Pembangunan nasional yang berkelanjutan membutuhkan keseimbangan dalam kebijakan ekonomi, politik, dan ekologi. Penting pula melibatkan semua pemangku kepentingan, pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Faktor ekonomi, politik, dan ekologi harus dijalankan secara seimbang untuk mewujudkan pembangunan nasional yang berkelanjutan. Hal ini perlu didukung dengan harmonisasi yang kuat dari semua aktor yang terlibat, yakni pemerintah, swasta, dan masyarakat.
KOMPAS/ANGGER PUTRANTO–Relawan memantau saat-saat pertama seekor kukang sumatera (Nycticebus coucang) keluar dari kandang ke dahan di kandang habituasi Kawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Batutegi, Kabupaten Tanggamus, Lampung. Pusat penyelamatan dan rehabilitasi satwa Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia melakukan translokasi delapan kukang sumatera hasil sitaan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat di Serang, Banten, pada November 2013.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Era demokrasi ini bisa menjadi momentum yang tepat untuk memperkuat integrasi dan harmonisasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Selama ini, ada kegagalan dari tiga aktor itu dalam proses pengelolaan sumber daya alam di Indonesia,” ujar Rektor IPB University Arif Satria saat memberikan sambutan di awal acara peluncuran bedah buku miliknya berjudul Politik Sumber Daya Alam di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (7/3/2020).
Menurut dia, tanpa adanya integrasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat, rasionalitas ekonomi, politik, dan ekologi sulit terwujud. Para ahli lingkungan telah menyampaikan bahwa rasionalitas ekonomi yang tidak menggunakan rasionalitas ekonomi bisa mengganggu aspek peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Begitu pula jika rasionalitas ekonomi yang lebih dominan, kondisi ekologi dari suatu negara pun menjadi rusak. Untuk itu, keseimbangan ekonomi, ekologi, juga politik menjadi penting dalam pembangunan bangsa.
”Sementara aspek politik punya nilai yang besar, terutama dalam pembentukan dan implementasi dari regulasi terkait sumber daya alam. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 telah diatur bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya diperuntukkan untuk kemakmuran rakyat. Jadi, agar regulasi itu bisa benar-benar terimplementasi, butuh komitmen politik yang kuat,” tutur Arif.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa yang turut hadir dalam peluncuran buku tersebut menyampaikan, pemerintah juga telah mendorong pembangunan ekonomi berkelanjutan secara lebih masif. Sebagian besar pembangunan tidak lagi dilihat dari aspek ekonomi saja, tetapi harus mempertimbangkan dampak lingkungan yang dihasilkan.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia menambahkan, pengembangan investasi di Indonesia akan lebih diarahkan pada investasi yang berorientasi pada komoditas lokal dan hijau. Pengembangan akan dimulai dari wilayah timur Indonesia, yakni Maluku dan Papua.
”Maluku dan Papua akan didorong untuk mengembangkan komoditas lokal. Jadi, masyarakat tidak dikenalkan pada hal yang baru, tetapi memang yang sudah berkembang di daerah itu. Pengembangan akan digencarkan pada komoditas pala dan cokelat, bukan sawit,” ujarnya.
DOK HUMAS PEMPROV NTB–Pantai Kute yang berada di Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika, Kute, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, 28 Januari 2020. Fasilitas di kawasan pantai ini dalam proses pembangunan, yang diharapkan selesai sebelum lomba MotoGP 2021.
Perguruan tinggi
Terkait ketidakharmonisan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat, Arif menuturkan, perguruan tinggi seharusnya bisa berperan untuk menjembatani persoalan tersebut. Karena itu, perguruan tinggi kini dituntut untuk mampu mencari titik temu dari ketiganya agar pembangunan bangsa bisa terjadi dengan berkelanjutan.
”Perguruan tinggi harus lebih rajin ke lapangan dan ke masyarakat untuk menemukan isu yang terjadi. Begitu juga harus rajin ke swasta dan pemerintah dengan kredibilitas yang baik agar bisa mendapatkan kepercayaan. Meski begitu, dari ketiga aktor ini, masyarakat tetap menjadi fokus perhatian karena selama ini masyarakatlah yang paling lemah dalam sistem pengelolaan sumber daya alam kita,” ucapnya.
Oleh DEONISIA ARLINTA
Editor: ILHAM KHOIRI
Sumber: Kompas, 8 Maret 2020