Saat pandemi Covid-19 melanda, ritual keagamaan dapat dilakukan di rumah karena pertimbangan kesehatan. Langkah ini sama sekali tidak mengurangi nilai ibadah seseorang jika dilakukan dengan niat yang tepat.
KOMPAS/RIZA FATHONI–Umat Islam menjalankan shalat Dzuhur berjemaah di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Jumat (20/3/2020). Masjid Istiqlal meniadakan shalat Jumat sesuai fatwa Majelis Ulama Indonesia serta kebijakan pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, tetapi menggelar shalat Dzuhur berjemaah dengan saf yang renggang. Selepas shalat, seluruh jemaah diminta segera meninggalkan masjid untuk mengurangi penyebaran Covid-19.
Hari Jumat (3/4/2020) menjadi pekan ketiga bagi Sahbani (35) tidak datang ke masjid untuk shalat Jumat. Saat terdengar azan dari masjid terdekat siang itu, dia tetap berada di rumahnya di bilangan Cengkareng, Jakarta Barat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Alasan Sahbani tidak shalat Jumat siang itu masih berkaitan dengan masifnya pandemi Covid-19 hampir sebulan belakangan. Ia mengingat imbauan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, 19 Maret silam, mengenai peniadaan sejumlah kegiatan ibadah di Jakarta untuk sementara waktu.
Seruan Gubernur DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 2020 tentang Peniadaan Sementara Kegiatan Peribadatan dan Keagamaan di Rumah Ibadah dalam Rangka Penyebaran Wabah Covid-19, mengimbau agar kegiatan peribadahan dan berbagai kegiatan agama yang mengumpulkan orang di masjid, gereja, pura, wihara, kelenteng, atau tempat ibadah lainnya ditiadakan. Ibadah yang dimaksud termasuk shalat Jumat, majelis taklim, kebaktian dan misa minggu, serta perayaan hari besar lain.
Selain imbauan pemerintah, Sahbani juga mengetahui adanya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19 menyebutkan, shalat Jumat untuk sementara waktu dapat diganti dengan shalat Dzuhur di tempat kediaman.
Meski berkeras dengan sejumlah alasan, Sahbani menyimpan ragu saat meninggalkan shalat Jumat untuk ketiga kalinya. Hal ini lantaran adanya sebuah hadis yang menyebutkan, ”Siapa yang meninggalkan shalat Jumat tiga kali karena meremehkan, niscaya Allah menutup hatinya.” Belakangan hadis ini pun banyak diperbincangkan di masa pandemi Covid-19.
Keraguan dalam meninggalkan shalat Jumat yang ketiga kali bukan hanya dialami Sahbani. Jika menelusuri kanal media sosial Twitter saja, muncul berbagai tanggapan pro dan kontra terkait meninggalkan shalat Jumat hingga tiga kali berturut-turut.
Di satu sisi, ada sejumlah orang yang berpendapat Covid-19 sebagai ujian keimanan untuk tetap shalat berjemaah di masjid. Namun, ada sebagian orang yang menilai ini sebagai upaya untuk tetap menjaga kesehatan dalam beribadah.
Halangan
Terkait kondisi itu, Sekretaris Komisi Fatwa MUI HM Asronun Ni’am Sholeh berusaha menjelaskan konteks hadis dengan kondisi saat ini. Dia menyebutkan, hadis tersebut berlaku apabila seseorang tidak memiliki halangan atau uzur, kemudian dengan sengaja meninggalkan kewajiban shalat Jumat.
Asronun menerangkan, hal yang dimaksud dalam hadis adalah saat seseorang tidak shalat Jumat karena malas dan secara sengaja meninggalkan kewajiban. ”Dalam konteks tersebut, seseorang berdosa dan Allah mengunci mata hatinya, sesuai dengan pernyataan hadis,” ucap Asronun saat dihubungi, Jumat sore.
Ia menambahkan, pandemi Covid-19 saat ini termasuk dalam kondisi uzur atau halangan. Menurut pandangan para ulama fikih, ada istilah uzur syar’i, yakni halangan sesuai syariat Islam yang membolehkan umat untuk tidak melaksanakan suatu kewajiban ibadah.
