Berkarya di negeri orang bukan berarti tidak cinta Tanah Air. Para ilmuwan diaspora membuktikan, mereka bersedia berkolaborasi dengan ilmuwan di Tanah Air.
Negara lain, seperti Korea Selatan, India, hingga Vietnam, sudah membuktikan dengan merangkul para ilmuwan diaspora dapat mendorong penguatan ilmu pengetahuan dan teknologi guna menghasilkan inovasi yang dapat mendongkrak kemajuan dan daya saing negara di tingkat global. Inilah saatnya bagi Indonesia untuk melirik potensi ilmuwan diaspora yang tersebar di berbagi negara guna berkontribusi memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi di Tanah Air.
Sebenarnya pada 2010, Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4) yang dibentuk satu tahun sebelumnya di Belanda, sudah menggelar International Summit di Jakarta, di bawah dukungan Kementerian Pendidikan Nasional. Semangatnya untuk membuat kolaborasi ilmuwan diaspora Indonesia yang punya reputasi internasional di banyak negara dengan ilmuwan dalam negeri bisa terwujud. Namun, sayang, gaungnya sempat tenggelam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU–Para ilmuwan diaspora Indonesia berfoto bersama Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Bisar Panjaitan dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro.
Namun, tiga tahun terakhir, semangat dari para ilmuwan diaspora untuk berbakti pada negeri, akhirnya bisa “ditangkap” Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti). Para ilmuwan diaspora secara massal diajak pulang kampung setiap tahun. Bukan sekadar pulang, namun dengan tuntutan untuk bisa mewujudkan kolaborasi dengan ilmuwan di dalam negeri.
Lewat program Simposium Cendekia Kelas Dunia (SCKD) 2018, sebanyak 47 ilmuwan diaspora yang telah sukses meniti karir di perguruan tinggi terbaik di luar negeri, berkumpul bersama ilmuwan dari perguruan tinggi di dalam negeri. Kesempatan pula bagi ilmuwan diaspora untuk mengetahui berbagai perkembangan kebijakan terkini Pemerintah Indonesia.
Banyak menteri yang hadir sebagai narasumber, mulai dari Menristekdikti Mohammad Nasir, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Panjaitan. Ada pula perwakilan dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi. Dalam sesi diskusi soal peran diaspora, ada pula perwakilan dari Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Kantor Staf Presiden, hingga Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Di tahun depan, acara SCKD tak hanya didukung Kemenristekdikti, tapi juga dari Kemenlu.
Kolaborasi
Tentu saja, acara SCKD tak berhenti di acara seremonial. Acara inti berupa kolaborasi dengan perguruan tinggi negeri maupun swasta diwujudkan dengan menyebar para ilmuwan diaspora ke-55 perguruan tinggi mitra. Dengan kunjungan langsung inilah, kebutuhan kolaborasi bisa dicocokkan dengan kebutuhan masing-masing perguruan tinggi dalam negeri.
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU–Para ilmuwan diaspora Indonesia berdiskusi bersama para dosen di Universitas Lampung.
Kunjungan para ilmuwan diaspora ke perguruan tinggi ini bagian dari kontribusi riil para ilmuwan diaspora yang berkiprah di perguruan tinggi atau pun lembaga riset dari sejumlah negara. Program ini bagian dari acara SCKD yang digelar Kemristekdikti bersama Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4) dan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia.
“Saya tiap tahun selalu ke Indonesia. Ada banyak kegiatan yang dilakukan, termasuk dengan perguruan tinggi, seperti Universitas Gadjah Mada. Biasanya workshop (lokakarya) penulisan ilmiah atau kegiatan seminar internasional. Nah, ini baru pertama kalinya saya ke Sumatera untuk berkunjung ke Institut Teknologi Sumatera dan Universitas Lampung,” kata Ratna Saptari Soetikno Slamet, Asisten Profesor Antropologi di Universitas Leiden, Belanda. Dia sudah tinggal di Belanda sekitar 30 tahun.
Dari dialog dengan para dosen di Universitas Lampung tersebut, khususnya di bidang sosial, terwujud kolaborasi untuk mendukung lokakarya penulisan dan juga kolaborasi riset bersama yang dapat dibawa dalam seminar internasional. Ratna mengatakan ada tantangan untuk memperkuat kompetensi para dosen dalam memperkaya literatur yang dibaca dan dimanfaatkan secara kritis untuk mendukung penulisan ilmiah.
Sementara di Insitut Teknologi Sumatera (ITERA) yang didirikan tahun 2014, ada kebutuhan untuk meningkatkan pendidikan para dosen muda ke jenjang doktor. Peluang untuk bisa mendapatkan beasiswa bagi para dosen ini diharapkan bisa dibantu dari para ilmuwan diaspora.
Satria Zulkarnaen Bisri (33), peneliti di lembaga riset Riken Jepang (semacam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) menawarkan model kolaborasi yang ditawarkan Jepang. Para dosen ITERA bisa saja mengambil S3 di Indonesia, namun untuk riset yang memang sejalan dengan Riken bisa dilakukan di Jepang. Ada semacam hibah kompetitif yang bisa diraih oleh calon doktor dari Indonesia.
