Manfaatkan Momentum Perubahan

- Editor

Kamis, 12 Desember 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Sebagai negara berkembang yang menjadi penghasil utama emisi namun memiliki kerentanan tinggi, Indonesia bisa berperan lebih besar dalam krisis iklim. Namun, Indonesia terus membangun pembangkit listrik tenaga uap.

Tahun 2010 menjadi batas akhir bagi semua negara untuk meningkatkan ambisi menurunkan emisi gas rumah kaca. Sebagai negara berkembang yang menjadi salah satu penghasil utama emisi namun memiliki kerentanan tinggi, Indonesia dinilai bisa berperan lebih besar dalam krisis iklim.

–Tokoh iklim dan mantan Presiden Amerika Serikat Al Gore mengingatkan Indonesia untuk serius mengatasi perubahan iklim, saat menjadi pembicara di Paviliun Indonesia UNFCCC-COP25 di Madrid, Rabu (12/11). Kompas/Ahmad Arif

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Indonesia merupakan negara rentan, bahkan sudah terdampak krisis iklim. Peningkatan muka laut memaksa pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan. Dengan banyaknya pulau, kenaikan muka air laut akan memaksa pemindahan lebih banyak penduduk lagi di masa depan,” kata Al Gore, mantan Presiden Amerika Serikat yang juga pendiri Climate Reality Project, saat jadi pembicara dalam diskusi di Paviliun Indonesia, di Konferensi Tingkat Tinggi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC-COP25), Madrid, Spanyol, Rabu (11/12/2019).

Al Gore mengatakan, Indonesia telah berupaya keras mengubah kebijakan menghadapi perubahan iklim, di antaranya moratorium perkebunan sawit dan restorasi lahan gambut. Selain itu, tokoh perubahan iklim ini memuji kemajuan Indonesia dalam membangun transportasi massal atau MRT di Jakarta.

“Namun, masih banyak kebijakan lain yang harusnya bisa diubah. Indonesia menjadi pengekspor batubara nomor satu. Indonesia juga menjadi satu-satunya negara di Asia yang terus membangun PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) Batubara,” ujarnya.

Menurut Al Gore, solusi untuk menghadapi persoalan perubahan iklim saat ini telah tersedia, namun membutuhkan komitmen untuk engimplementasikannya. Contohnya, terkait energi yang jadi penyumbang besar emisi gas rumah kaca juga menyediakan banyak pilihan energi terbarukan. “Kabar baiknya, harga dari listrik berbahan baku tenaga surya dan angin menjadi lebih murah dari batu bara, dan akan semakin murah,” katanya.

Industri bersih
Dalam forum sebelumnya, juga di Paviliun Indonesia, Meg Argyriou dari ClimateWorks Australia mengatakan, Indonesia memiliki banyak peluang untuk membangun industri bersih. Di antaranya, dengan mengoptimalkan panas bumi dan efisiensi industri.

Dia juga menyebutkan, transisi pembangunan menjadi rendah karbon bisa memberi banyak keuntungan bagi Indonesia, misalnya akan terbukanya lapangan pekerjaan baru, hingga perbaikan kualitas udara dan lingkungan.

Hal ini sejalan dengan kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), bahwa pembangunan rendah karbon berpeluang meningkatkan produk domestik bruto (PDB) Indonesia 6 persen dan membuka peluang pekerjaan baru 15,3 persen pada 2045. Selain memperbaiki mutu lingkungan, pembangunan rendah emisi akan menambah PDB Indonesia 5,4 triliun dollar AS pada 2045 dan mengurangi kematian dini 40.000 orang.

Direktur Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Medrilzam mengatakan, Indonesia saat ini telah memiliki rencana pembangunan rendah karbon. Namun, setidaknya ada empat tantangan yang dihadapi.

“Tantangannya adalah bagaimana mengimplementasikan rencana yang telah dibuat, termasuk target bauran energi terbarukan yang sebenarnya sudah progresif, yaitu dari 9 persen menjadi 23 persen di tahun 2025,” ujarnya.

Persoalan lainnya yakni memantau semua capaian yang dilakukan, pelibatan sektor swasta, dan mengomunikasikan rancangan tentang pembangunan rendah emisi ini ke pemerintah daerah, hingga level kota atau kabupaten.

Harapan terakhir
Di ruang sidang utama COP25, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendesak para pemimpin dunia, utamanya dari negara ekonomi utama, untuk lebih serius mengurangi emisi gas rumah kaca. Dia mengingatkan, tahun ini jadi momentum terakhir sebelum implementasi Kesepakatan Paris 2015. “Kita masih jauh dari tujuan kita mencapai dunia tanpa emisi karbon pada tahun 2050 dan membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat celcius,” ujarnya.

Batubara dinilai merupakan hambatan terbesar untuk mencapai target penurunan suhu global 1,5 derajat celcius. “(Menghentikan penggunaan batubara) adalah kunci untuk ekonomi bebas karbon dan peningkatan kesehatan masyarakat,” kata dia.

Menurut Guterres, transisi energi terbarukan hingga 100 persen harus dipercepat, selain juga efisiensi energi dan menghentikan subsidi terhadap energi fosil.

Di tengah alotnya negosiasi politik dari pemimpin negara, kemajuan dicapai di sektor swasta. Sebanyak 177 perusahaan mengumumkan bakal membantu membatasi dampak terburuk dari perubahan iklim menuju investasi berbasis emisi bersih sesuai Perjanjian Paris 2015.

Ratusan perusahaan ini secara kolektif mewakili lebih dari 5,8 juta karyawan, mencakup 36 sektor dan dengan kantor pusat di 36 negara dengan kapitalisasi pasar gabungan lebih dari 2,8 triliun dollar Amerika Serikat. Jejak karbon mereka jika dihitung setara dengan total emisi karbon tahunan Perancis.

Komitmen ini menandai perubahan tren bisnis dan keuangan, yang semakin menyadari pentingnya pembangunan rendah karbon. Margaret Arnold, Senior Social Development Specialist Bank Dunia mengatakan, Bank Dunia tidak lagi mendanai sektor batu bara sejak tahun 2010.

Oleh AHMAD ARIF DARI MADRID, SPANYOL

Editor: EVY RACHMAWATI

Sumber: Kompas, 12 Desember 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB