ANGAN-ANGAN sederhana seorang dokter untuk membantu mengangkat nasib nelayan ternyata malah menghasilkan puluhan ribu insinyur dari berbagai bidang. Tidak kurang 18.750 insinyur dari berbagai disiplin ilmu sudah lebih dari cukup untuk bisa memberikan sarana kapal yang lebih baik kepada para nelayan yang masih saja tetap miskin sampai sekarang.Hanya memang tampaknya kebutuhan tenaga sarjana bidang teknologi ini dalam perkembangan sejarahnya lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan lain. Dan keinginan dr Angka Nitisastro, salah seorang pendiri Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya selama 40 tahun ini tampaknya belum juga terpenuhi.
Namun, masalah kemaritiman ini kembali menarik ketika pihak pemerintah mulai kembali mengangkat isu kelautan sebagai faktor penting dalam pembangunan. Bukan hanya keberanian mengangkat panglima tertinggi TNI dari Angkatan Laut, akan tetapi juga secara khusus membentuk Departemen Eksplorasi Laut yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Situasi politis seperti ini rupanya kembali menggugah semangat kebaharian, paling tidak membangkitkan kembali cita-cita sederhana dokter Angka. Meskipun situasi krisis ekonomi berkepanjangan ini masih tetap merupakan ganjalan yang tidak menguntungkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Salah satu kegiatan penting kami berkaitan dengan menghangatnya isu kelautan ini, kami sekarang tengah mengadakan penelitian untuk meningkatkan kualitas perahu-perahu tradisional yang memegang peran penting dalam pelayaran di tempat-tempat terpencil,” kata Daniel Mohammad Rosyid PhD, Pembantu Rektor IV di tengah-tengah kesibukan mempersiapkan acara Dies Natalis ke-40 ITS.
Salah satu ciri penting menyangkut perahu tradisional di zaman modern ini adalah pemasangan mesin penggerak dengan begitu saja. Padahal kebanyakan perahu tradisional jelas tidak pernah dirancang untuk pemakaian mesin.
Perahu tradisional yang nyaris tidak berubah rancangannya sepanjang sejarah industri perahu tradisionalnya itu lebih dirancang untuk menggunakan layar. Akibatnya pemasangan mesin dengan begitu saja akan menimbulkan dampak-dampak, paling tidak getaran mesin akan menyebabkan usia perahu menjadi lebih pendek.
Pemakaian layar bagaimanapun rancangannya akan lebih kuat pada bagian geladak dengan adanya tarikan tiang layar. Sedangkan dengan mesin harus memperkuat bagian dasar karena adanya dorongan mesin dari belakang.
ITS memfokuskan kegiatan di Madura, tempat yang memiliki sejarah industri perahu tradisional yang cukup lama ini tidak terlalu jauh. Untuk kegiatan ini di antaranya dilakukan dengan juga melibatkan pakar antropologi.
***
KEGIATAN rancang-merancang sebuah kapal yang sederhana seharusnya bagi ITS sudah bukan merupakan persoalan besar lagi. Pengembangan perahu tradisional yang akan sangat membantu menghidupkan industri perahu tradisional ini tampaknya cukup bisa dilayani dengan sarana laboratorium milik Fakultas Teknologi Kelautan, ITS.
Bahkan institut ini juga pernah membangun laboratorium hidrodinamika yang pernah diklaim merupakan laboratorium terbesar se-Asia Tenggara. Laboratorium yang dibangun dengan dana bantuan Jepang bernilai sekitar 100 juta dollar AS ini merupakan proyek kerja sama antara ITS dan Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT).
Laboratorium yang canggih ini bahkan juga bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan penelitian, tetapi juga untuk melayani permintaan dari luar. Bahkan laboratorium hidrodinamika ITS mampu menguji sebuah model kapal dengan ongkos jauh lebih murah dibanding jika diuji di luar negeri dengan standar ketelitian yang sama.
“Sayang laboratorium ini kurang dimanfaatkan dan lebih banyak perusahaan asing yang menggunakan jasa laboratorium ini,” kata Daniel. Kurangnya pemanfaatan laboratorium ini tampaknya sangat berkaitan dengan situasi krisis yang mengakibatkan terpuruknya perusahaan dalam negeri pengguna jasa laboratorium itu.
Sebelum ada laboratorium ini, industri kapal di Indonesia ibaratnya hanya menjadi tukang jahit, karena hanya mengerjakan badan kapal sesuai pesanan. Padahal, dalam proses pengerjaan sebuah kapal, ongkos pengerjaan dan bahan baku pembuatan badan kapal hanya sekitar 30 persen dari harga kapal. Keuntungan yang didapat dengan industri demikian tak cukup besar.
