Peraturan perundangan memerintahkan pemusnahan senyawa polychlorinated biphenyls. Namun, masih ada 23.000 ton senyawa itu di Indonesia.
Polychlorinated biphenyls (PCB) adalah senyawa kimia yang banyak digunakan industri peralatan elektronik. Senyawa ini dianggap berbahaya karena berdampak negatif pada kesehatan, antara lain menyebabkan kanker, mengganggu keseimbangan hormon, dan menghambat perkembangan kognitif anak.
PCB tak bisa dimusnahkan seperti limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) biasa karena tahan panas. Butuh pemusnahan khusus berteknologi nontermal. Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ade Palguna Ruteka menyatakan, pemusnahan terkendala fasilitas dan dana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Di Indonesia belum ada pusat pemusnahan PCB. Mungkin tahun depan,” ujar Ade dalam lokakarya “Peningkatan Kesadartahuan PCB di Indonesia”, Kamis (9/6), di Jakarta. Turut hadir Direktur Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) KLHK Yun Insiani.
Kepala Subdirektorat Penanganan B3 KLHK Edward Nixon Pakpahan menjelaskan, saat ini 23.000 ton PCB masih disimpan pelaku industri dengan tata cara penyimpanan limbah B3. “Tetapi, ini tidak bisa disimpan selamanya. Kami harus gerak cepat memusnahkan PCB,” katanya.
Saat ini, KLHK menjalani persiapan pembangunan pusat pemusnahan PCB. Menurut Edward, langkah yang diambil adalah pendataan dan menentukan teknologi pemusnahan.
“Studi kelayakan dan desain teknik detailnya selesai Desember 2015. Sekarang, kami data sebaran PCB dari Aceh sampai Papua,” kata Edward. Secara paralel, KLHK bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi menentukan teknologi pemusnahan tanpa pembakaran.
Lokasi pemusnahan
Ada tiga opsi lokasi pusat pemusnahan PCB, yaitu Kabupaten Serang, Banten; Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat; atau Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Pendanaan bisa dari APBN, kerja sama KLHK dengan pemda, atau kerja sama swasta. “Mudah-mudahan tidak sampai akhir tahun ada keputusan soal opsi pendanaan dan lokasi,” ujarnya.
Pemusnahan PCB diamanatkan perundang-undangan, antara lain Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2009 tentang Ratifikasi Konvensi Stockholm dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001. Pada 2020, ditargetkan seluruh PCB di Indonesia telah dimusnahkan sepenuhnya.
Sulit terurai
Robert G D’Eon dari PT Hatfield Indonesia menyatakan, PCB adalah senyawa stabil dan sulit terurai, bersifat bioakumulatif, bertahan lama di lingkungan, dan memiliki efek buruk pada kesehatan. “PCB terdapat di air, tanah, dan udara,” ucapnya.
PCB dapat memasuki lingkungan melalui penggunaan, penyimpanan, dan pembuangan yang tak memadai.
Ia menyatakan, 90 persen paparan PCB pada manusia didapat dari makanan, baik ikan, daging, maupun produk susu. “Yang perlu diperhatikan, PCB terakumulasi dalam rantai makanan. Konsumsi ikan atau daging yang mengandung PCB akan menyebabkan akumulasi PCB dalam tubuh manusia,” ujar Robert.
Sejak 1970-an, PCB ditemukan pada jaringan tubuh manusia, hewan, dan makanan. Senyawa ini dinyatakan berbahaya karena terakumulasi secara biologis di jaringan lemak, beracun, dan persisten.
Sifat PCB yang sulit terurai dalam tubuh juga menyebabkan berbagai penyakit. “Paparan PCB mengganggu reproduksi, kanker, dan merusak sistem imun,” kata pengajar Pengelolaan Sumber Daya Perairan Institut Pertanian Bogor (IPB), Etty Riani.
Keracunan PCB terjadi di Jepang pada 1968 melalui beras dan di Taiwan tahun 1979 melalui minyak goreng terkontaminasi. Itu menyebabkan luka di kulit, penyakit hati kronis, imunitas turun, dan hambatan perkembangan kognitif. Dampak PCB bertahan bertahun-tahun. Dalam beberapa kasus, baru timbul lama sejak keracunan. (C01)
————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Juni 2016, di halaman 14 dengan judul “Pusat Pemusnahan PCB Belum Tersedia”.