MEMIMPIN 250 juta rakyat dengan beragam karakter, menempati wilayah luas nan terpencar serta banyak permasalahan membuat Indonesia butuh pemimpin berotak sehat dan memimpin dengan hati. Pemimpin itu juga harus mampu menginspirasi, memotivasi, memecahkan masalah sekaligus mencintai rakyatnya.
Otak yang sehat yang akan memandu pemimpin bertindak sesuai kebenaran otak, bukan emosinya,” kata Ketua Subprogram Studi Neurosains Universitas Surya yang juga peneliti di Sekolah Kedokteran, Universitas California Irvine, Amerika Serikat Taruna Ikrar di Tangerang Selatan, Jumat (28/3).
Psikolog politik dan kekuasaan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Bagus Riyono, Kamis (3/4), menambahkan untuk memimpin negara sebesar Indonesia butuh pemimpin berotak cerdas. Kecerdasan itu untuk menyelesaikan persoalan bangsa yang kompleks dan mampu berimaji tentang masa depan bangsanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemimpin Indonesia saat ini adalah hasil pilihan rakyat yang suka jalan pintas, pragmatis, dan konsumtif. Wajar jika pemimpinnya berkarakter sama, maunya untung dan senang, tak peduli nasib rakyat.
Model kepemimpinan itu telah menjadikan Indonesia kini sebagai bangsa besar dengan banyak masalah dan dipandang sebelah mata bangsa-bangsa lain.
Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) yang juga Sekretaris Jenderal Masyarakat Neurosains Indonesia Taufiq Pasiak mengatakan, Indonesia butuh pemimpin yang berani berpikir di luar pakem, out of the box.
Pemimpin model ini harus kreatif dan revolusioner, berani mengambil keputusan dan mengubah sesuatu jadi lebih baik secara radikal dan cepat. Jika tidak, ia hanya akan menabung masalah karena informasi berubah cepat di era tsunami digital sekarang.
Indonesia, lanjut Taufiq, butuh pemimpin yang bisa berempati pada persoalan rakyat, tak cukup hanya bersimpati. Pemimpin tak cukup hanya memahami dan prihatin atas derita rakyat, tetapi tak mau ikut menderita bersama rakyat. Empati akan membuat pemimpin tak nyaman dengan kuasa dan kenyamanan yang dimiliki selama rakyat masih hidup susah.
”Pemimpin harus bekerja dengan hati, rakyat adalah bagian diri yang dicintai, bukan alat untuk berkuasa,” kata Bagus.
Pemimpin masa depan juga harus mampu berpikir jangka panjang, tidak lima tahunan sesuai masa kepemimpinan politik Indonesia saat ini. Berpikir jangka panjang ini adalah fungsi puncak otak manusia.
Pola pikir jangka pendek dan prinsip untung rugi membuat hal-hal yang tidak kasat mata, termasuk sesuatu yang akan terjadi pada masa depan dan penting bagi bangsa terabaikan.
”Model ini hanya melahirkan pemimpin yang tidak takut Tuhan, mereka religius, tetapi rendah spiritualitasnya,” kata Taufiq. Akibatnya, nilai-nilai bangsa luntur, solidaritas, saling percaya, dan persatuan sesama anak bangsa pun hancur.
Korteks prefrontal
Bagian otak yang terlibat dalam pemikiran jangka panjang, pengambilan keputusan secara tepat dan cepat, sekaligus berimaji tentang masa depan adalah korteks prefrontal di otak bagian depan. Di antara semua makhluk hidup, bagian ini hanya ada pada otak manusia sehingga menjadi kunci dari kemanusiaan manusia.
Taufiq, yang juga dosen neuroanatomi Fakultas Kedokteran Unsrat, mengatakan, korteks prefrontal yang mengendalikan pikiran rasional baru muncul saat manusia berumur 6 tahun. Sedang bagian otak yang mengendalikan emosi, yaitu limbik, sudah ada sejak manusia lahir.
Ini yang membuat memori manusia di masa balita selalu terkait dengan emosi. Keputusan anak-anak pun diambil berdasarkan rasa nikmat atau nyaman, bukan putusan rasional.
Meski demikian, korteks prefrontal yang berkembang seumur hidup itu bisa berkembang baik jika seseorang diajar berpikir baik. Jika tidak, muncullah seseorang yang fisiknya dewasa, tetapi berpikirnya seperti anak-anak.
Bagus menambahkan, di korteks prefrontal pula imajinasi dilakukan. Di bagian ini, visi pemimpin dibangun, menggambarkan sasaran masa depan yang belum ada saat ini.
Ketika visi itu disampaikan kepada masyarakat, rakyat tersadar bahwa mereka memiliki kekuatan dan bisa mewujudkan mimpi itu bersama-sama.
”Inilah pemimpin yang inspiratif, pemimpin visioner yang mampu mentransformasikan cita-cita bangsa sekaligus menggerakkan rakyat untuk mencapainya,” ujarnya.
Dalam sejarah Indonesia, kemampuan ini dimiliki proklamator Soekarno-Mohammad Hatta dan sejumlah bapak bangsa lain. Mereka tak hanya mampu menghasilkan karya-karya pemikiran besar bagi bangsa, seperti Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, tetapi juga mampu menggerakkan rakyat.
Karakter inilah yang tidak dimiliki pemimpin saat ini. Bahkan sekadar menghargai hasil pemikiran bapak bangsa yang menjadi dasar-dasar kepemimpinan bangsa pun susah.
Pemeriksaan otak
Pentingnya peran otak sebagai pusat pengambilan keputusan membuat pemeriksaan otak calon pemimpin perlu dilakukan. Metode ini banyak diterapkan negara maju, tetapi belum jamak di Indonesia. Syarat kesehatan calon pemimpin Indonesia baru dilihat dari aspek fisik semata, belum melibatkan aspek psikologi dan neurosains.
Menurut Taruna, dengan mengecek otak, potensi lahirnya pemimpin dengan orientasi harta, kuasa atau lainnya bisa dideteksi. Kemungkinan adanya kerusakan struktur otak akibat genetik atau penyakit kronis tertentu serta adanya gangguan kesehatan mental tertentu dalam tingkat paling rendah pun bisa diketahui.
Pendeteksian tipologi otak calon pemimpin untuk melihat orientasinya itu bisa dilakukan dengan menggunakan electroencephalogram (EEG) atau magnetic resonance imaging (MRI).
EEG adalah teknik pembacaan sinyal di otak. Teknik yang relatif lebih murah dibanding MRI ini bisa mendeteksi tingkat ketidaknormalan sinyal otak, termasuk potensi depresinya. MRI bisa digunakan untuk mendeteksi dinamika otak seseorang hingga mengetahui struktur bagian otak mana yang bermasalah.
Gangguan struktur otak itu akan memengaruhi kemampuan berpikir pemimpin hingga berdampak besar pada keputusan yang diambil. ”Otak yang tak sehat hanya melahirkan kebijakan yang tidak sehat,” ujar Taruna.
Oleh: M Zaid Wahyudi
Sumber: Kompas, 8 April 2014