Energi nuklir merupakan bagian tak terpisahkan dari energi baru terbarukan. Namun kekhawatiran sebagian masyarakat membuat peran nuklir untuk memenuhi kebutuhan listrik bangsa terabaikan. Padahal, Indonesia sudah merintis kemampuan mengelola nuklir sejak 60 tahun lalu.
Kebutuhan listrik Indonesia pada 2050 sangat besar. Saat itu, Indonesia diprediksi jadi kekuatan ekonomi keempat dunia. Listrik yang besar bukan hanya untuk penuhi kebutuhan industri, tapi juga menunjang berbagai kehidupan manusia yang mengarah pada teknologi robotika dan kecerdasan buatan.
Di sisi lain, ketersediaan energi fosil kian berkurang dan kebutuhan energi bersih makin meningkat. Tuntutan untuk mengurangi emisi karbon dan menekan dampak pemanasan global juga makin menguat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Dengan kondisi itu, nuklir bisa menjadi pilihan energi utama,” kata Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Muhammad Dimyati dalam Diskusi Kelompok Terarah Reaktor Daya Eksperimental di Tangerang Selatan, Kamis (8/3).
Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat yang juga Ketua Kaukus Nuklir Parlemen Kurtubi menilai salah satu kendala pengembangan energi nuklir adalah pasal 11 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang menyebut nuklir sebagai pilihan terakhir. “Bangsa yang besar tidak boleh takut dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,” katanya.
KOMPAS/M ZAID WAHYUDI–Sebagian peserta Diskusi Kelompok Terarah tentang Reaktor Daya Eksperimental berfoto bersama sebelum diskusi dilakukan di Tangerang Selatan, Kamis (8/3). Di barisan paling depan, mulai kedua dari kiri secara berurutan adalah Kepala Pusat Teknologi dan Keselamatan Reaktor Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Geni Rina Sunaryo, Kepala Divisi Perencanaan Sistem Perusahaan Listrik Negara Adi Priyanto, Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Muhammad Dimyati, Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Kurtubi, dan Kepala Batan Djarot Sulistio Wisnubroto (ketiga dari kanan).
KEN menargetkan porsi energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional mencapai 23 persen pada 2025. Target itu diyakini sulit tercapai karena porsi EBT pada 2018 ini baru mencapai 12,4 persen. “Sumber EBT tersebar dan banyak berada di luar Jawa, padahal kebutuhan listrik terbesar ada di Jawa,” kata Kepala Divisi Perencanaan Sistem Perusahaan Listrik Negara Adi Priyanto.
Politik
Selain ketakutan terhadap bahaya nuklir, kendala terbesar pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) komersial adalah persoalan politik. Isu nuklir sering dimanfaatkan untuk menyerang lawan politik selama kampanye.
Kondisi itu sesuai hasil jajak pendapat nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) pada 2010-2016 untuk mengukur penerimaan publik terhadap PLTN. Secara nasional, penerimaan masyarakat terendah terjadi pada 2011 saat terjadi musibah PLTN Fukushima Daiichi Jepang akibat gempa dan tsunami.
Namun, penerimaan PLTN terendah di Bangka Belitung yang jadi salah satu lokasi tapak PLTN justru terjadi pada 2012. “Saat itu sedang ada pilkada di provinsi tersebut,” ujar Kepala Batan Djarot S Wisnubroto.
Dalam banyak pengembangan iptek Indonesia, persoalan politik dan non teknis justru lebih mempengaruhi dibanding persoalan teknis risetnya. Kondisi itu menuntut sosialisasi dan edukasi tentang PLTN yang lebih masif dan efektif.
Di tengah terus munculnya penolakan sebagian masyarakat, pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 menetapkan pembangunan reaktor daya eksperimental (RDE) berkapasitas 10 megawatt termal (MWt) atau setara 3 megawatt elektrik (MWe).
“Daya RDE itu hanya sepertiga dari daya Reaktor Serba Guna GA Siwabessy Serpong yang ada saat ini,” kata Djarot. Namun, ketakutan dan penolakan sebagian orang tetap ada.
KOMPAS/M ZAID WAHYUDI–Reaktor Serba Guna GA Siwabessy (RSG-GAS) yang ada di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) Serpong, Tangerang Selatan pada 23 November 2017.
Kepala Pusat Teknologi Keselamatan Reaktor Nuklir Batan Geni Rina Sunaryo mengatakan RDE yang dibangun menggunakan jenis reaktor temperatur tinggi berpendingin gas (high–temperature gas–cooled reactor/HTGR) yang merupakan teknologi reaktor generasi keempat.
Reaktor RDE memiliki tingkat keselamatan tertinggi. Sebagai perbandingan, reaktor PLTN Chernobyl Ukraina dan PLTN Fukushima Daiichi yang pernah mengalami kecelakaan memakai reaktor generasi I dan II. Saat ini, generasi reaktor yang paling banyak digunakan berasal dari generasi III.
“Reaktor generasi III plus yang mengakomodasi sistem keselamatan pascakecelakaan Fukushima Daiichi saja belum ada yang menerapkan,” tambah Geni.
Tahun ini, pengembangan RDE memasuki tahap perancangan desain rinci (detail engineering design/DED). Tahap desain ini merupakan pengembangan dari desain basis (basic engineering design/BED) yang sudah memasukkan aspek keselamatan untuk mengantisipasi terjadinya kecelakaan reaktor.
Meski pengembangan DED dilakukan Batan beserta konsorsium swasta dan perguruan tinggi nasional, Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) akan ikut mengkajinya. Desain rinci itu ditargetkan selesai dibuat dan diperbaki pada awal September 2018 sehingga bisa diluncurkan pada Sidang Umum IAEA.
Jika semua berjalan lancar, RDE diharapkan bisa dibangun pada 2019-2022 sehingga bisa beroperasi pada 2023. RDE ini tidak hanya menghasilkan listrik namun juga panas yang bisa dimanfaatkan untuk proses desalinasasi air laut atau pemurnian sejumlah mineral.–M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 9 Maret 2018