Alijullah Hasan Jusuf (65) tak kuasa menahan air mata tatkala mengisahkan pengalamannya menjadi penumpang gelap ke Eropa, tahun 1960-an. Suaranya tersendat di menit ke-3. Lalu kisahnya diteruskan istrinya, Suryati Harefa, hingga tuntas di menit ke-20.
“Saya tak kuat menahan haru ketika menuturkan kisah yang saya alami 48 tahun silam,” kata Alijullah-akrab dipanggil Ali-saat peluncuran buku terbitan Penerbit Buku Kompas, Paris Je Reviendrai, Aku Kan Kembali, di toko buku Gramedia Grand Indonesia, Jakarta, Sabtu (8/10). Buku itu merupakan kelanjutan dari buku pertamanya, Penumpang Gelap Menembus Eropa Tanpa Uang, yang diluncurkan setahun lalu. Buku pertama mengisahkan keberanian dan kecerdikan Ali pergi ke Belanda, sedangkan buku kedua mengisahkan perjalanannya menuju Paris, Perancis.
Ia menumpang pesawat Qantas Boeing 707 secara ilegal dari Bandara Kemayoran, Jakarta. Ali naik pesawat Jakarta-Paris tanpa paspor, tiket, dan visa pada 18 Agustus 1968. Keberanian itu muncul dari mimpinya mengecap pendidikan di Eropa karena situasi politik di Indonesia kala itu tidak kondusif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Keinginan kuat untuk belajar di luar negeri membuatnya tak kapok mengulangi petualangannya menjadi penumpang gelap. Sepuluh bulan sebelumnya, Ali melakukan hal serupa.
Ali tak hanya mengandalkan keberuntungan. Semua langkah telah direncakanan secara matang. “Selalu ada plan B sebagai persiapan ketika plan A gagal,” ujar pria asal Aceh ini.
Semangat untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya sudah tumbuh di batinnya saat remaja. Setamat sekolah menengah di Tanah Rencong, ia merantau ke Jakarta. Ia ingin mendapatkan pendidikan yang lebih baik daripada yang ada di daerahnya. Pada usia 17 tahun, Ali mematok impian merengkuh ilmu di Universitas Sorbonne (Paris); Universitas Leiden (Belanda); atau Universitas Cambridge (Inggris).
Sesampainya di Paris, ia didepak ke Jakarta oleh Pemerintah Perancis lantaran tak memiliki paspor. Ali pulang ke Indonesia dengan komitmen tetap ingin kembali ke Paris. “Au revoir, Paris, mais je reviendrai. Selamat tinggal, Paris, tetapi aku akan kembali,” ucap Ali.
Setiba di Indonesia, Ali bekerja sebagai pesuruh kantor agar bisa menabung untuk terbang ke Paris dengan cara yang legal. Akhirnya, pada 18 Februari 1970, ia terbang kembali ke Paris untuk mengambil studi sastra budaya dan komersial di Universitas Sorbonne. “Kali ini tak ada yang saya cemaskan karena sudah punya paspor, tiket, dan visa,” tuturnya.
Pelecut bagi anak muda
Pada acara peluncuran buku itu, menurut wartawan Kompas,Budiarto Shambazy, kisah perjalanan Ali melukiskan kegigihan luar biasa. Mantan Duta Besar RI untuk Tiongkok, Juwana, menilai, Ali adalah sosok yang memiliki keinginan kuat untuk belajar di negeri orang.
Kisah Ali dapat menjadi pelecut bagi anak muda untuk menuntut ilmu. Tentu bukan kenekatan naik pesawat secara ilegal itu yang patut ditiru, melainkan kegigihannya dalam mengejar mimpi secara tak biasa.
Kini, Ali menjalani usia senjanya di Paris setelah pensiun sebagai staf bagian protokoler Kedutaan Besar RI untuk Perancis. (C09)
——
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Oktober 2016, di halaman 12 dengan judul “Menyelundup ke Eropa demi Menuntut Ilmu”.