Impian penjelahan antariksa manusia terus berkembang. Tepian Tata Surya sudah dijangkau teknologi manusia, sedangkan pinggiran semesta mulai dikuak dengan pengetahuan manusia. Lompatan teknologi menuju bintang terdekat dari Matahari, yaitu Alfa Centauri pun terus digagas. Namun, Matahari yang menjadi bintang paling dekat dengan Bumi, nyatanya masih penuh misteri.
Setelah dirancang selama 60 tahun dan tertunda peluncurannya beberapa kali, misi manusia mendekati Matahari akhirnya diluncurkan.
Setelah dirancang selama 60 tahun dan tertunda peluncurannya beberapa kali, misi manusia mendekati Matahari akhirnya diluncurkan. Wahana antariksa Parker Solar Probe (PSP) diluncurkan dari Pangkalan Udara Tanjung Canaveral, Florida, Amerika Serikat, Minggu (12/8/2018), pukul 03.31 waktu setempat atau 14.31 WIB. Wahana itu diluncurkan menggunakan roket Delta IV Heavy yang dioperasikan oleh United Launch Alliance.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
NASA/JOHNS HOPKINS APL–Konsep artis saat Parker Solar Probe, wahana milik Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat mendekati Matahari. Wahana ini akan terbang melintasi korona atau atmosfer bagian atas Matahari.
Tugas yang akan dijalankan PSP adalah misi bersejarah dan berani. PSP akan terbang di korona atau atmosfer bagian atas Matahari. Jika target itu bisa dicapai, PSP akan menjadi teknologi manusia yang berada paling dekat dengan Matahari, yaitu 6,16 juta kilometer (km) dari ‘permukaan’ Matahari.
Jarak sedekat itu terdengar tidaklah dekat. Namun dengan suhu korona yang mencapai jutaan derajat celsius, jarak sejauh 16 kali jarak Bumi-Bulan itu terasa sangat dekat. Jika jarak Matahari ke Bumi diasumsikan hanya 1 meter, maka PSP akan berada berjarak 4 sentimeter saja dari Matahari.
Rekor obyek buatan manusia yang paling dekat dengan Matahari sebelumnya dipegang oleh wahana antariksa Helios 2 buatan Amerika Serikat dan Jerman yang berada pada jarak 43 juta km dari Matahari pada 1976.
Jarak yang dekat dan besarnya gravitasi Matahari akan membuat PSP bergerak makin cepat. Kecepatan puncak PSP diperkirakan mencapai 690.000 km per jam. Dengan kecepatan setinggi itu, maka penerbangan Jakarta menuju Amsterdam, Belanda yang biasa ditempuh selama 14 jam untuk penerbangan langsung, hanya butuh 1 menit untuk menempuh jarak yang sama.
“Ini benar-benar akan menjadi misi yang fenomenal. Kami sudah ingin melaksanakan misi ini sejak 60 tahun lalu, sejak Eugene Parker mengatakan bahwa Matahari melepaskan gas,” kata Kepala Peneliti Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional AS (NASA) Jim Green seperti dikutip space.com, Minggu (12/8/2018).
NASA/GLENN BENSON–Astrofisikawan Eugene Parker (91) saat menyaksikan peluncuran wahana antariksa Parker Solar Probe, Minggu (12/8/2018) dinihari waktu Florida, Amerika Serikat. Gagasannya tentang Matahari yang mengeluarkan gas pada 1950an membuat namanya diabadikan sebagai nama misi.
Pada 1950an, gagasan astrofisikawan Universitas Chicago AS Eugene Parker itu disambut skeptis. Kini, manusia menyadari gas yang dilepaskan Matahari itu adalah angin Matahari yang mengalirkan partikel bermuatan secara terus menerus.
Angin Matahari
Gagasan itulah yang membuat nama Parker diabadikan sebagai nama misi, sekaligus menjadi orang hidup pertama yang bisa menyaksikan namanya diabadikan sebagai nama misi. Juni lalu, Parker genap berusia 91 tahun. Gagasan tentang Matahari itulah yang membuat manusia saat ini memahami cara kerja Matahari, bintang yang terus membombardir Bumi dengan partikel bermuatan dan medan magnet.
Aliran abadi angin Matahari itu menimbulkan cahaya indah aurora di dekat kutub Bumi. Namun jika berlebihan, maka angin Matahari itu bisa memicu badai Matahari dan mengganggu sistem telekomunikasi satelit, pesawat antariksa berawak, membahayakan antariksawan yang sedang bertugas di luar stasiun luar angkasa, penerbangan sipil, hingga gangguan dan kerusakan pembangkit listrik di Bumi.
Ancaman itulah yang diharapkan bisa diantisipasi dampaknya dengan berbagai informasi yang dikumpulkan dan diukur oleh PSP.