“Sayang peluang ini belum banyak dimanfaatkan oleh para dosen di Indonesia,”kata Satria yang sudah dua kali ikut SCKD. Dia tertarik untuk bisa menginformasikan peluang kolaborasi riset di Jepang ini bagi perguruan tinggi di Indonesia.
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU–Simposium Cendekia Kelas Dunia menghadirkan ilmuwan diaspora Indonesia dan ilmuwan dari berbagai perguruan tinggi dan swasta di Indonesia.
Sebagai “jembatan”
Kehadiran para ilmuwan diaspora ini memang sudah mulai memberi dampak yang nyata bagi peningkatan sejumlah perguruan tinggi mitra. Mereka sebagai “jembatan” yang menghubungkan Indonesia ke berbagai peluang baik di institusi masing-masing. Banyak pula dari ilmuwan diaspora yang punya posisi strategis, baik sebagai dekan, kepala pusat riset, maupun dosen senior yang bereputasi, yang bisa membantu perguruan tinggi Indonesia untuk memiliki jaringan internasional.
Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Kemristekdikti Ali Ghufron Mukti menuturkan, para ilmuwan diaspora punya panggilan untuk membantu negerinya dengan menjadi agen penghubung Indonesia ke tingkat global. Tadinya, ada beasiswa program Bappenas dan Bank Dunia senilai Rp 1 triliun untuk membiayai para dosen dan peneliti Indonesia meraih doktor di luar negeri yang hendak dihentikan.
“Peminatnya sedikit karena sulit dapat letter of acceptance (LOA) dari PT di luar negeri. Namun, dengan terhubung kepada para ilmuwan diaspora yang bekerja di perguruan tinggi yang bereputasi baik, kesulitan ini jadi teratasi. Hal ini jadi bukti nyata bahwa kolaborasi dengan ilmuwan diaspora akan mempercepat transfer iptek dan budaya akademik dari luar negeri yang memang mendukung kemajuan perguruan tinggi,” ujar Ghufron.
Ketua Umum I-4 Deden Rukmana yang juga profesor di Savannah State University, Amerika Serikat mengatakan, betapa banyaknya prestasi-prestasi ilmuwan-ilmuwan diaspora Indonesia yang membanggakan. “Betapa besarnya juga kecintaan mereka terhadap Tanah Airnya. Insya Allah, tidak akan berkurang dan tidak pernah hilang, malah mungkin akan bertambah besar,” ujar Deden.
–Ketua Umum I-4 Deden Rukmana
Deden mengatakan, paling sedikit ada empat ilmuwan diaspora yang sudah lebih dari 25 tahun lalu meninggalkan Indonesia. Namun, mereka masih mencintai dan selalu memanggil Indonesia sebagai Tanah Air mereka. “Saya sangat percaya diri hal tersebut dilakukan pula oleh para ilmuwan diaspora lainnya,”ujar Deden.
Deden mengatakan ilmuwan diaspora Indonesia bertaburan dengan penghargaan di tingkat internasional dan nasional. Mereka dapat jadi figur berprestasi di tingkat internasional yang dapat jadi panutan bagi anak-anak muda bangsa.
Prestasi mereka patut dibanggakan dan perlu dimanfaatkan untuk menjadi inspirasi bangsa Indonesia. “Jika sekarang dimulai dengan Kemristekdikti yang menggandeng ilmuwan diaspora, ke depan kami harapkan kementerian/lembaga lain juga bisa memanfaatkan potensi ilmuwan diaspora Indonesia untuk berkolaborasi,” ujar Deden.
Deden mengatakan, saat ini ilmuwan diaspora Indonesia masih di bawah diaspora negara-negara lainnya seperti China, India, Korea, ataupun Vietnam, baik secara kualitas maupun proporsi kuantitas penduduk nasionalnya. Belum ada diaspora Indonesia yang mengajar dan berkarir di top universitas dunia seperti Harvard University, MIT, University of Cambridge atau pun University of Oxford.
“Kita memerlukan generasi penerus Indonesia yang bisa mengisi peluang di universitas-universitas top dunia tersebut dan lainnya, juga untuk terus mentransferkan ilmu dan pengalamannya bagi kemajuan tanah air seperti yang kita lakukan saat ini,” kata Deden.
Dalam pandangan Deden dan ilmuwan diaspora lainnya, tidak usah pertanyakan soal nasionalisme mereka. Bakti pada negeri dilakukan dengan berprestasi di negeri orang yang sebenarnya punya dampak juga bagi Indonesia. Siapkah negara ini mendesain peta jalan yang strategis untuk mengoptimalkan peran diaspora, khususnya ilmuwan diaspora, bagi keuntungan Indonesia.–ESTER LINCE NAPITUPULU
Sumber: Kompas, 27 Agustus 2018