Nobel bagi Riset Riak Gravitasi

- Editor

Rabu, 4 Oktober 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Tiga Astrofisikawan AS Berbagi Hadiah
Saat diumumkan pertama kali, Februari 2016, penemuan pertama gelombang gravitasi mengguncang dunia ilmu pengetahuan, terutama astrofisika. Wajar jika kemudian Akademi Ilmu Pengetahuan Kerajaan Swedia memberikan Hadiah Nobel Fisika 2017 kepada tiga ilmuwan di balik penemuan itu.

Dalam pernyataan resmi di Stockholm, Swedia, Selasa (3/10), Rainer Weiss (85) dari Institut Teknologi Massachusetts (MIT), AS, serta Kip S Thorne (77) dan Barry C Barish (81) dari Institut Teknologi California (Caltech), AS, diumumkan sebagai peraih Hadiah Nobel Fisika 2017.

Dalam pernyataan resmi Akademi Ilmu Pengetahuan Kerajaan Swedia disebutkan, ketiga ilmuwan itu mendapat Hadiah Nobel atas “kontribusi-kontribusi menentukan dalam pengembangan detektor LIGO dan pengamatan gelombang gravitasi”.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ariel Goobar, salah satu anggota akademi itu, mengatakan, hasil karya ketiga ilmuwan itu memungkinkan kita mempelajari beberapa proses di alam semesta yang selama ini mustahil dilakukan. “Perbandingan terbaiknya adalah saat Galileo menemukan teleskop, yang memungkinkan kita melihat bahwa (Planet) Jupiter memiliki banyak bulan. Dan tiba-tiba kita sadar alam semesta ini jauh lebih besar dari yang pernah kita kira sebelumnya,” ujar Goobar.

“Ini adalah kemenangan bagi umat manusia secara keseluruhan. Gelombang gravitasi ini akan menjadi alat yang sangat kuat bagi umat manusia untuk mengeksplorasi alam semesta,” kata Thorne kepada kantor berita Associated Press sesaat setelah namanya diumumkan sebagai peraih Hadiah Nobel, Selasa.

Pembuktian Einstein

Gelombang gravitasi adalah fenomena alam yang diramalkan Albert Einstein dalam Teori Relativitas Umum lebih dari seabad lalu. Secara sederhana, gelombang gravitasi dijelaskan sebagai riak-riak pada jalinan ruang-waktu alam semesta yang muncul dari massa berakselerasi.

Sejumlah peristiwa akbar alam semesta bisa membangkitkan gelombang gravitasi yang cukup besar untuk dideteksi, misalnya ledakan bintang atau dua lubang hitam yang saling mengitari satu sama lain.

Selama puluhan tahun sejak keberadaan gelombang itu dilontarkan Einstein, ilmuwan berlomba-lomba mencari cara mendeteksinya. Namun, semua upaya itu nihil sampai akhirnya pada 14 September 2015, dua detektor raksasa dalam jaringan Observatorium Gelombang Gravitasi dengan Interferometer Laser (LIGO) di AS mendeteksi riak gelombang gravitasi pertama.

LIGO, yang melibatkan lebih dari 1.000 peneliti dari 100 institusi di 18 negara, mengandalkan dua interferometer laser raksasa yang terpisah jarak 3.000 km di AS. Setiap interferometer yang terletak di Hanford, Massachusetts, dan Livingston, Louisiana, itu memiliki dua terowongan sepanjang 4 kilometer untuk memantulkan sinar laser berkekuatan tinggi.

Weiss dan Thorne yang secara terpisah pada tahun 1970 menemukan metode interferometer laser untuk mendeteksi gelombang gravitasi itu, dan kemudian merintis pembuatan detektornya. Sementara Barish berjasa mengembangkan proyek LIGO menjadi proyek skala besar internasional pada 1994, yang berujung pada pembuatan detektor yang cukup sensitif untuk mendeteksi gelombang itu.

Dua detektor yang dilengkapi teknologi terbaru berpresisi ultratinggi itulah yang berhasil mendeteksi riak pada ruang-waktu alam semesta yang berukuran hanya sepersekian diameter inti atom. Penelitian lanjutan menunjukkan gelombang gravitasi itu ditimbulkan tumbukan dua lubang hitam yang berjarak 1,3 miliar tahun cahaya dari Bumi.

