Mengantisipasi Longsor dengan Sipendil

- Editor

Selasa, 5 Juni 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Tanah longsor menjadi bencana alam paling mematikan di Indonesia, dan 90 persen dipicu oleh hujan. Sistem peringatan dini longsor atau Sipendil temuan tim peneliti UGM menggunakan curah hujan sebagai indikator untuk mengirimkan peringatan dini tanah longsor.

Sepanjang tahun 2017, berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), bencana tanah longsor menyebabkan 156 orang tewas, 168 orang luka-luka, dan 52.930 orang mengungsi. Jumlah korban akibat longsor itu lebih banyak daripada korban akibat bencana alam jenis lain, misalnya banjir, kebakaran hutan, dan letusan gunung api.

Menurut Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, sejak 2014 hingga 2017, bencana longsor adalah bencana paling mematikan, karena jutaan warga tinggal di daerah rawan longsor (Kompas, 2/1/2018).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Meski menyadari bahaya yang mengancam jiwanya, banyak warga terpaksa tinggal di kawasan rawan longsor karena mereka tak memiliki lahan lain untuk bertempat tinggal. Di sisi lain, keterbatasan lahan membuat pemerintah mustahil merelokasi semua warga yang tinggal di wilayah rawan longsor.

Oleh karena itu, yang bisa dilakukan adalah membangun sistem peringatan dini agar masyarakat bisa mengantisipasi potensi tanah longsor. Namun, agar bisa berjalan efektif, sistem peringatan dini yang dikembangkan itu harus memenuhi sejumlah prasyarat, misalnya harganya tidak terlalu mahal dan mudah dioperasionalkan oleh masyarakat.

KOMPAS/HARIS FIRDAUS–Dosen Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Nugroho Christanto (kiri), dan alumnus Fakultas Geografi UGM, Sulkhan Nurrohman, menguji coba alat peringatan dini tanah longsor buatan mereka, Kamis (31/5/2018), di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Alat peringatan dini longsor berbasis curah hujan itu dinamai Sipendil.

Kesadaran seperti itulah yang mendorong tim peneliti Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mengembangkan alat peringatan dini tanah longsor yang dinamai Sipendil. Nama Sipendil merupakan kependekan dari sistem peringatan dini longsor.

Tim peneliti yang mengembangkan alat itu terdiri dari Nugroho Christanto, Anggri Setiawan, dan Sulkhan Nurrohman. Nugroho dan Anggri merupakan dosen Fakultas Geografi UGM, adapun Sulkhan adalah alumnus fakultas tersebut.

Pengembangan Sipendil itu berawal dari penelitian mereka tentang kondisi tanah di Dusun Sidorejo, Desa Tieng, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, pada akhir tahun 2010. “Pengembangan Sipendil kita mulai tahun 2011,” kata Nugroho yang merupakan ketua tim pengembangan Sipendil.

Curah hujan
Sipendil menggunakan curah hujan sebagai indikator untuk mengirimkan peringatan dini. Sulkhan menuturkan, sebagian besar kejadian tanah longsor di Indonesia itu dipicu oleh hujan sehingga curah hujan yang turun di suatu tempat bisa menjadi indikator untuk peringatan dini tanah longsor.

Sebagian besar kejadian tanah longsor di Indonesia itu dipicu oleh hujan sehingga curah hujan yang turun di suatu tempat bisa menjadi indikator untuk peringatan dini tanah longsor.

“Di Indonesia yang merupakan daerah tropis, sekitar 90 persen longsor itu terjadi karena hujan. Jarang sekali longsor terjadi karena gempa bumi, angin, atau kekeringan,” ujar Sulkhan.

Menurut Sulkhan, alat peringatan dini longsor berbasis curah hujan memiliki kelebihan dibanding alat peringatan dini longsor berbasis gerakan tanah. Sebab, alat peringatan dini longsor berbasis curah hujan bisa memberi peringatan dini lebih awal sehingga warga memiliki waktu yang cukup untuk mengungsi.

Sulkhan menambahkan, sebagian besar masyarakat yang tinggal di wilayah rawan longsor sebenarnya sudah paham bahwa hujan deras dapat memicu terjadinya tanah longsor. Namun, dibutuhkan alat tertentu yang bisa mengukur curah hujan secara pasti sehingga masyarakat bisa mengetahui apakah hujan yang turun pada suatu waktu berpotensi memicu longsor atau tidak.

Secara garis besar, Sipendil terdiri dari beberapa bagian. Bagian pertama adalah kolektor atau pengumpul air hujan. Bagian ini berupa pipa paralon dengan diameter 4 inchi yang dipasang di luar ruangan dan tidak boleh terhalang apapun. Dengan begitu, air hujan bisa langsung masuk ke kolektor dengan lancar dan tanpa hambatan.