Meskipun menjadi bintang yang paling dekat dengan Bumi, nyatanya Matahari masih menjadi misteri. Sebagai bagian luar dari atmosfer Matahari, suhu di korona berkisar antara 1 juta hingga 3 juta derajat celsius. Kondisi itu terasa janggal mengingat permukaan Matahari hanya 5.500 derajat celsius. Mekanisme yang menghasilkan panas super di korona itulah yang tidak sepenuhnya dipahami.
Di korona itu pula, angin Matahari ditendang ke luar dari Matahari dan menyapu seluruh Tata Surya dengan kecepatan lebih dari 500 km per detik atau 1,8 juta km per jam. Saat mencapai Bumi, kecepatan angin Matahari berkisar antara 1,45 juta-2,9 juta km per jam. Uniknya, partikel bermuatan itu tidak banyak bergerak ketika berada di permukaan Matahari.
Roket peluncur Delta IV Heavy milik United Launch Alliance diluncurkan dari Pangkalan Udara Amerika Serikat di Tanjung Canaveral, Florida, AS pada Minggu (12/8/2018) pukul 03.31 waktu setempat atau 14.31 WIB. Roket tersebut membawa muatan wahana Parker Solar Probe yang akan meneliti korona atau atmosfer bagian atas Matahari.“Ada sesuatu di korona yang membuat partikel yang semula tak banyak bergerak mengalami percepatan dan ditembakkan dengan kecepatan supersonik,” kata Adam Szabo, peneliti di Pusat Penerbangan Antariksa Goddard NASA di Greenbelt, Maryland, AS.
Kondisi itu diduga dipicu oleh medan magnet yang luar biasa dan gerak konvektif di dalam Matahari. Kerja bersama antara medan magnet dan gerak konvektif dari dalam Matahari itu menghasilkan energi sangat besar untuk menendang partikel dari Matahari ke ruang antarbintang. Meski demikian, bagaimana energi itu dibawa ke permukaan Matahari dan disebarkan menjadi tantangan ilmu pengetahuan.
“Itulah mengapa PSP perlu pergi ke sana dan mengukurnya,” tambah ilmuwan dari Pusat Penelitian Ames NASA di Silicon Valley, AS Lika Guhathakurta.
Bertahan
Misi PSP mendekati Matahari dirancang sejak enam dekade lalu. Proyek riset senilai 1,5 miliar dollar AS atau sekitar Rp 21,8 triliun dengan kurs Rp 14.500 per dollar AS itu direncanakan bekerja selama tujuh tahun. Selama masa operasi itu, PSP akan melakukan 24 kali flyby atau terbang melintas di dekat Matahari dengan jarak terdekat mencapai 6,16 juta km.
Jarak yang sangat dekat itu membuat PSP harus menahan 500 kali beban radiasi Matahari lebih tinggi dibanding paparan radiasi yang diperoleh di Bumi. Bagian wahana yang menghadap Matahari akan terpapar panas bersuhu 1.370 derajat celsius. Sebagian besar panas itu bersumber dari cahaya Matahari dan plasma, sedangkan aliran partikel di korona yang menyebar tipis tidak akan banyak menganggu.
Untuk menghadapi panas sebesar itu, lanjut Green, wahana bertenaga surya itu dilengkapi perisai khusus yang terbuat dari material komposit karbon maju. Perisai Matahari selebar 2,3 meter dan tebal 11,4 sentimeter itu akan menjaga berbagai komponen dan instrumen penelitian dalam PSP untuk tetap bekerja pada suhu 29 derajat celsius saja.
NASA/JOHNS HOPKINS APL/ED WHITMAN–Wahana Parker Solar Probe dengan perisai Matahari berbahan material komposit karbon maju di bagian atasnya. Perisai itu untuk melindungi berbagai instrumen riset di dalam wahana agar tetap bekerja dalam suhu 29 derajat celsius meskipun suhu di luar mencapai 1.370 derajat celsius.
Sejumlah instrumen riset yang dibawa PSP antara lain pengukur medan listrik, medan magnet dan gelombang Matahari, alat untuk mengamati partikel energi tinggi di atmosfer Matahari, alat pengukur partikel dari angin Matahari, hingga fotograf untuk mengambil citra korona dan bagian dalam heliosfer (wilayah berbentuk gelembung yang masih mendapat pengaruh plasma dan medan magnet Matahari serta terentang hingga tepi Tata Surya).
Riset yang dilakukan oleh berbagai instrumen itulah yang diharapkan akan menjawab teka-teki tentang pemanasan dan percepatan partikel yang ada di korona Matahari. Pengetahuan ini tak hanya penting untuk memprediksi badai Matahari yang berdampak langsung pada Bumi, namun juga memahami mekanisme kerja bintang-bintang pada umumnya.
Matahari kita sejatinya memang bintang, sama dengan bintang yang berkerlap-kerlip di malam hari. Jaraknya yang dekat dengan Bumi membuat tampilannya sedikit berbeda dengan bintang-bintang lain. “Bagaimana kita bisa memahami sistem bintang-bintang lain jika kita tidak memahami bintang yang paling dekat dengan Bumi?,” tambah Szabo.–M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 14 Agustus 2018