Warga di area pesisir cenderung belum sadar pentingnya ekosistem padang lamun. Padahal, kelestarian ekosistem itu tak hanya berdampak pada dugong, mamalia laut langka yang hidup di padang lamun, tetapi juga mempunyai manfaat ekonomi bagi warga pesisir.
“Lamun tak memiliki manfaat ekonomi langsung seperti rumput laut, tapi penting bagi fungsi ekologi,” ucap peneliti pada Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O LIPI), Wawan Kiswara, Rabu (20/4), di Bogor, Jawa Barat, di sela-sela simposium nasional bertema “Dugong dan Habitat Lamun”. Simposium diprakarsai Kementerian Kelautan dan Perikanan, LIPI, Institut Pertanian Bogor (IPB), serta World Wildlife Fund (WWF)-Indonesia.
Lamun (seagrass) merupakan tumbuhan tingkat tinggi (memiliki akar, rimpang, daun, dan buah) yang hidup di laut. Hamparan lamun hidup di perairan laut dangkal. Sementara rumput laut (seaweed) adalah ganggang, yakni tumbuhan tingkat rendah yang punya talus dan spora.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Padang lamun menjadi tempat berbagai biota hidup, termasuk tempat pemijahan, asuhan, pembesaran, dan lokasi pencarian makan bagi ikan bernilai ekonomi. Namun, nelayan kerap menganggap lamun sebagai pengganggu karena bisa menjerat baling-baling motor perahu.
Peneliti sosial ekologi lamun dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Fitriyah Anggraeni, memaparkan, dari riset di Pulau Bintan, Kepulauan Riau, tim peneliti menemukan 56 jenis biota di padang lamun. Tim menghitung seagrass residence index (SRI) pada 38 jenis biota laut, 30 jenis di antaranya punya SRI tinggi, lebih dari 0,66. SRI juga tinggi pada ikan kakap bernilai ekonomi sebagai ikan tangkapan. “SRI tinggi menunjukkan biota butuh keberadaan padang lamun untuk hidup,” ujarnya.
Menurut P2O LIPI, luas padang lamun di Indonesia diprediksi 31.000 kilometer persegi. Sekitar 25.752 hektar di antaranya tervalidasi di 29 lokasi.
Padang lamun di sejumlah daerah terus berkurang. Misalnya, riset Andri Irawan dari Pusat Penelitian Laut Dalam LIPI di Ambon, Maluku, menunjukkan, status padang lamun di Desa Waai, Kailolo, dan Haruku di area Selat Haruku, miskin dan luas tutupan kurang dari 29,9 persen.
Ancaman bagi lamun ialah pemakaian alat tangkap ikan, yakni pukat harimau, karena mengeruk dasar perairan sehingga lamun- lamun terambil. Ancaman lain, pembangunan infrastruktur tanpa kajian lingkungan.
Selain itu, beragam biota di ekosistem padang lamun juga perlu dijaga agar tetap seimbang, termasuk duyung (Dugong dugon). Berdasarkan Konvensi Perdagangan Internasional Flora dan Fauna Terancam Punah (CITES), dugong masuk Appendix I atau tak bisa diperdagangkan dalam bentuk apa pun.(JOG)
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 April 2016, di halaman 14 dengan judul “Padang Lamun Belum Dimanfaatkan”.