Inilah keistimewaan gelombang gravitasi, yakni bisa memberikan informasi dari tempat- tempat yang sebelumnya tak terdeteksi langsung, seperti lubang hitam. Begitu besarnya gravitasi lubang hitam sehingga gelombang elektromagnetik, termasuk cahaya, tak bisa keluar. “Penemuan ini mengguncang dunia,” ujar Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Kerajaan Swedia Goran K Hansson.(AP/AFP/REUTERS/DHF)

—————

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Oktober 2017, di halaman 13 dengan judul “Nobel bagi Riset Riak Gravitasi”.
——————–

Bukti Ramalan Einstein Seabad Lalu Raih Nobel Fisika 2017

GELOMBANG GRAVITASI. Seabad lalu, Albert Einstein menyatakan keberadaan gelombang gravitasi di semesta. Waktu itu, pernyataan Einstein dianggap tak lebih dari omong kosong, senasib dengan ramalan lain Einstein yang semula dianggap angin lalu.

Namun, kalangan ilmuwan untuk kesekian kali harus angkat topi bagi Einstein. Tepatnya pada 2015, rumor menggelegak bahwa teori gelombang gravitasi mulai terbukti. Ketika rumor ini benar-benar menjadi nyata, kalangan ilmuwan pun gempar.

Pada 14 September 2015, untuk pertama kalinya keberadaan gelombang gravitasi dapat dibuktikan. Para ilmuwan menyebutnya sebagai “kicauan” semesta, sekalipun gelombang gravitasi bukanlah gelombang suara.

Penemuan itu pun sontak mencuat sebagai kandidat kuat penerima Nobel Fisika 2016. Namun, proyeksi kalangan ilmiah tersebut luput, karena Nobel Fisika 2016 diberikan untuk pembuktian keberadaan materi eksotis yang revolusioner untuk dunia elektronika dan ilmu material.

Barulah pada 2017, Nobel Fisika dianugerahkan kepada para penemu keberadaan gelombang gravitasi seperti yang sudah diramalkan Einstein pada 1916. Peraih Nobel Fisika 2017 diumumkan pada Selasa (3/10/2017) di Swedia.

Penerima Nobel Fisika 2017 adalah tiga peneliti Laser Interferometer Gravitational-Wave Observatory (LIGO), yaitu Rainer Weiss, Barry C Barish, dan Kip S Thorne.

Sebentar, apa sih gelombang gravitasi ini? Apa pula pengaruhnya buat penduduk Bumi?

Pada 1916, Einstein menyatakan semesta sejatinya ibarat kain empat dimensi. Hipotesa ini masih satu “paket” dalam teori relativitas umum Einsten, teori yang sudah lebih awal dikenal luas tetapi pembuktian setiap detailnya butuh waktu berdekade-dekade.

Gelombang gravitasi dalam teori tersebut digambarkan sebagai kerutan-kerutan yang muncul karena keberadaan benda yang melintasi kain empat dimensi itu. Andai kerutan ini dikonversi jadi suara, wujudnya kurang lebih serupa bunyi kresek-kresek alias noise yang biasa muncul saat pencarian gelombang radio.

Pemicu gelombang gravitasi ini adalah sembarang obyek di alam semesta yang mengalami perubahan kecepatan atau arah. Besar gelombang yang dihasilkan dari perubahan itu bervariasi, tergantung dari ukuran obyek pemicunya.

Karena Bumi juga bergerak mengelilingi matahari dengan kecepatan dan arah yang bervariasi sekalipun konstan, Bumi pun menghasilkan gelombang gravitasi ini.

Keberadaan gelombang gravitasi yang terjadi ketika obyek dengan bobot massa tertentu bergerak dengan variasi kecepatan dan arah tertentu akan membuat “jarak” di antara obyek itu dan benda lain di semesta pun menjadi relatif—bisa mengerut dan melar.

Pada 2016, Pilled Higher and Deeper (PHD) Comics mencoba membantu kalangan awam memahami gelombang gravitasi ini dengan membuat video animasi. Mereka mengibaratkan semesta seperti selembar alas karet untuk lebih memudahkan penggambaran peristiwa dan efek gelombang gravitasi tersebut.

Dalam penelitiannya, para penerima Nobel Fisika 2017 mengamati gelombang gravitasi yang dihasilkan oleh dua lubang hitam (black hole) yang masing-masing berukuran 36 kali dan 29 kali massa matahari.

Dari waktu ke waktu, kedua lubang hitam ini ternyata saling mendekat, dengan kecepatan putar terhadap satu sama lain terus berubah pula. Setelah sekian waktu, kedua lubang hitam ini akhirnya menyatu, menghasilkan lubang hitam baru berukuran 62 kali massa matahari.

Penyatuan dua lubang hitam itu berdasarkan hitungan fisika seharusnya menghasilkan ukuran lubang hitam baru sebesar 65 massa matahari. Selisih 3 kali massa matahari tersebut merupakan besaran energi gelombang gravitasi dari pergerakan relatif kedua lubang hitam yang kemudian menyatu itu.

