Penelitian Sosial-Budaya Kebencanaan Penting
Para ahli kebencanaan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan Riset Kebencanaan 2014, di Surabaya, Rabu (4/6), merumuskan sejumlah prioritas riset lima tahun ke depan. Prioritas disusun berdasarkan tingginya ancaman bencana di tiap lokasi dan minimnya data. Diharapkan, hasil riset mengurangi risiko dan meminimalkan korban.
Untuk bencana geologi dibagi dalam empat kluster penelitian, yaitu peneliti gempa bumi, tsunami, erupsi gunung api, dan longsor. Selain bencana geologi, dibahas pula bencana hidrometeorologi dan kegagalan teknologi. Seperti diberitakan, Pertemuan Ilmiah Tahunan Riset Kebencanaan 2014 yang diadakan Badan Nasional Penanggulangan Bencana itu diikuti sekitar 150 peneliti dari perguruan tinggi, kementerian, dan lembaga.
”Lokasi prioritas yang kami usulkan untuk riset kegempaan adalah zona Selat Sunda dan sesar Palu Koro (Sulawesi Tengah). Kedua wilayah ini memiliki sumber gempa beda. Palu Koro gempa darat dan Selat Sunda di zona subduksi di laut,” kata ahli gempa bumi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Nanang Puspito, saat memaparkan hasil diskusi kluster gempa bumi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Zona kegempaan di Selat Sunda itu berpotensi menghasilkan gempa bumi berkekuatan di atas magnitudo 8,5. Dengan kekuatan itu, dampak guncangan bisa menimbulkan kerusakan bangunan hingga Jakarta, sekitar 170 km dari pusat gempa. Gempa berpotensi memicu tsunami besar.
Adapun sesar Palu Koro merupakan sesar darat terbesar kedua di Indonesia setelah sesar besar Sumatera. Berbeda dengan sesar Sumatera yang cukup banyak diteliti, penelitian di sesar Palu Koro sangat jarang. Padahal, ancaman bahanya cukup tinggi.
Dalam diskusi, Hamzah Latif, ahli tsunami dari ITB, mengusulkan zona kegempaan utara dan selatan Bali juga dimasukkan dalam prioritas riset. Menurut dia, zona kegempaan di Bali juga berpotensi gempa besar.
Untuk riset tentang tsunami, wilayah yang akan menjadi prioritas utama adalah pantai barat Padang (Sumatera Barat), disusul Selat Sunda, Bali, dan Cilacap (selatan Jawa). ”Untuk barat Padang data cukup banyak, tetapi riset masih dibutuhkan karena risiko bencananya yang tinggi. Di Selat Sunda, riset diperlukan untuk mengantisipasi tsunami jika gempa yang terjadi di atas magnitudo 8,5, sedangkan untuk Bali dan Cilacap datanya masih sangat minim,” kata Kepala Program Operasional Buoy Maritim Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Wahyu Pandoe.
Gunung api
Menurut Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Hendrasto, ada dua belas gunung api yang akan jadi prioritas riset. ”Jumlah itu sudah kami kecilkan dari 30 gunung api yang jadi prioritas pemantauan kami saat ini,” kata dia.
Gunung-gunung api yang diusulkan menjadi prioritas riset, yakni empat gunung di Jawa Barat, yakni Tangkuban Perahu, Guntur, Gede, dan Galunggung. Sementara, tiga gunung ada di Jawa Timur, yaitu Lamongan, Ijen, dan Raung. Selanjutnya, Gunung Agung dan Batur di Bali, Rokatenda di Nusa Tenggara Timur, dan Kie Besi di Maluku Utara, serta Anak Krakatau di Selat Sunda.
”Gunung Lamongan tak banyak dibicarakan saat ini. Padahal, dulu sering meletus besar. Tetapi, sekarang sudah 116 tahun gunung ini tidak meletus. Beberapa kali terjadi krisis seismik, tetapi tidak diikuti letusan. Gunung ini risiko bencananya sangat tinggi. Penduduk benar-benar tinggal di dalam kawah,” kata Hendrasto.
Selain itu, Gunung Guntur juga dinilai mengkhawatirkan karena sudah lama tidak meletus. Padahal, jejak letusannya pada masa lalu mencapai kawasan permukiman saat ini, terutama di kawasan sekitar Cipanas.
Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi Subandriyo mengatakan, saat ini beberapa gunung api yang sudah lama diam tiba-tiba meletus. Salah satunya Sinabung, yang diam 1.000 tahun, sebelum meletus pada 2010 dan akhir 2013. Di sisi lain, jumlah penduduk yang tinggal di sekitar gunung api terus bertambah.
”Siapkah kita kalau gunung-gunung api yang semula diam tiba-tiba meletus besar berskala VEI 4 lebih?” kata dia.
Hendrasto mengatakan, riset kegunungapian, selain menentukan karakter gunung, juga akan menyasar sistem peringatan dini dan peningkatan kapasitas masyarakat. ”Percuma gunung apinya diteliti kalau masyarakatnya tidak disiapkan,” kata dia.
Untuk itu, keterlibatan perguruan tinggi mutlak, terutama meriset bidang sosial dan budaya. Menurut Hendrasto, beberapa gunung api punya karakter sosial-budaya khas, seperti Gunung Batur di Bali. Saat meletus, masyarakat menolak pergi. Itu juga terjadi di Merapi pada 2010.
Pentingnya riset sosial dan manajemen bencana juga disampaikan ahli dari UPN Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno. ”Kita punya gunung api terbanyak di dunia, tetapi pemahaman masyarakat terhadap gunung paling rendah. Riset gunung api juga harus meningkatkan pemahaman kebencanaan gunung api, mengembangkan strategi menghadapi letusan, dan mengembangkan budaya tentang gunung api,” ujarnya. (AIK)
Sumber: Kompas, 5 Juni 2014