Jika mau lebih bersaing, seharusnya industri kapal Indonesia lebih berkonsentrasi pada keahlian desain dan uji kelaikan kapal. Keduanya sangat menentukan nilai tambah industri kapal. Selama ini kapal Indonesia belum mampu mengerjakan desain kapal. Namun, dengan dukungan laboratorium hidrodinamika, industri kapal Indonesia telah melangkah ke arah keahlian uji kelaikan kapal. Pada gilirannya, kemampuan uji ini akan meningkat ke arah desain kapal, jika sumber daya manusianya mencukupi.
Kolam owing tank berukuran panjang 234,5 meter, lebar 11 meter dan kedalaman 6 meter ini dirancang untuk menguji tahanan model kapal dalam kondisi laut tenang maupun bergelombang, pengukuran gerak model kapal dan karakteristik aliran air pada kulit kapal serta beberapa uji lain. Sebuah model kapal, ketika proses pengujian dalam kolam ini, akan ditarik sebuah bangunan beroda (towing carriage) sehingga diketahui kebutuhan tenaga mesin kapal.
Kolam uji manouvering dan ocean engineering berukuran panjang 60 meter, lebar 33 meter dan dalam 3,2 meter. Melalui kolam ini, dapat diuji kemampuan model kapal membelok yang akan menentukan perancangan kemudi. Selain itu, dengan kolam ini dapat diuji ketahanan bangunan lepas pantai (offshore structure), baik yang terapung maupun yang berdiri di atas dasar laut. Sebuah peralatan penggerak gelombang (wave maker) akan menirukan gerak gelombang laut, hingga diketahui ketahanan bangunan terhadap hempasan gelombang melalui modelnya.
Tokoh seperti Soegiono banyak memberikan andil mempersiapkan sebuah laboratorium kebanggaan ini. Sejak tahun 1979, laboratorium itu dirancang untuk memenuhi kebutuhan Fakultas Teknik Perkapalan ITS. Untuk itu, ITS melakukan uji banding ke Inggris, Jerman, Perancis, dan Belanda. Karena keterbatasan biaya, tahun 1985 lewat bantuan hibah dari Jerman.
***
SEBAGAI sarana untuk memenuhi kebutuhan pendidikan laboratorium canggih ini memang sudah sangat memadai dan bahkan bisa melayani kebutuhan dari luar. Namun demikian laboratorium ini terkesan kurang dimanfaatkan, karena kurangnya aktivitas dari produsen kapal dalam negeri yang bisa memanfaatkan fasilitas ini.
Perkembangan industri pembuatan kapal di dalam negeri memang kurang menggairahkan, terutama dalam situasi krisis ekonomi yang berkepanjangan ini. Termasuk perusahaan-perusahaan asing sudah sangat sedikit memesan kapal, dan kebanyakan untuk kebutuhan anjungan lepas pantai.
Kebanyakan perusahaan masih sangsi untuk menanamkan modal dalam angka jutaan dollar AS atau lebih untuk membangun sebuah kapal. Termasuk juga kapal-kapal untuk kebutuhan dalam negeri sangat sedikit yang memesan, dan ini terutama karena pembuatan kapal dalam negeri lebih banyak menggunakan dana pinjaman dari luar negeri. Seperti perusahaan PT PAL juga merasakan keadaan ini dan penurunan pemesanan kapal bahkan tidak hanya terjadi di dalam negeri. Menanggapi situasi seperti ini, bagaimanapun pihak ITS harus mencari solusi sehingga kegiatan yang menyangkut bidang kelautan tidak semakin terpuruk.
Paling tidak, upaya mewujudkan angan-angan dokter Angka untuk membantu menyediakan prasarana perahu yang lebih baik bagi nelayan bisa memecahkan masalah. Jenis perahu ukuran kecil bagaimanapun lebih memerlukan biaya yang relatif lebih kecil, sama seperti membesarkan industri kelas kecil dan menengah.
Apalagi memanfaatkan momentum politik yang mengunggulkan bidang kelautan akan sangat menguntungkan bagi ITS untuk memupuk teknologi unggulan ini. Masih banyak lapangan yang terbuka lebar dalam bidang kelautan ini untuk bisa dimanfaatkan, tanpa ada upaya menggali kekayaan sendiri, mustahil bisa memanfaatkan kekayaan alam ini. Apalagi ITS masih memegang kunci strategis pengembangan teknologi kelautan, di antaranya dengan menjalin kerja sama “segitiga biru” penguasaan iptek kelautan dengan Universitas Hasanudin (Makasar) dan Universitas Pattimura (Ambon). Wilayah Indonesia timur masih sangat terbuka untuk industri bidang kelautan, dan mudah-mudahan orientasi politik ke bidang maritim akan membuka peluang baru. (awe)
diambil dari Kompas, Senin, 13 November 2000