Bagian kolektor itu kemudian dipasangi selang yang terhubung ke tabung reservoir yang juga terbuat dari pipa paralon dengan diameter 2 inchi. Tabung reservoir ini berfungsi untuk menampung air hujan yang masuk dari kolektor.

Di tabung ini juga terdapat sensor yang bisa mendeteksi ketinggian air. Jika air hujan sudah mencapai ketinggian tertentu, sensor tersebut akan mendeteksinya lalu mengirimkan sinyal untuk membunyikan alarm dan menyalakan lampu sebagai bentuk peringatan dini.

Nugroho menuturkan, ukuran tabung reservoir itu sudah dikalibrasi sehingga volume air yang masuk ke tabung tersebut bisa dikonversi menjadi data curah hujan. Untuk memudahkan pengukuran, tabung reservoir itu terhubung dengan pipa ukur yang berfungsi menunjukkan data curah hujan.

Di pipa ukur itu, ada beberapa ukuran curah hujan, misalnya 50 milimeter (mm), 60 mm, 70 mm, dan seterusnya. Selain terhubung satu sama lain, tabung reservoir dan pipa ukur itu juga terhubung dengan kran pembuangan yang berfungsi untuk membuang air hujan yang tertampung.

Sementara itu, di bagian bawah Sipendil terdapat box controller (kotak pengontrol) yang berisi sejumlah komponen, misalnya mesin alarm, trafo, baterai, dan sebagainya. Selain kolektor, seluruh bagian Sipendil harus diletakkan di dalam ruangan yang mudah terlihat agar peringatan dini yang muncul bisa segera direspon.

Cara kerja Sipendil bisa dirumuskan dalam beberapa langkah. Pertama, air hujan masuk melalui kolektor, melewati selang, lalu mengalir ke tabung reservoir dan pipa ukur. Kedua, saat air hujan mencapai ambang batas tertentu yang sudah ditetapkan, sensor di tabung reservoir akan menyalakan alarm dan lampu sebagai tanda peringatan dini. Ketiga, operator Sipendil meneruskan peringatan dini ke warga melalui alat komunikasi.

Edukasi
Nugroho mengatakan, Sipendil merupakan alat peringatan dini yang mudah dioperasikan dan bahkan bisa dirakit sendiri oleh masyarakat karena bahan-bahan untuk membuat alat itu bisa didapat dengan mudah. Harga alat tersebut Rp 1,6 juta per unit, termasuk biaya pemasangannya.

Namun, Nugroho mengingatkan, sebagai sebuah alat, Sipendil tidak bisa berfungsi tanpa operator yang mengoperasikannya. Oleh karena itu, pemasangan alat itu harus diikuti oleh edukasi kepada warga sekitar.

Peran operator penting karena penggunaan Sipendil membutuhkan penetapan ambang batas curah hujan yang berpotensi memicu tanah longsor. Di tempat yang berbeda, ambang batas curah hujan yang bisa memicu longsor itu bisa jadi berbeda.

Sebagai sebuah alat, Sipendil tidak bisa berfungsi tanpa operator yang mengoperasikannya. Peran operator penting karena penggunaan Sipendil membutuhkan penetapan ambang batas curah hujan yang berpotensi memicu tanah longsor.

Di satu tempat, curah hujan 50 mm bisa jadi berpotensi memicu longsor, sementara di tempat lain, butuh curah hujan hingga 70 mm untuk memicu longsor. Agar penetapan ambang batas itu bisa dilakukan dengan tepat, butuh partisipasi warga untuk mengamati curah hujan dalam jangka waktu tertentu, misalnya 1-2 tahun.

Sipendil juga membutuhkan operator yang memiliki jaringan dan alat komunikasi untuk meneruskan peringatan dini ke masyarakat. Operator dan masyarakat juga harus memahami standar operasional prosedur (SOP) peringatan dini Sipendil.

“Misalnya, saat alarm Sipendil berbunyi pertama kali, warga tidak perlu langsung mengungsi, tapi warga bisa mengecek kondisi sekitar, apakah ada rekahan tanah atau tidak. Lalu, kalau hujan makin deras, warga bisa mulai bersiap-siap mengungsi,” ujar Nugroho.

Saat ini, Sipendil sudah dipasang di sekitar 70 titik di beberapa kabupaten di Jawa Tengah, yakni Temanggung, Wonosobo, dan Banjarnegara. “Ke depan, Sipendil juga direncanakan dipasang di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur,” tutur Sulkhan.–HARIS FIRDAUS

Sumber: Kompas, 4 Juni 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB
Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri
PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen
7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 1 April 2024 - 11:07 WIB

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:17 WIB

PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:09 WIB

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya

Rabu, 3 Januari 2024 - 17:34 WIB

Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia

Minggu, 24 Desember 2023 - 15:27 WIB

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB