Perpindahan sumber daya manusia unggul ke luar negeri atau brain drain jadi salah satu bahasan debat calon wakil presiden, Minggu (29/6). Meski ini isu lama, hingga kini belum terlihat upaya nyata pemerintah memanfaatkan potensi itu demi kemajuan bangsa. Mereka yang sudah kembali ”tidak dimaksimalkan negara”.
Wakil Ketua Luar Negeri Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional yang juga peneliti senior di Sekolah Kedokteran Universitas California Irvine, Amerika Serikat, Taruna Ikrar, saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (1/7), mengatakan, setidaknya ada 7.000 master, doktor, dan profesor asal Indonesia yang kini bekerja di berbagai bidang di luar negeri.
Berkarya di luar negeri dipilih karena di sana mereka lebih dihargai. Diberi peluang besar mengembangkan diri dibekali perlengkapan riset memadai serta infrastruktur dan kebijakan pendukung sehingga fokus bekerja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penghargaan yang mereka terima juga lebih besar, baik gaji, anugerah hasil riset, maupun fasilitas buat keluarga dan pendidikan anak. ”Kebijakan politik mendukung, birokrasinya pun tidak ruwet,” katanya.
Kondisi riset di Indonesia berkebalikan. Suasana riset masih formal dan kurang berkembang. Penelitian di lembaga riset pemerintah dan perguruan tinggi juga kental nuansa politik dan strukturalnya, kurang memperhatikan profesionalitas.
”Wajar banyak ilmuwan Indonesia lari ke luar negeri,” ujarnya. Akibatnya, karya mereka justru diakui sebagai hasil negara lain. Mereka sebenarnya bisa dimanfaatkan transfer pengetahuan, keterampilan, dan teknologi kepada ilmuwan di Indonesia.
Suwidi Tono dalam Dilema Jaringan Diaspora Indonesia, Kompas, 11 Desember 2012, menyebut brain drain pertama dan terbesar dalam sejarah Indonesia modern terjadi ketika ribuan mahasiswa Indonesia yang belajar di Eropa Timur dimatikan secara perdata pasca peristiwa politik 1965. Padahal, mereka dikirim sebagai Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1959.
Menurut Taruna, para ilmuwan Indonesia di luar negeri tak perlu diragukan nasionalismenya. ”Jika suasana di Tanah Air memberi ruang dan kesempatan bagi mereka untuk berbuat lebih banyak, pasti mereka akan balik ke Indonesia,” katanya.
Secara terpisah, Rektor Universitas Surya, Tangerang Selatan, Yohanes Surya, mengatakan, mudah menarik ilmuwan Indonesia di luar negeri untuk kembali karena mereka juga ingin pulang. ”Pemerintah cukup memfasilitasi,” katanya.
Sebagai ilmuwan, mereka butuh ”mainan”, yaitu laboratorium dengan peralatan memadai. Untuk gaji, mereka sebenarnya tak berharap berlebihan dan itu adalah karakter ilmuwan. Mereka hanya minta digaji cukup untuk menjamin kesejahteraan mereka dan keluarga.
”Ternyata pemerintah belum siap menyambut kepulangan mereka kembali,” katanya.
Yohanes mencontohkan, seorang doktor dari Singapura yang cukup diapresiasi di negara itu mencoba kembali dan mengabdi di universitas negeri. Ia ditempatkan di posisi bawah yang sulit mengembangkan riset. Gajinya pun sangat kecil hingga memaksanya mencari kerja sampingan sebagai agen perjalanan. Akhirnya ia memilih kembali ke Singapura dan kini bekerja sebagai peneliti di Tiongkok.
Pemerintah juga dinilai belum memiliki agenda dan target riset yang jelas. Akibatnya, dana riset yang digelontorkan belum memberi manfaat optimal. Peralatan riset yang dimiliki tidak berkembang dan tidak sesuai dengan kebutuhan. Niat ilmuwan Indonesia di luar negeri yang ingin berpartisipasi dalam riset di Tanah Air pun tak termanfaatkan.
Yohanes berharap pemerintah juga membantu dana riset di perguruan tinggi swasta karena sebagian universitas swasta juga memiliki kemampuan riset yang tak kalah dengan perguruan tinggi negeri. Mahalnya peralatan riset yang bisa berharga ratusan miliar rupiah tentu sulit diakses universitas swasta. Karena itu, dukungan pemerintah yang adil mutlak diperlukan. (MZW)
Sumber: Kompas, 1 Juli 2014