Aktivitas perburuan dan makin berkurangnya luas hutan membuat populasi lutung jawa atau Trachypithecus auratus di alam bebas kian berkurang. Upaya melestarikan lutung jawa, antara lain dengan mengembalikan lutung-lutung yang ditangkap manusia ke alam bebas, pun terus dilakukan.
Pusat Rehabilitasi Lutung Jawa (Javan Langur Center/JLC) di Cuban Talun, Batu, Jawa Timur, sejak 2011 telah mengembalikan paling tidak 60 lutung jawa yang semula dipelihara warga ke alam bebas. Lutung-lutung tersebut dilepasliarkan ke beberapa daerah di Jatim, seperti Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Hyang, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, dan hutan sekitar Cuban Talun. Pada 27 Oktober lalu, empat lutung jawa dilepasliarkan ke alam bebas yang merupakan rumah mereka yang sesungguhnya.
Empat lutung jawa tersebut merupakan bagian dari 21 lutung jawa hasil sitaan aparat kepolisian dan balai konservasi sumber daya alam. Ada juga warga yang secara sukarela menyerahkan lutung jawa yang mereka pelihara selama ini. Rupanya selama ini mereka tidak menyadari bahwa satwa yang selama ini mereka pelihara masuk dalam kelompok hewan yang dilindungi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tidak hanya satwa sitaan dan penyerahan oleh pemilik di dalam negeri, pada Juli 2013 JLC juga menerima enam lutung jawa dari Taman Satwa Port Lympne dan Howletts di Inggris. Keenam satwa itu merupakan keturunan dari lutung hasil pertukaran taman satwa tersebut dengan Kebun Binatang Ragunan Jakarta.
Lutung-lutung hasil sitaan ataupun yang diserahkan oleh pemiliknya ke JLC tersebut kemudian dikarantina dan ”diperkenalkan” lagi dengan alam bebas habitatnya. JLC menempati lahan seluas sekitar 4 hektar di daerah Pusung Raung, pinggir Taman Hutan Rakyat R Soerjo. Selain bangunan rumah induk dari bambu yang dilengkapi ruang obat dan ruang pemeriksaan, JLC memiliki sejumlah kandang untuk karantina dan sosialisasi bagi lutung.
Iwan Kurniawan, Manajer Proyek JLC, Rabu (22/10), mengatakan, populasi lutung di hutan sekitar Cuban Talun terus berkurang. Berdasarkan pendataan yang dilakukan JLC pada 2013, di sekitar Taman Hutan Rakyat R Soerjo terdapat tidak lebih dari 41 lutung. Sementara untuk wilayah yang lebih luas di Jatim, dari Gunung Lawu sampai Meru Betiri, berdasarkan pendataan tahun 2010 oleh Aspinall Foundation Indonesia terdapat paling tidak 2.700 lutung jawa.
”Secara lokal di Taman Hutan Rakyat R Soerjo dulu jumlahnya masih mencapai ratusan ekor. Sementara untuk Jatim bisa jadi dulu populasinya di atas 10.000 ekor,” ujar Iwan. Ia menambahkan, alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian di daerah sekitar menjadi salah satu penyebab berkurangnya populasi satwa endemik itu.
Sejauh ini JLC yang berada di bawah naungan Aspinall Foundation Indonesia, sebuah organisasi asal Inggris yang bergerak dalam bidang pelestarian satwa—khusus untuk Indonesia fokus pada primata Jawa—menangani dua jenis lutung, masing-masing berwarna hitam keabu-abuan dan oranye. Lutung yang berwarna hitam keabu- abuan banyak tersebar di Jawa bagian barat. Adapun lutung yang berwarna oranye banyak tersebar di Jawa bagian timur.
Satwa-satwa tersebut tidak hanya dipelihara, tetapi juga dijaga kesehatannya. Setiap tiga bulan sekali ada dokter yang datang untuk memeriksa lutung- lutung tersebut. Begitu pula jika terjadi situasi darurat ada dokter hewan langganan dari Universitas Brawijaya yang siap mengobati. Adapun untuk perawatan ringan, ada tim penjaga satwa yang selalu siap.
Tidak mudah
Proses rehabilitasi satwa yang telah bertahun-tahun ada di dekapan manusia ke alam bebas tidaklah mudah. Lutung yang dipelihara oleh manusia memiliki perangai berbeda. Mereka lebih lembut dibandingkan dengan lutung liar yang tinggal di alam bebas. Karena itu, proses adaptasi mengubah perangai menjadi liar dan siap hidup mandiri pun memerlukan waktu bervariasi, mulai dari beberapa bulan hingga bertahun-tahun.
Misdianto, koordinator tim JLC, serta Ngatiin dan Heri Kiswoyo, penjaga satwa, mengatakan, beberapa lutung yang menjalani proses rehabilitasi ada yang telah mengalami perubahan kebiasaan, bukan lagi sebagai individu herbivora. Hewan yang seharusnya makan tumbuhan itu oleh pemiliknya telah ”dipaksa” mengonsumsi makanan manusia, seperti roti sisir, tahu, tempe, nasi, hingga ayam goreng. Tak heran saat baru datang ke JLC, hewan tersebut sama sekali tidak tertarik dengan dedaunan.
”Samson (6), misalnya. Lutung jantan yang diserahkan oleh pemiliknya dari Banyuwangi ini tadinya diberi makan tempe dan nasi. Akibatnya, untuk adaptasi agak sulit. Dedaunan yang kami sodorkan tidak langsung dimakan, hanya untuk alas tidur. Setelah di sini beberapa waktu dan melihat kebiasaan lutung lain di sampingnya yang makan dedaunan, baru ia mulai belajar makan daun,” ujar Misdianto.
Begitu pula Lilin (1,5), lutung betina yang masih dalam proses karantina, dulunya pernah diajak main ke mal dan piknik ke pantai oleh pemiliknya yang tinggal di Jember, lengkap dengan mengenakan pampers. Akibatnya, untuk menjadikannya kembali liar perlu waktu.
Setelah dianggap berhasil melalui proses karantina, lutung kemudian menjalani proses sosialisasi bersama sejumlah lutung lainnya. Dalam proses ini, lutung dibuat menjadi sebuah keluarga mengingat di alam bebas mereka tinggal dalam kelompok dengan seekor pejantan dominan, induk, dan anak-anak. Saat ini ada dua kelompok yang tengah menjalani proses sosialisasi, masing-masing lima ekor.
”Setelah sosialisasi baru mereka dilepasliarkan. Untuk memilih lokasi lepas liar harus mempertimbangkan beberapa syarat, salah satunya tidak ada kelompok lutung lain di kawasan itu. Jika ada mereka bisa berkelahi karena kelompok lutung yang ada lebih dulu akan mempertahankan teritorialnya,” ujar Misdianto.
Oleh: Defri Werdiono
Sumber: Kompas, 3 Desember 2014