Menyikapi Pemodelan Pandemi

- Editor

Kamis, 2 Juli 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Di tengah pandemi yang hingga sekarang terus merundung pikiran kita, yang diperlukan adalah sinergi dari semua sektor. Eksperimen demi eksperimen, termasuk kekeliruan dan kegagalan dalam proses, tetap bermanfaat.

Tulisan Ratna Megawangi, ”Korona dan Statistik Kepanikan” (Kompas, 20/6/2020) menarik diperbincangkan. Artikel itu bernada menggugat prediksi penyebaran korona dengan pemodelan matematis yang banyak disodorkan para ahli.

Secara khusus, Ratna mengulas Dr Neil Ferguson dari Imperial College London, epidemiolog yang sejak awal getol menyarankan agar karantina wilayah diterapkan di Inggris. Dengan pemodelan matematis yang dibuatnya, pertengahan Maret lalu, Ferguson memprediksi angka kematian akibat korona di Inggris akan mencapai 510.000 orang jika tak diterapkan karantina wilayah ketat. Prediksi inilah yang membuat banyak pihak panik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menurut Ratna, PM Boris Johnson yang semula percaya pada skenario kekebalan kelompok, akhirnya bergeser jadi memercayai Ferguson sehingga menerapkan karantina wilayah alias total lockdown. Faktanya, hingga Rabu (24/6), data Worldometer mencatat jumlah kasus positif di Inggris 306.210, yang meninggal 42.927. Memang sangat rendah jika dibandingkan dengan angka 510.000 meninggal menurut prediksi Ferguson jika tanpa lockdown.

Kasus ini dianggap contoh menonjol prediksi dengan pemodelan yang banyak dibuat oleh ahli. Ternyata banyak yang tidak akurat dan dinilai hanya menebarkan kepanikan semata.

Di Indonesia, ahli-ahli kita juga membuat pemodelan. Pertengahan Maret lalu, hampir bersamaan dengan keluarnya prediksi Ferguson, Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi ITB juga membuat prediksi. Dr Nuning Nuraini dan timnya menggunakan pemodelan Richard’s Curve karena pemodelan ini berhasil memprediksi awal, puncak serta akhir wabah SARS di Hong Kong 2003.

Nuning sejak awal terus terang menjelaskan keterbatasan pemodelannya. ”Perlu dicatat, ini adalah hasil pemodelan yang saya rasa cukup sederhana dan sama sekali tidak mengikutkan faktor lain yang kompleksitasnya tinggi,” katanya seperti dikutip situs berita ITB. Menurut pemodelan ini, diperkirakan Indonesia akan mengalami puncak jumlah kasus harian Covid-19 pertengahan April dengan kasus baru harian terbesar berada di angka sekitar 600 kasus.

Mari kita lihat pencatatan di lapangan. Data pertengahan April (16/4) menunjukkan ada penambahan kasus baru ada 380 orang sehingga total 5.516 kasus. Yang meninggal bertambah 27 orang menjadi total 496 orang. Ternyata, pertengahan April belum mencapai puncaknya. Puncaknya terjadi pada Juni, dan secara nasional belum mereda.

Data 20 Juni menunjukkan, penambahan kasus baru mencapai 1.226 orang sehingga total ada 45.029 kasus. Sementara yang meninggal hari itu bertambah 56 orang sehingga total menjadi 2.429 orang. Artinya, prediksi Nuning dan timnya lebih rendah ketimbang faktanya.

Dalam konteks di atas, prediksi Nuning ini tak menebar kepanikan seperti ditudingkan Ratna pada kasus Ferguson. Prediksi Ferguson memang luar biasa meleset, angka kasusnya melompat sampai 1.200 persen dibandingkan dengan fakta (pencatatan resmi) yang akhirnya terjadi. Meskipun bisa saja ada alasan bahwa justru angka catatan resmi rendah karena menuruti anjuran karantina wilayah.

Pemodelan juga dibuat Tim Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), yakni Dr Pandu Riono, Iwan Ariawan, Muhammad N Farid, dan Fafizah Jusril. Minggu kedua April, tim ini membuat prediksi bahwa awal Juli, bakal ada 250.000 pasien positif di Jabodetabek yang perlu perawatan di rumah sakit (RS), jika mudik tak dilarang. Tapi jika mudik dilarang atau dicegah, angka itu bisa berkurang sekitar 200.000 orang, menjadi hanya sekitar 50.000-an yang masuk RS.