Sebelumnya, Einstein menyatakan teori relativitas umum sebagai “perbaikan” atas hukum gravitasi Newton. “Perbaikan” itu berbekal teori Einstein yang sudah lebih dulu muncul, yaitu teori relativitas khusus. Dalam teori relativitas umum, gravitasi bukan lagi dilihat sebagai gaya melainkan manifestasi dari kelengkungan ruang dan waktu.

Dari situlah penggambaran Einstein mengenai semesta ibarat kain empat dimensi berasal. Kelengkungan ruang waktu, kata Einstein, berhubungan langsung dengan empat momentum—energi massa dan momentum linear—dari materi atau radiasi apa pun. Wujud teori relativitas umum Einstein ini lalu digambarkan sebagai persamaan medan Einstein.

Teori relativitas umum Einstein antara lain berdampak pada prediksi relativitas waktu, geometri ruang, gerak benda saat jatuh bebas, dan perambatan cahaya. Hingga saat ini, teori relativitas umum Einstein masih terus menjadi bahan penelitian para pakar fisika, terutama terkait pengembangan lebih lanjut teori gravitasi kuantum.

Tantangan pembuktian teori relativitas umum banyak berkorelasi dengan pemahaman soal semesta. Selain soal gelombang gravitasi, teori tersebut memprediksi pula keberadaan lubang hitam yang mendistorsi ruang, waktu, dan bahkan cahaya.

PALUPI ANNISA AULIANI

Sumber: Kompas.com – 04/10/2017
—————-
Ini ilmuwan peraih Hadiah Nobel Fisika 2017

Ilmuwan Rainer Weiss, Barry Barish dan Kip Thorne memenangi Hadiah Nobel Fisika 2017 untuk kontribusi menentukan mereka dalam observasi gelombang gravitasi menurut lembaga pemberi hadiah pada Selasa.

“Ini sesuatu yang sepenuhnya baru dan berbeda, membuka dunia tak terlihat,” kata Royal Swedish Academy of Sciences dalam pernyataan mengenai pemberian hadian senilai sembilan juta crown Swedia (1,1 juta dolar AS) itu.

“Kekayaan penemuan menunggu mereka yang sukses menangkap gelombang-gelombang dan menginterpretasi pesan mereka,” kata lembaga itu sebagaimana dikutip Reuters.

Ketiga ilmuwan itu memberikan kontribusi penting pada penelitian gelombang-gelombang gravitasi yang untuk pertama kalinya diobservasi pada 14 September 2015 menurut laman resmi Nobel.

Weiss dari LIGO/VIRGO Collaboration di Massachusetts Institute of Technology di Cambridge dan Thorne dari LIGO/VIRGO Collaboration California Institute of Technology (Caltech) di Pasadena bersama dengan Barish yang juga bekerja di LIGO/VIRGO Caltech mewujudkan penyelesaian proyek, memastikan usaha empat dekade untuk akhirnya mengamati gelombang gravitasi.

Ilmuwan Rainer Weiss (kiri) dan Kip Thorne (kanan) bersama Barry Barish memenangi Hadiah Nobel Fisika 2017 untuk kontribusi menentukan mereka dalam observasi gelombang gravitasi. (REUTERS/Gary Cameron)

Pada pertengahan 1970an, ilmuwan kelahiran Jerman, Weiss (85), sudah menganalisis kemungkinan sumber-sumber bising yang akan mengganggu pengukuran, dan merancang satu detektor berbasis interferometer laser, yang akan mengatasi masalah kebisingan ini.

Sebelumnya Thorne (77) dan Weiss sudah meyakinkan bahwa gelombang gravitasi bisa dideteksi dan membawa revolusi dalam semesta pengetahuan kita menurut komite Nobel.

Gelombang-gelombang gravitasi yang diprediksi Albert Einstein seratus tahun lalu datang dari tabrakan antara dua lubang hitam. Butuh 1,3 miliar tahun bagi gelombang-gelombang itu untuk tiba di pendeteksi Laser Interferometer Gravitational-Wave Observatory (LIGO) di Amerika Serikat.

LIGO, proyek kolaborasi dengan seribu lebih peneliti dari 20 lebih negara, menggunakan sepasang laser interferometer raksasa untuk mengukur satu peluang yang lebih kecil ribuan kali dari inti atom saat gelombang gravitasi melalui Bumi.

Para pemenang Hadiah Nobel Fisika 2017 dengan antusiasme dan tekad mereka masing berperan besar menyukseskan LIGO, kata Komite Nobel.

Penerjemah: Maryati
Editor: Monalisa

Sumber: Antara, Selasa, 3 Oktober 2017

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri
PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen
7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu
Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’
Berita ini 0 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:17 WIB

PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:09 WIB

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya

Rabu, 7 Februari 2024 - 13:56 WIB

Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK

Minggu, 24 Desember 2023 - 15:27 WIB

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB