LIPI mengembangkan metode baru untuk mendeteksi Covid-19. Metode tersebut diklaim bisa mendeteksi virus korona tipe baru lebih cepat dibandingkan metode reaksi rantai polimerase yang selama ini digunakan.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengembangkan metode baru untuk mendeteksi Covid-19 yakni reverse transcription loop-mediated isothermal amplification (RT-LAMP). Metode yang diklaim memiliki keunggulan deteksi lebih cepat dibandingkan tes dengan metode polymerase chain reaction (PCR) ini akan diuji validasi pada Agustus atau September 2020.
“Kami mengembangkan metode alternatif deteksi Covid-19 yaitu RT-LAMP. Ada dua tim, yang pertama berbasis kekeruhan (turbidimetry) dan kedua berbasis perubahan warna (colorimetry),” ujar Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Laksana Tri Handoko, di Jakarta, Jumat (26/6/2020).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pengembangan kedua tim ini masih dalam proses validasi dan optimasi. Namun, menurut Handoko, tim berbasis kekeruhan telah sampai pada tahap mampu mendeteksi keberadaan virus SARS-CoV-2, penyebab Covid-19.
Pihak LIPI mengembangkan metode RT-LAMP karena memiliki sejumlah kelebihan antara lain waktu reaksinya cepat, sekitar satu jam. Sebagai perbandingan, deteksi Covid-19 memakai metode PCR membutuhkan waktu 2-4 jam. RT-LAMP juga digunakan untuk mendeteksi virus influenza, sindrom penapasan akut parah (SARS), dan sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS).
Handoko menjelaskan, keakuratan RT-LAMP hampir setara dengan PCR karena cara kerjanya yang langsung mendeteksi virus melalui sampel lendir tenggorokan. Berbeda dengan metode tes cepat yang mendeteksi antibodi terlebih dahulu melalui sampel darah.
Reagen atau ekstraksi yang digunakan dalam pengecekan spesimen dalam metode RT-LAMP juga tersedia dengan harga lebih murah yakni Rp 10 juta untuk 100 hasil tes. Sementara dalam proses PCR, deteksi kerap terhambat karena kelangkaan reagen.
Dengan keunggulan dan nilai ekonomis tersebut, Handoko menargetkan metode RT-LAMP dapat menggantikan tes cepat untuk deteksi Covid-19 di Indonesia. Namun, dalam waktu dekat metode ini masih belum dapat menggantikan PCR karena perlu pengembangan alat tes yang lebih akurat.
“Karena langsung mendeteksi virus, RT-LAMP bisa lebih diandalkan dibandingkan rapid test yang berbasis antibodi. Kami berharap Agustus atau September kalau bisa metode ini sudah diuji dan kami minta uji edar ke Kementerian Kesehatan,” ungkapnya.
Pihak LIPI dilibatkan sebagai anggota utama konsorsium riset dikoordinasikan Kementerian Riset dan Teknologi setelah kasus pertama Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru di Indonesia terdeteksi pada awal Maret lalu. Namun, riset LIPI terkait penanganan Covid-19 telah dilakukan sejak akhir Februari lalu.
Selama masa pandemi, LIPI telah melakukan sejumlah riset seperti pengembangan obat dan vaksin Covid-19, alat kesehatan, hingga alat pendukung lain untuk penanganan Covid-19. Selain itu, LIPI juga mengembangkan sumber daya manusia dengan melakukan pelatihan bagi tim pemeriksa Covid-19.
Vaksin Covid-19
Kepala Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Puspita Lisdiyanti, menyampaikan, sampai saat ini belum dapat dipastikan kapan penemuan dan pengembangan vaksin Covid-19 akan selesai. Hal ini juga terjadi di sejumlah negara yang tengah mengembangkan vaksin Covid-19.
Riset pembuatan vaksin membutuhkan waktu lama karena melalui sejumlah proses. Proses konstruksi gen telah dilakukan LIPI pada April hingga Mei lalu. Setelah itu, proses transformasi dan transfeksi dilakukan pada Juni hingga September nanti. Kemudian proses purifikasi dan karakterisasi dilakukan pada Oktober hingga Desember mendatang.
“Kami akan melakukan uji klinis bekerja sama dengan Universitas Indonesia. Jadi perlu uji reaksi di laboratorium BSL (standar keamanan hayati) 3 dan sekarang sedang dijajaki juga produksi vaksinnya yang kemungkinan mencapai 500 liter,” ujarnya.
Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI Agus Haryono mengatakan, peneliti juga telah mengembangkan obat anti virus herbal berbasis tanaman obat Indonesia. Ia menyebutkan tanaman tersebut yaitu daun ketepeng badak (Cassia alata) dan daun benalu (Dendrophthoe sp).
“Uji in vitro akan dimulai karena kultur virusnya sudah selesai dilaksanakan. Ini sudah bisa berlanjut ke tahap selanjutnya. Memang di masyarakat banyak informasi tanaman ini bisa menjadi antivirus tetapi tidak ada dasar ilmiahnya sehingga ini kami kembangkan,” tuturnya.
Oleh PRADIPTA PANDU
Editor ICHWAN SUSANTO, EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 27 Juni 2020