Selasa (19/9), Oktory Prambada, sibuk memantau layar komputer di ruang kerjanya di lantai empat Gedung Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi di Kota Bandung. Staf Ahli dan Penanggung Jawab Data Gunung Wilayah Bali dan Nusa Tenggara Barat PVMBG itu serius mengamati Gunung Agung di Bali yang kini menggeliat.
Oktory mengatakan, salah satu titik krusial peningkatan aktivitas Gunung Agung dimulai pada Jumat (15/9). Saat itu, terpantau sinar api dari puncak gunung sehingga statusnya dinaikkan dari Waspada ke Siaga. Aktivitasnya terus meningkat sehingga statusnya ditingkatkan ke level tertinggi, Awas.
Dahulu, informasi seperti itu harus diakses di situs PVMBG. Saat ini, perkembangan mutakhir gunung api Indonesia bisa diunduh lewat telepon pintar, yaitu melalui aplikasi Multiplatform Application for Geoharzard Mitigation and Assessment (MAGMA) Indonesia. MAGMA Indonesia adalah aplikasi pertama di dunia yang memberikan informasi bencana geologi dan bisa dibuka dalam satu jendela.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dirintis sejak 2015, aplikasi ini bisa diunduh secara gratis di Google Play Store. Tinggal klik, data terkini aktivitas beragam potensi bencana geologi ada di genggaman, mulai dari potensi bahaya gunung api, gempa, tsunami, hingga longsor. Hingga Selasa (19/2), aplikasi ini dikunjungi 148.085 kali oleh 25.455 orang. Selain dari Indonesia, pengunjung juga dari luar negeri.
MAGMA Indonesia mendapat apresiasi banyak kalangan. Tahun 2016, MAGMA Indonesia meraih peringkat satu Innovation Award Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Tahun ini, aplikasi ini masuk dalam 40 terbaik dan terpilih masuk 20 inovasi terbaik Pelayanan Publik 2014-2017. November 2017, MAGMA Indonesia akan mengikuti Inovasi Pelayanan Publik Internasional di Paris.
KOMPAS/SAMUEL OKTORA–Hadirin sedang menyimak pemutaran video tentang MAGMA Indonesia dalam acara sosialisasi aplikasi MAGMA Indonesia di Auditorium Geologi Bandung, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (14/9).
“Aplikasi ini menjadi salah satu bentuk kepedulian untuk meningkatkan kemampuan masyarakat menghadapi bencana,” kata Founder and Developer MAGMA Indonesia, Devy Kamil Syahbana.
Menekan potensi bencana
Kepala PVMBG Kasbani mengatakan, MAGMA Indonesia adalah salah satu sarana meningkatkan pelayanan publik dalam mitigasi bencana. Tujuannya, menekan beragam potensi bencana yang bisa datang kapan dan siapa saja.
Salah satu keunggulan MAGMA Indonesia adalah tampilan unik dan menarik tanpa mengurangi isi laporan potensi bencana. Penuh indikator berawarna cerah, laporan tentang aktivitas gunung api, kondisi penerbangan, gerakan tanah, hingga gempa, disajikan lebih enteng, tetapi tak kehilangan makna.
Pengamatan gunung api, misalnya, ada empat indikator warna menggambarkan perkembangan terakhir gunung itu. Hijau untuk status terendah, Aktif Normal, kuning untuk Waspada, oranye untuk Siaga, merah untuk Awas.
Ketika ikon gunung berbentuk segitiga diklik, beragam informasi pun muncul. Mulai dari laporan visual, aktivitas kegempaan, hingga rekomendasi bagi manusia di sekitarnya. “Informasi terus diperbarui setiap hari,” kata Kasbani.
Pengamatan Kompas sejak mengunduh dan mengaktifkan aplikasi ini sejak Senin (18/9), aplikasi ini memberikan laporan hampir setiap 3-6 jam sekali dalam sehari.
MAGMA Indonesia juga membuka ruang interaksi dengan masyarakat. Masyarakat bisa jadi narasumber awal suatu bencana. Mereka bisa memberi laporan mengenai kejadian bencana di sekitarnya. “Syarat warga yang ingin memberi laporan dengan mengisi nama lengkap, nomor ponsel, jenis bencana, waktu dan lokasi bencana, sumber berita, kondisi terakhir, dan pernyataan menyetujui kebenaran isi laporan,” kata Kasbani.
Kasbani berharap MAGMA Indonesia bisa mendekatkan mitigasi bencana dengan cara lebih mudah, khususnya bagi para pemangku kebijakan di daerah. “Setidaknya data yang diberikan lewat aplikasi ini sebagai informasi awal,” ujarnya.
Selain itu, bencana geologi yang datang tak terduga juga rentan memicu lupa. Dengan aplikasi MAGMA Indonesia, ingatan itu coba dipelihara.(SAMUEL OKTORA/B KRISNA YOGATAMA)
————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 September 2017, di halaman 14 dengan judul “Mengenggam Informasi Bencana, Mencegah Lupa”.