Puncak kasus diprediksi terjadi Mei dan jika dilakukan upaya pencegahan dan pembatasan pergerakan dengan baik, mulai Juni akan terjadi penurunan kasus. Angkanya cukup membuat gentar.

Tim ini memaparkan efek intervensi terhadap penambahan kasus harian. Jika pemerintah menerapkan intervensi rendah, misalnya tanpa pembatasan pergerakan sosial, kasus positifnya bakal melonjak sampai 1,5 juta orang. Tapi jika pemerintah menerapkan intervensi dengan skala tinggi dan ketat, penambahan kasus positif bisa dicegah tak sampai melonjak.

Pemodelan tim FKM UI ini juga tak menghasilkan prediksi yang menebar kepanikan. Hasilnya malah lebih lunak ketimbang pencatatan resmi pemerintah. Memang Juni angka penambahan kasusnya masih sangat tinggi, tapi naiknya tak setinggi di pemodelan. Padahal, upaya pencegahan dan pembatasan belum maksimal seperti yang diprediksi FKM UI itu.

Masih banyak tim dari lembaga riset atau perguruan tinggi yang tergerak menyusun permodelan matematis dengan bangunan teori dan metode beragam, untuk membuat prediksi penyebaran virus korona. Metodenya berlainan dengan hasil yang juga tak sama persis, tetapi setidaknya tak ada yang bertolak belakang.

Semua itu dilakukan dengan itikad baik, yakni membantu memprediksi lama dan masifnya penyebaran virus korona. Penghitungannya dengan berbagai variabel yang memengaruhi, terutama variabel kebijakan pemerintah dan perilaku warga dalam menerapkan protokol kesehatan.

12 pasien positif Covid-19 yang dinyatakan sembuh berfoto bersama tenaga kesehatan di Hotel Sahid, Kota Jayapura, Papua, pada 18 Juni 2020. Pemkot Jayapura menyiapkan hotel tersebut sebagai tempat perawatan pasien yang terpapar Covid-19.

Bentuk kepedulian ilmiah
Menyusun pemodelan matematis untuk membuat prediksi penyebaran virus korona jelas bentuk penerapan metode ilmiah. Ini sama dengan metode survei politik yang 15 tahun belakangan sangat populer dan jadi instrumen penting strategi pemenangan pilkada, pemilu, dan pilpres.

Ada teorinya, ada metode untuk membangun asumsi, pengambilan sampel, dan membatasinya dengan berbagai variabel yang kompleks. Ada simulasi dan ada tahapan untuk mengujinya. Sepanjang penelitinya patuh dan ketat dalam menggunakan metode dan prosedurnya, maka apa pun hasilnya, itu adalah bagian dari penerapan kaidah ilmiah.

Seperti lazimnya proses metode ilmiah, selalu tersedia ruang untuk kritik, perbaikan, dan revisi terus-menerus. Apa yang kita anggap benar hari ini, belum tentu benar pada masa mendatang. Apalagi situasi juga terus berubah dan berkembang.

Dua bulan lalu penggunaan hidroksiklorokuin sulfat diyakini ampuh sebagai obat bagi penderita Covid-19. Sekarang, FDA (Food and Drug Administration) Amerika Serikat, yang sangat berkuasa, tak merekomendasikan penggunaan obat ini dengan alasan tak aman.

Selalu ada proses pencarian, riset, uji coba, penerapan skala masif, monitoring, evaluasi, dan revisi. Demikian seterusnya sehingga ilmu pengetahuan akan makin akurat dan maju. Termasuk dalam hal ini adalah penggunaan pemodelan matematis untuk menyusun prediksi penyebaran virus korona.

Anggapan bahwa prediksi yang dihasilkan dari pemodelan itu menebar kepanikan hanya salah satu persepsi saja. Prediksi Ferguson bisa dinilai anomali, karena kesimpulannya sangat ekstrem dan melompat jauh melewati angka-angka yang dihasilkan para penyusun pemodelan lainnya. Jika ini yang terjadi, itu semata kasus pada Ferguson.