Dengan begitu, pandemi Covid-19 yang menyebabkan kekhawatiran terjadinya penyakit menjadi alasan uzur syar’i. Sebab, kondisi ketika berkumpul dan berkerumun diduga kuat akan menularkan virus SARS-CoV-2. Seperti diketahui sebelumnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan Covid-19 menular melalui droplet atau percikan saat batuk dan bersin dari penderita.
Imbauan senada terkait Covid-19 disampaikan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Melalui surat edaran yang diterima Kompas, Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengumumkan fatwa terkait kegiatan ibadah berjemaah di tengah pandemi Covid-19.
Secara umum, surat edaran itu menyebutkan, kondisi untuk menghindari ibadah berjemaah saat ini adalah bentuk ikhtiar dalam menghindari penularan Covid-19. Usaha aktif untuk mencegah penularan, menurut surat edaran, adalah sebuah bentuk ibadah yang bernilai jihad. Ungkapan ini merinci pada surah dalam Al Quran, Al-Maidah Ayat 32, serta sejumlah hadis.
Selama masa pandemi, umat dianjurkan melakukan pembatasan sosial atau at-taba’ud al-ijtima’i. Anjuran ini berlaku dalam hal shalat Jumat yang dapat diganti dengan shalat Dzuhur di rumah masing-masing. Selama masa pembatasan sosial, shalat lima waktu pun cukup dilakukan di rumah saja, dengan menjaga jarak antar-anggota keluarga demi mencegah penularan lewat droplet maupun kontak fisik.
Berkaitan imbauan itu, Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta, Nasaruddin Umar mengingatkan bahwa kondisi wabah saat ini adalah darurat. Dalam konferensi pers, 20 Maret lalu, ia menyampaikan, agama menganjurkan agar umat beragama tetap ikhtiar dan tidak menyerah pada keadaan.
”Ada yang dinamakan takdir dalam hidup. Setiap berbicara takdir, kita harus berbicara tentang ikhtiar. Keduanya saling mengisi. Kita juga tidak bisa bicara ikhtiar, tetapi tidak mengembalikan persoalan kepada Tuhan yang mahakuasa,” ujar Nasaruddin.
Nasaruddin pun menyoroti penularan Covid-19 di negara lain. Arab Saudi, misalnya, mengumumkan penghentian shalat berjemaah di seluruh masjid selain Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah pada 17 Maret silam. Imbauan itu diwajibkan untuk berbagai kegiatan, termasuk shalat lima waktu dan shalat Jumat.
Kebijakan Pemerintah Arab Saudi itu merespons jumlah pasien Covid-19 yang mencapai 1.885 kasus per 2 April 2020 menurut laporan Al Arabiya. Beberapa bulan sebelumnya, Arab Saudi pun telah mengambil langkah drastis dengan menangguhkan umrah, menghentikan penerbangan internasional, menutup sekolah dan sebagian besar perusahaan publik.
Atas berbagai penjelasan dari fatwa dan pemuka agama, Nasaruddin berharap warga dapat memahami gentingnya situasi saat ini. ”Kondisi kali ini sangat memprihatinkan umat Islam dan juga warga lainnya. Sesuai dengan fatwa ulama serta berbagai analisis mendalam, saya pikir cukup beralasan apabila saat ini kita tidak melakukan pertemuan dalam keadaan berjemaah, termasuk untuk shalat lima waktu dan shalat Jumat,” jelasnya.
Saat ini, pemahaman warga dalam praktik pembatasan sosial saat beribadah menjadi sangat penting. Pembatasan sosial menjadi langkah ”ikhtiar” bagi manusia saat ini. Kerasionalan warga dalam menerima imbauan dari pemerintah dan pemuka agama pun diuji untuk menangkal masifnya pandemi.
Oleh ADITYA DIVERANTA
Editor: ANDY RIZA HIDAYAT
Sumber: Kompas, 3 April 2020