“Mata Udara” di Langit Negeri

- Editor

Jumat, 3 Februari 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dunia penerbangan Indonesia kerap dirundung duka. Tahun lalu, 12 pesawat jatuh, empat di antaranya di Papua. Penerbangan di wilayah ini terkendala pegunungan tinggi yang sering tertutup awan dan sarana navigasi yang tak memadai. Pemasangan sistem pengawas otomatis di jalur penerbangan perintis itu diharapkan bisa mengatasinya.

Kecelakaan pesawat-pesawat perintis ini biasanya tak termonitor pada detik-detik terakhir sehingga lokasi jatuhnya tak segera ditemukan. Hal itu karena belum ada sistem pengawas atau surveilans yang berfungsi sebagai “mata” untuk memantau pergerakan pesawat di ruang udara di kawasan pinggiran ini.

Surveilans sebagian besar rute penerbangan di negeri ini masih bertumpu pada perangkat radar (radio detection and ranging) yang mendeteksi posisi pesawat pada radius sekitar 300 kilometer (km). Namun, jumlah radar relatif terbatas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Selain itu, saat pesawat menukik hingga jatuh tak terlacak radar yang hanya memantau lapisan udara atas.

Dibantu satelit
Keterbatasan pantauan radar dan komunikasi radio itu kemudian diatasi dengan satelit navigasi yang berada di ruang angkasa. Sistem navigasi satelit ini bisa dimanfaatkan untuk keperluan surveilans pesawat berbasis teknologi digital.

Salah satu wujud pengembangannya adalah automatic dependent surveillance-broadcast (ADS-B). Kelebihan pengawasan berbasis satelit ini antara lain cakupannya lebih luas dan bebas tutupan awan.

Akurasi identifikasi posisi pesawat juga lebih baik dibandingkan radar. Pemasangan dan pengoperasiannya pun relatif lebih mudah dan murah. Pemantauan teknologi ini juga lebih efektif untuk wilayah Indonesia yang sebagian besar berupa laut dan banyak daerah terpencil.

Sistem pengawasan ini bergantung pada data digital posisi pesawat yang ditunjukkan satelit navigasi. Data itu lalu disiarkan otomatis ke segala arah oleh sistem pemancar pesawat.

Data posisi yang disiarkan setiap setengah detik akan diterima unit penerima sinyal di pengendali lalu lintas udara (ATC) bandara. Dengan demikian, pesawat dapat terus dilacak oleh ATC sehingga jika pesawat jatuh, posisinya cepat diketahui.

Tidak hanya itu, informasi data posisi pun disebarkan ke pesawat-pesawat di sekelilingnya sehingga pilot bisa saling menjaga jarak antarpesawat.

ADS-B diterapkan pertama kali di dunia oleh Badan Penerbangan Federal AS (FAA) di Alaska pada 2007.

Hingga saat ini, penerapan ADS-B belum diwajibkan. Namun, pada Desember 2014, setelah musibah hilangnya pesawat Malaysia Airlines nomor penerbangan MH370 pada 8 Maret 2014, Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) meminta setiap pesawat dilengkapi transponder ADS-B.

Penerapan sistem ADS-B ini mulai diwajibkan di Eropa tahun 2017 dan di AS selambat-lambatnya tahun 2020.

Di Indonesia, ADS-B diperkenalkan tahun 2007, bekerja sama dengan Société Internationale de Télécommunications Aéronautiques dan Thales, pabrikan sistem elektronik asal Perancis.

Membangun kemandirian
Saat ini, sistem ADS-B sudah dipasang di 31 bandara atau baru 13 persen dari total 237 bandara di Indonesia. Jejaring ADS-B akan diperluas.

Namun, untuk itu perlu dibangun kemandirian pembuatan instrumen itu. Upaya ini dirintis Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sejak 2007. “Kami telah mewujudkan prototipe ADS-B yang mengacu standar internasional dan sesuai kebutuhan Indonesia,” kata Kepala BPPT Unggul Priyanto, Desember 2016.

Pengembangan ADS-B buatan dalam negeri ini dimulai dari mempelajari standar Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO), kemudian mempelajari pola kerjanya. “Tahap berikutnya, mendesain rangkaian elektronik dan merakit komponen menjadi unit utuh. Selain itu, juga dirancang peranti lunak aplikasi untuk penayangan data di layar monitor,” ujar Michael A Purwoadi, Kepala Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi BPPT.

Saat ini, tim ADS-B BPPT yang dipimpin Sardjono Triatmo telah membuat prototipe versi keempat dengan peningkatan daya jangkau, akurasi identifikasi obyek, serta konsistensi penerimaan dan pengiriman sinyal. BPPT sudah mendaftarkan paten untuk prototipe tersebut.

Uji coba sistem ADS-B buatan BPPT ini telah dilakukan sejak tahun 2012 di Bandara Ahmad Yani, Semarang; Bandara Husein Sastranegara, Bandung; dan Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. “ADS-B buatan BPPT terbukti andal dan tak kalah dari produk asing,” ucap Deputi Bidang Teknologi Informasi, Energi, dan Material BPPT Hammam Riza.

Setelah uji coba ini sukses, tahap selanjutnya adalah fabrikasi. Untuk itu, diperlukan sertifikasi dari Kementerian Perhubungan agar produk sesuai standar. Produksi sistem ADS-B tersebut akan dilakukan PT Inti. “Dengan diproduksi di dalam negeri, industri nasional dapat berkembang dan membuka lapangan kerja bagi tenaga lokal, serta devisa dapat dihemat,” ujar Unggul.

Selain itu, karena harganya lebih murah, akan diperoleh ADS-B lebih banyak dengan anggaran yang sama. Keuntungan lain, jika terjadi kerusakan, perbaikan bisa cepat dan murah.

Pada penerapannya, sistem ADS-B buatan dalam negeri ini akan dipasang di penerbangan perintis untuk mengawasi pesawat pada ketinggian hingga 3 km. Pada tahap awal, perangkat ADS-B akan dipasang di enam bandara pada jalur penerbangan antara Wamena dan Sentani di Papua.–YUNI IKAWATI
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Februari 2017, di halaman 14 dengan judul “”Mata Udara” di Langit Negeri”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Berita ini 19 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Jumat, 4 Juli 2025 - 17:25 WIB

Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Berita Terbaru

Artikel

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Senin, 7 Jul 2025 - 08:07 WIB

Fiksi Ilmiah

Bersilang Nama di Delhi

Minggu, 6 Jul 2025 - 14:15 WIB

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB