya.
Penelitian Marjoni mengenai selaput grafit kini sudah menjadi rujukan resmi bagi para ilmuwan dunia yang meneliti tentang energi surya. “Saya yakin, dengan kemajuan ilmu pengetahuan, bangsa Indonesia bisa menunjukkan bahwa kita juga unggul di teknologi,” tuturnya.
LARASWATI ARIADNE ANWAR
Sumber: Kompas Siang | 12 Desember 2015