Ilmuwan Diaspora Jembatan ke Pengetahuan Mutakhir

- Editor

Rabu, 27 Maret 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilmuwan diaspora merupakan aset bangsa untuk meningkatkan kompetensi akademisi dan peneliti. Mereka merupakan jembatan antara negara serta pusat perkembangan ilmu dan pengetahuan di negara-negara maju yang memungkinkan diterapkannya ilmu-ilmu termutakhir di Indonesia.

”Ilmuwan diaspora bukan brain drain (tersedotnya sumber daya manusia mumpuni ke luar negeri), tetapi brain circulation. Artinya, para pemikir unggul Indonesia tersebar di dunia untuk menyerap berbagai pembaruan dan menyebarkannya ke Tanah Air,” kata Presiden Akademi Ilmuwan Muda Indonesia Alan Frendy Koropitan di Jakarta, Selasa (26/3/2019).

KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–Sekretaris Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Jhoni Hendri (kedua dari kiri) bersama Ketua Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional Deden Rukmana, Presiden Akademi Ilmuwan Muda Indonesia Alan Koropitan, serta Kepala Pusat Kajian Internasional Universitas Parahyangan Elisabeth AS Dewi dalam peluncuran buku Kontribusi Ilmuwan Diaspora dalam Pengembangan Sumber Daya Iptek dan Dikti di Indonesia, di Jakarta, Selasa (26/3/2019).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Alan mengatakan hal tersebut dalam peluncuran buku Kontribusi Ilmuwan Diaspora dalam Pengembangan Sumber Daya Iptek dan Dikti di Indonesia. Buku ini berisi 25 artikel ilmiah di berbagai bidang ilmu yang ditulis akademisi dan peneliti Indonesia, baik yang berkarier maupun yang sedang studi di luar negeri. Mereka, antara lain, berada di Amerika Serikat, Jepang, Malaysia, Inggris, dan Arab Saudi. Terdapat pula para mantan diaspora yang kini berkarier di dalam negeri.

Kepala Pusat Kajian Internasional Universitas Katolik Parahyangan Elisabeth AS Dewi mengatakan, diaspora merupakan bagian dari komunitas intelektual global. Ia mengutip teori yang dikembangkan Margaret Keck dan Kathryn Sikkink pada 1998 bahwa jejaring transnasional dibentuk oleh persebaran penduduk suatu negara di berbagai belahan bumi.

”Khusus untuk diaspora intelektual, mereka tidak sekadar memberi devisa kepada negara. Mereka membahas ide-ide bersama yang kemudian dibagi-bagi terkait persoalan yang kompleks,” ujarnya.

Dalam pembahasan ide tersebut, akan muncul teori, strategi, dan praktik baru dalam mencari permasalahan yang ada di Indonesia. Selain tentunya membuka kesempatan bagi orang-orang Indonesia untuk bisa berkarya pada tataran global.

Kepercayaan
Agar tercapai pembangunan jaringan yang optimal, dibutuhkan pembangunan kepercayaan antara diaspora, ilmuwan lokal, pemerintah, dan industri. Masalahnya, kepercayaan masih menjadi kendala di antara pihak-pihak terkait sehingga mengakibatkan keterkaitan dan kesepadanan (link and match) tidak berjalan mulus.

”Salah satu solusinya ialah melibatkan berbagai pusat penelitian seperti yang dimiliki oleh perguruan tinggi agar ada analisis kebutuhan secara komprehensif. Di samping itu, penerapan ilmu mutakhir tidak hanya dinikmati oleh industri, tetapi juga sampai ke akar rumput,” ucap Elisabeth.

Ketua Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I4) Deden Rukmana mengungkapkan, meskipun keberadaan diaspora membuka akses kepada keterlibatan intelektual taraf dunia, kompetensi tetap merupakan kualifikasi mendasar. Adanya diaspora pada posisi yang tinggi di sebuah lembaga memungkinkan apabila terdapat satu posisi yang kosong, banyak pelamar dari Indonesia yang mengadu kompetensi.

”Pada akhirnya, tentu yang dipilih mengisi posisi tersebut memang individu dengan kualifikasi sesuai standar,” ujarnya.

Guna meningkatkan kompetensi intelektual Indonesia, I4 bekerja sama dengan Perhimpunan Pelajar Indonesia di seluruh dunia. Bahkan, setiap Sabtu, I4 mengadakan diskusi dalam jaringan yang menampilkan tiga ilmuwan diaspora yang membahas berbagai terobosan ilmu, tren, dan gagasan solusi bagi permasalahan di Indonesia.

”Masalahnya, dari segi pemerintah, baru Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang memberi kemudahan akses, komunikasi, dan kolaborasi. Kementerian lain belum aktif menggaet diaspora,” kata Deden.–LARASWATI ARIADNE ANWAR

Editor YOVITA ARIKA

Sumber: Kompas, 26 Maret 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Biometrik dan AI, Tubuh dalam Cengkeraman Algoritma
Habibie Award: Api Intelektual yang Menyala di Tengah Bangsa
Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap
Di Balik Lembar Jawaban: Ketika Psikotes Menentukan Jalan — Antara Harapan, Risiko, dan Tanggung Jawab
Tabel Periodik: Peta Rahasia Kehidupan
Kincir Angin: Dari Ladang Belanda Hingga Pesisir Nusantara
Surat Panjang dari Pinggir Tata Surya
Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi
Berita ini 5 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 12 November 2025 - 20:57 WIB

Biometrik dan AI, Tubuh dalam Cengkeraman Algoritma

Sabtu, 1 November 2025 - 13:01 WIB

Habibie Award: Api Intelektual yang Menyala di Tengah Bangsa

Kamis, 16 Oktober 2025 - 10:46 WIB

Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap

Rabu, 1 Oktober 2025 - 19:43 WIB

Tabel Periodik: Peta Rahasia Kehidupan

Minggu, 27 Juli 2025 - 21:58 WIB

Kincir Angin: Dari Ladang Belanda Hingga Pesisir Nusantara

Berita Terbaru

Artikel

Biometrik dan AI, Tubuh dalam Cengkeraman Algoritma

Rabu, 12 Nov 2025 - 20:57 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tarian Terakhir Merpati Hutan

Sabtu, 18 Okt 2025 - 13:23 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Hutan yang Menolak Mati

Sabtu, 18 Okt 2025 - 12:10 WIB

etika

Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap

Kamis, 16 Okt 2025 - 10:46 WIB