Para ahli bisa mempertanyakan metode, data dan prosedur yang dipakai Ferguson. Bahkan, bisa melacak rekam jejak dan kredibilitas yang bersangkutan. Bila melesetnya jauh, tentu mereka sudah kalah dalam pertaruhan reputasinya.

Kasus semacam ini juga pernah terjadi pada beberapa lembaga survei politik di Indonesia. Lembaga ini mengumumkan hasil survei yang memicu kontroversi, karena sangat jauh berbeda dengan hasil survei kebanyakan lembaga sejenis, serta dengan hasil faktual. Metodologi dan prosedurnya dipertanyakan banyak pihak sehingga akhirnya asosiasi lembaga survei politik bertindak. Reputasinya yang menjadi taruhan.

Bagaimanapun pemodelan tetaplah membantu. Begitupun survei tren politik atau survei-survei lain. Agar ada gambaran perkiraan arah suatu fenomena. Semakin banyak yang melakukan, semakin baik. Apalagi lembaga atau universitas ternama turut melakukannya. Bahwa, ada yang panik karena membaca pemodelan, mungkin saja. Itu tergantung persepsi serta daya kritis.

Menyikapi Pemodelan Pandemi
Akan tetapi, dalam kasus Indonesia, kepanikan tak terjadi dalam menyikapi pemodelan oleh banyak lembaga. Bahkan, pemerintah menyambut positif dengan mengundang tim-tim pemodelan itu presentasi di instansi yang menangani Covid-19, seperti Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Gugus Tugas Covid-19, dan di pemerintah daerah.

Pemodelan matematis ini dapat menjadi salah satu bahan saintifik pengambilan keputusan dengan moderasi dan penyesuaian. Kita ingat, kebijakan Pemprov DKI menerapkan pembatasan pergerakan sosial, langsung dihujani cercaan netizen dan politikus. Gubernurnya dituding penebar kepanikan.

Padahal, kalangan ahli kesehatan justru merekomendasikan perlunya pembatasan sosial dengan pengawasan ketat. Bagi kalangan medis, pembatasan sosial adalah langkah penting mencegah penularan wabah.

Meski begitu, munculnya kritik atas pembatasan mobilitas itu juga penting. Yang nyaring adalah kritik dari sektor ekonomi. Karena itu, agar ekonomi tak mengalami hibernasi berkepanjangan, suara dari kalangan bisnis diakomodasi.

Dioperasikannya bus sekolah untuk memberikan layanan gratis diharapkan dapat membantu mengurai kepadatan penumpang dan gerbong KRL, terutama pada saat jam sibuk. Selama masa PSBB transisi ini bus sekolah beroperasi di lima stasiun di Jakarta (26-6-2020).

Bagaimanapun ekonomi bekerja mirip mengayuh sepeda. Kalau terlalu lama berhenti mengayuh, bisa ambruk. Untuk itu, pemerintah pusat dan daerah mulai bertahap membuka pembatasan untuk pabrik, kantor, dan pusat perdagangan sedikit demi sedikit, tetap disertai dengan protokol kesehatan.

Di tengah pandemi yang hingga sekarang terus merundung pikiran kita, yang diperlukan adalah sinergi dari semua sektor. Layak diapresiasi para ahli yang mau ikhtiar membuat berbagai permodelan matematis untuk menyusun prediksi. Fungsi besarnya sebagai dering peringatan bagi pemerintah dan warga agar bersiap. Seperti jeritan peluit kereta api yang akan datang dari kejauhan.

Peringatan itu sangat berguna untuk keselamatan kita bersama. Beriringan dengan para ahli lain yang mengurai dan mengurutkan genom SARS-Cov-2 alias Covid-19, berjuang menemukan antivirus, atau meramu calon obatnya.

Eksperimen demi eksperimen, termasuk kekeliruan dan kegagalan dalam proses, tetap bermanfaat. Inilah kebajikan berjamaah untuk menangani sang supervirus ini. Tak perlu panik.

(Djoko Santoso, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga)

Editor: DJOKO SANTOSO

Sumber: Kompas, 2 Juli 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 5 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:13 WIB

Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom

Rabu, 23 Maret 2022 - 08:48 WIB

Gelar Sarjana

Minggu, 13 Maret 2022 - 17:24 WIB

Gelombang Radio

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB