Dari ratusan hingga ribuan jenis obat herbal ataupun jamu tradisional, hanya 38 jenis yang masuk kategori obat herbal terstandar dan enam fitofarmaka setara obat kimia yang dapat diresepkan dokter. Untuk mengoptimalkan, BPPT menerapkan metode fingerprint alias profil metabolit.
Metode fingerprint untuk menjamin keajekan kualitas dan kandungan senyawa aktif sehingga diperoleh standar jamu yang diproduksi dengan bahan baku dari berbagai daerah ataupun industri berbeda,” kata Direktur Pusat Teknologi Farmasi dan Medika pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Bambang Marwoto, Kamis (14/6), di Jakarta.
Ia mengatakan, sejumlah negara berkembang masih mengandalkan penanganan pasien dengan obat berbahan alami.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini meningkatkan penjualan obat herbal. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi pasar obat herbal dunia tahun 2025 bakal mencapai 5 triliun dollar AS.
”Ke depan kita membutuhkan Pusat Ekstrak Nasional,” kata Bambang.
Pusat Ekstrak Nasional diusulkan untuk mendukung ketersediaan bahan baku obat berupa ekstrak yang terstandar. Selama ini sediaan simplisia yang beragam, agroklimat daerah berbeda-beda menimbulkan ragam kualitas bahan baku jamu.
Dengan metode fingerprint, dapat diraih standar ekstrak jamu. Saat ini banyak dikembangkan obat herbal di Eropa berbasis ekstrak terstandar.
”Ekstrak terstandar berdasarkan senyawa penanda dan senyawa aktif,” kata Bambang.
Kromatografi
Kromatografi cair kinerja tinggi (high performance liquid chromatography/HPLC) digunakan untuk metode fingerprint. Kepala Program pada Pusat Teknologi Farmasi dan Medika BPPT Bambang Srijanto mengatakan, dengan HPLC, dapat diperoleh pemetaan senyawa yang dalam ekstrak herbal.
”Basis data senyawa penanda dan senyawa aktif sudah diketahui. Hasil pengujian menggunakan HPLC, kemudian disesuaikan dengan basis data tersebut,” kata Bambang.
Ia mencontohkan, dari bahan baku sambiloto (Andrographis paniculata) diperoleh senyawa penanda androga polin. Komposisi senyawa penanda ini digunakan untuk mengukur keajekan produk jamu sesuai khasiat yang diharapkan.
Hampir setiap jamu tersusun lebih dari satu komponen. Bahan baku dari sambiloto dapat digunakan untuk meracik berbagai jenis jamu untuk mengobati diabetes, kanker, atau antikolesterol.
Kepala Laboratorium Teknologi Farmasi dan Medika Bidang Teknologi Pengembangan Formula dan Sediaan Farmasi BPPT Agung Eru Wibowo menyebutkan, pengembangan riset obat herbal lain ditujukan pada simplisia Aglaia elliptica dengan nama lokal laban abang atau langsat.
”Laban abang atau langsat ini memiliki senyawa aktif minor yang menghambat pertumbuhan sel kanker,” kata Agung.
Untuk penelusuran senyawa aktif tersebut, digunakan senyawa penanda odorin. Jenis tanaman ini tersebar di wilayah Asia Tenggara, tetapi termasuk langka di Jawa.
”Di Vietnam, jenis tumbuhan ini biasa direbus untuk dikonsumsi,” kata Agung.
Mengatasi kesulitan
Bambang Marwoto mengatakan, saat ini dari ribuan racikan jamu tradisional, hanya sedikit yang memperoleh kategori obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Hal itu karena sulitnya menstandarkan produk.
”Pencapaian ekstrak terstandar dapat mengatasi kesulitan tersebut,” kata Bambang.
Sebanyak enam fitofarmaka yang lulus uji klinik kini diproduksi beberapa industri, seperti Kimia Farma, Phapros, Dexa Medica, dan Nyonya Meneer.
Sebanyak 38 obat herbal dinyatakan terstandar setelah berhasil lulus uji praklinis dengan uji coba pada hewan. Dari 38 obat herbal terstandar ini, diharapkan ada yang bisa ditingkatkan menjadi fitofarmaka.
Dari ribuan jenis jamu yang secara empiris dimanfaatkan masyarakat dan terbukti berkhasiat itu, harus didorong menjadi obat terstandar. Metode fingerprint sangat tepat untuk diterapkan.
”Pada masanya, identifikasi komponen jamu masih secara fisik. Sekarang dengan kromatografi bisa dinyatakan secara rinci kandungan senyawa aktifnya,” kata Bambang.
Mengacu Eropa, produk ekstrak terstandar dihasilkan industri ekstrak yang dilindungi hak atas kekayaan intelektual berupa paten dan merek. Untuk satu tanaman obat, terdapat dua hingga empat merek yang berbeda. Setiap merek akan bersaing di pasaran atas dasar kelengkapan data uji klinik terhadap klaim khasiatnya.
Registrasi produk obat herbal fitofarmaka di Eropa hampir sama dengan obat kimia umumnya (new drug application). Kemajuan rancang bangun peralatan ekstraksi sudah berkembang pesat.
Kemajuan teknologi
Teknologi ekstraksi tanaman obat saat ini meliputi tiga jenis, ekstrak kasar (crude extract), terfraksinasi atau terpurifikasi (purified extract), dan minyak atsiri (volatile oil). Ekstrak kasar terbagi menjadi ekstrak kental dan ekstrak kering. Pada minyak atsiri mencakup metode destilasi uap, destilasi air, dan destilasi vakum.
Produk ekstrak ini distandardisasi berdasarkan senyawa aktifnya. Ekstrak yang dihilangkan komponen toksiknya disebut ekstrak terpurifikasi.
Ekstrak purifikasi ini sedang dilakukan BPPT untuk jenis tanaman obat aglaia elliptica. Tanaman obat ini berpotensi sebagai obat herbal untuk penyakit kanker.
Tantangan pengembangan obat herbal sekarang adalah mengidentifikasi senyawa aktif. Selanjutnya, menjaga keajekan komposisinya supaya berkhasiat optimal. (Oleh Nawa Tunggal)
Sumber: Kompas, 15 Juni 2012