”Pukul sembilan malam, tsunami tiba-tiba datang. Orang-orang berlarian ke bukit. Ombak laut menghancurkan 13 rumah dan kebakaran menghanguskan 20 rumah.” Demikian catatan beraksara kanji yang ditemukan di Desa Kuwagasaki, Morioka, Perfektur Iwate, pantai timur Jepang.
Catatan ini dibuat pada 2 Februari 1700, mengisahkan bencana yang melanda Desa Kuwagasaki pada 26 Januari 1700. Beberapa catatan dari desa di sepanjang pesisir timur Jepang juga melaporkan kejadian sama. Ombak laut tiba-tiba datang pada gelap malam, anehnya sama sekali tidak didahului oleh gempa.
Pada tahun-tahun itu, orang Jepang telah menggunakan istilah tsunami dan mengenali sebagai naiknya gelombang laut setelah gempa, walau belakangan diketahui bahwa tsunami bisa disebabkan oleh letusan gunung dan longsoran bawah laut.
Istilah ”tsunami” pertama kali ditemukan dalam literatur Jepang pada periode Tokugawa Ieyasu (1542-1616), shogun pertama dari 15 yang memerintah Jepang dari Edo. Salah seorang anak buah Tokugawa dalam laporannya tentang kejadian gempa yang melanda Sanriku (pantai timur Jepang) pada 2 Desember 1611 menyebutkan,
”… tanah Masamune dilanda bencana gelombang laut yang menjulang tinggi dan semua harta benda hilang. Sebanyak 5.000 orang meninggal karena tenggelam. Orang-orang menyebutnya tsunami”.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kejadian pada awal 1700 mengherankan orang-orang Jepang. Mereka bingung dengan penyebab naiknya gelombang ke daratan, persis seperti ciri-ciri tsunami sebagaimana kerap terjadi sebelumnya. Fenomena ini baru terjelaskan oleh penelitian yang dilakukan geolog dari US Geological Survey, Brian F Atwater, pada 2005. Bersama dengan lima koleganya dari Jepang, Musumi-Rokkaku Satoko, Satake Kenji, Tsuji Yoshinobu, Ueda Kazue, dan David K Yamaguchi, Atwater menerbitkan buku The Orphan Tsunami of 1700.
Kata orphan, menurut kamus daring, www.merriam-webster.com bermakna ’anak yatim yang terabaikan’. Kata ini berasal bahasa latin orphanus dan bahasa yunani orphanos, dengan makna yang sama. Istilah orphan tsunami pertama kali dipopulerkan oleh Brian F Atwater dan lima kolega untuk menyebut tsunami mematikan yang berasal dari sumber di seberang lautan.
Dalam buku ini, Atwater mengemukakan bukti-bukti bahwa tsunami yang melanda Jepang pada 1700 bersumber dari gempa di Kaskadia, Amerika Serikat, dipisahkan Samudra Pasifik sejarak 8.000 km. Bukti-bukti ini diperkuat dengan beberapa tsunami kiriman yang juga melanda Jepang pada 1946. Kali ini, sumber tsunami berasal dari gempa berkekuatan 7,4 mengguncang Pulau Aleutian (Kenji Satake, 2005). Tsunami berskala regional ini kemudian menginspirasi dibentuknya Pasific Tsunami Warning Center (PTWC).
Pada 22 Mei 1960, Jepang menerima lagi kiriman tsunami dari seberang lautan. Kali ini, tsunami bersumber dari gempa Cile. Jepang kehilangan 142 warga dari total 6.000 korban tewas di Cile. ”Hampir semua tsunami besar yang pernah terjadi di sepanjang Pasifik pasti mengenai Jepang, tetapi tsunami Cile pada 1960 berperan penting dalam membangun peringatan dini Jepang. ”Setelah kejadian ini, Jepang membangun sea wall secara masif karena takut ada tsunami jarak jauh lagi yang datang,” kata Abdul Muhari, peneliti Indonesia yang bekerja di International Research Intitute of Disaster Science (IRIDeS) Tohoku University-Willis Research Network, Jepang.
Bencana global
Bencana kiriman yang beberapa kali melanda Jepang menunjukkan bahwa tsunami bisa merambat hingga ribuan kilometer. Tsunami yang mengguncang Aceh pada 2004, yang mencapai India bahkan Afrika, semakin menguatkan hal ini.
Maka ketika gempa bermagnitudo Mw 8,2 mengguncang Cile, Rabu (2/3) pukul 06.46, kewaspadaan pun ditingkatkan di negara-negara yang bersinggungan dengan Samudra Pasifik. Indonesia termasuk yang berespons cepat dan mengeluarkan daftar 115 kawasan waspada tsunami kiriman.
”BNPB menyebutkan 115 lokasi di Indonesia termasuk Malang (Jawa Timur), waspada tsunami Cile. Respons kewaspadaan mungkin bagus, tetapi kalau Malang juga dikenai status waspada tsunami Cile berlebihan. Kalau untuk Indonesia timur seperti Papua, Maluku, dan Sulawesi Utara jelas harus waspada, tetapi kalau Jawa mungkin tidak,” kata Muhari.
Jarak pusat gempa Cile hari ini dengan Jayapura mencapai lebih dari 16.000 km. Bagaimana bisa gelombang tsunami mencapai jarak yang begitu jauh?
Peneliti tsunami dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Widjo Kongko menyebutkan, jauhnya jangkauan gelombang tsunami terkait dengan sifat gelombang tsunami. ”Tsunami termasuk gelombang panjang. Gelombang ini irit energi sehingga bisa merambat hingga jarak jauh,” katanya
Di lautan dalam, tsunami biasanya berketinggian sekitar 10 sentimeter hingga beberapa meter. Panjang gelombangnya mencapai puluhan hingga ratusan kilometer. Karena sifat gelombang panjang, energi tsunami terdistribusikan dari dasar ke permukaan laut. Saat mendekati pantai, panjang gelombang akan memendek dan energi berubah menjadi gelombang tinggi yang sangat kuat, yang bisa menjangkau ke daratan hingga jauh (Sugawara D, dkk, 2008).
Muhari mengatakan, kasus tsunami kiriman yang melanda Indonesia sebenarnya cukup banyak, tetapi risetnya masih sangat kurang. Penelitian Gorden N. Joku (2007) setelah tsunami Aitape tahun 1998 menemukan bahwa masyarakat di Teluk Papua, persisnya di Skouw Saey (pesisir utara Papua, sebelah timur Teluk Papua sampai perbatasan RI-Papua Niugini) pernah dilanda tsunami kiriman pada 1941, 1952, 1957 dan 1960.
Jika dikaitkan dengan kejadian gempa di dunia, menurut Muhari, tsunami yang sampai ke Papua pada 1952 adalah gempa-tsunami dari Kamchatka (Kuril Island, Rusia) berkekuatan magnitudo 8,8-9,0. Ini salah satu gempa terbesar dalam sejarah. Kemudian kejadian pada 1957 adalah gempa-tsunami Adreanof Island (Auletian-Alaska) dengan kekuatan magnitudo 8,6. Tahun 1960, yang dalam paper Joku itu, disebutkan bahwa tsunami di Kampung Enggros dan Tobati (kampung terapung di Teluk Jayapura) mencapai 10 meter. Ini adalah tsunami dari Cile.
Oleh: Ahmad Arif
Sumber: Kompas, 3 April 2014