Seekor induk beruang kutub dan dua anaknya berjalan menelusuri es mencari makan. Narasi Sir David Attenborough (92), penyiar dan produser televisi isu lingkungan, dalam film “One Planet” untuk menyongsong Hari Bumi 2019 bertema “Lindungi Spesies Kita”, menyebut, peluang hidup beruang kutub menciut karena perubahan lingkungan drastis di Arktik, kutub utara. Luas bentangan daratan es di sana berkurang hingga seperlima luas daratan Amerika Serikat.
Musim migrasi bagi burung-burung dan mamalia di daratan Afrika mulai tak beraturan. Migrasi bagi fauna bermakna keberlanjutan kehidupan. Pada masa itu, mereka kawin dan beranak pinak. Migrasi amat bergantung pada siklus musim. Migrasi kerbau Afrika (wildebeest) misalnya, bergantung pada keteraturan musim hujan dan ketersediaan rumput.
KOMPAS/PRIYOMBODO–Aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DKI Jakarta beraksi damai memperingati Hari Bumi di depan Balai Kota Jakarta, Senin (22/4/2019). Dalam aksinya mereka mendesak Pemerintah untuk melakukan upaya pemulihan ekologis lingkungan serta melakukan penegakan hukum kepada seluruh industri yang berpotensi mencemari dan merusak lingkungan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hancurnya dinding “es abadi” di kutub yang berkilometer panjangnya dengan ketinggian hingga ratusan meter, bukan lagi fiksi. Kenaikan permukaan air laut bukan lagi isapan jempol. Maka salinitas air laut berubah. Pola arus global samudera yang jadi mesin iklim pun berubah.
Pemanasan global tak lagi fiksi. Dampaknya kita rasakan antara lain, puting beliung tak lagi eksklusif milik Purbalingga, Jawa Tengah. Puting beliung ada di mana-mana.
Anomali musim yang muncul sebagai iklim ekstrem kini terjadi di berbagai wilayah di belahan bumi mana pun. Musim dingin yang membekukan dan menyebabkan korban jiwa beberapa kali terjadi di Amerika. Musim panas ekstrem yang memakan korban jiwa kerap terjadi di Eropa. Korbannya tak hanya manusia. Beragam spesies jadi korban.
Kepunahan
Kepunahan adalah akhir cerita beragam spesies yang tak mampu beradaptasi. Adaptasi secara alamiah berjalan lambat sejalan dengan narasi evolusi. Alam pada dirinya adalah entitas yang memiliki daya pulih. Namun kini daya pulih itu hancur karena perubahan kali ini berlangsung dalam kecepatan eksponensial yang dihasilkan perilaku manusia. Oleh keserakahan manusia memburu kenyamanan hidup.
Ketika sebagian manusia mampu cepat beradaptasi dengan inovasi dan teknologi, spesies lain akan mengalami kepunahan massal. Satu spesies punah akan memicu efek domino kepunahan lain akibat rusaknya jejaring dalam suatu ekosistem.

Tawon Ara (Fig Wasp) sedang meletakkan telurnya ke dalam buah ara di Cagar Alam Darupono Kendal- Jateng.
Photograph by: FAMMINGPAO
Dari situs resmi Earth Day 2019 disebutkan, di era ini dunia menghadapi masa kepunahan terbesar dalam 60 juta tahun terakhir. Siklus normal, tiap tahun satu hingga lima spesies punah. Kini tingkat kepunahan naik 1.000-10.000 kali lipat. Banyak spesies punah sebelum kita kenali.
Studi terbaru menyebutkan, lebih dari 75 persen populasi serangga di Jerman punah dalam 28 tahun terakhir. Sekitar 80 persen tanaman liar bergantung pada lebah untuk penyerbukannya, dan 60 persen spesies burung membutuhkan serangga sebagai pakan.
Sementara 60 persen dari 504 jenis primata terancam punah, dan 75 persen jumlahnya turun drastis. Dalam 20 tahun terakhir 75 persen spesies paus seperti dolfin dan paus raksasa (paus bongkok dan paus biru), serta 65 persen hewan yang berjalan dengan sirip seperti singa laut terancam punah karena penangkapan. Sekitar 40 persen spesies burung turun drastis jumlahnya dan 12 persen terancam punah secara global
Kita yang perusak
Manusia menciptakan gelombang kepunahan massal keenam secara global. Apakah kita akan jadi bagian proses transformasi bumi menjadi planet lebih sehat atau tidak, itu adalah pilihan. Kita bisa jadi adalah individu atau komunitas atau pembuat kebijakan.
Jendela waktu untuk melakukan perubahan kian menyempit. Tak cukup lagi waktu untuk menunda. Menunda kebijakan, menunda pola konsumsi, menunda gaya hidup. Sesuai skala kerusakan yang kita buat, maka pembuat kebijakan dan korporasi nasional dan multinasional adalah “pemain utama” yang selama ini merupakan mitra dekat.
Merawat bumi adalah merawat kehidupan spesies dan kehidupan manusia. Semua makhluk hidup, tumbuhan, satwa dan manusia memiliki nilai intrinsik dalam dirinya, dan memiliki peran unik membentuk jaring kehidupan kompleks. Ketika satu mata jaring berlubang, kehancuran adalah sebuah keniscayaan.
Rachel Carson, penulis “Silent Spring”-kritik terhadap penggunaan pestisida dan mengupas sifat menyeluruh lingkungan, mengatakan, “Di alam tak ada yang berdiri sendiri.”
Pertanyaannya: Masihkah kita ragu? “Kita”, mesti dibaca sebagai: pembuat kebijakan, korporasi nasional dan multinasional, komunitas, dan individu. Adakah kemauan “kita” mengukur skala kehancuran akibat putusan dan perilaku “kita”…?–BRIGITTA ISWORO LAKSMI
Sumber: Kompas, 24 April 2019