Rujak. Nama itu tidak asing bagi kita. Namun, Agrippina Brescia menyajikannya dalam bentuk berbeda. Akar seledri yang menggantikan bengkuang, mangga, dan timun diiris kotak kecil. Diramu dengan delima serta acar wortel di tengah piring putih. Saus berwarna kecoklatan tidak dicampur, tetapi disiram memutari tumpukan buah. Si rujak pun diabadikan dengan kamera ponsel dan disebar di Instagram-nya, Kamis lalu. Setelah kegiatan memasak hari itu,gambar tersebut sudah tersebar di seantero jagat dunia maya.
Ragam respons berdatangan, tanda love yang diklik teman-teman mencapai 226, tiga hari kemudian.
“Ini buat kelas a la carte. Seminggu sekali kami serving international dish of cold appetiser or soup. Kebetulan, minggu ini (masakan) Indonesia. Jadi, (aku buat) rujak,” kata perempuan yang akrab disapa Bebe itu dalam pesan singkat kepada Kompas. Sejak Juli 2017, Bebe belajar di César Ritz, Swiss.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Akhir Oktober silam, saat ditemui di sela-sela International Recruitmen Forum (IRF) di Montreux, Swiss, Bebe mengungkapkan ketertarikannya di dunia kuliner. Karena itu, usai menempuh pendidikan desain grafis di Inggris, ia pun mendaftar ke César Ritz, salah satu sekolah di bawah naungan Swiss Education Group (SEG).
César Ritz mengasuh jurusan kuliner. Sejumlah chef terkemuka menjadi pengajarnya. Utamanya, menu Eropa. Namun, sesekali sekolah ini meminta siswa meramu menu asal negara mereka untuk disajikan dalam acara fine dining alias jamuan makan resmi.
Tamu dalam jamuan itu biasanya adalah siswa di sekolah itu. Namun, saat pihak sekolah kedatangan tamu dari luar sekolah, siswa dilibatkan dalam proses memasak makanan serta penyajiannya.
Dalam acara itulah, rujak hadir dalam kemasan lain. Sebelumnya, Bebe juga meracik soto. Tentu saja, dengan kemasan yang berbeda. Ditambah poached egg alias telur ceplok yang dimasak dengan teknik direbus.
Kreasi ini membuat makanan tidak hanya memikat lidah, tetapi juga menyenangkan mata yang memandangnya.
Optimalisasi teknologi
Kembali ke urusan posting di media sosial. SEG agaknya melihat dan merespons perkembangan teknologi di kalangan Generasi Z, generasi yang lahir tahun 1995-2010. Generasi yang muncul setelah Generasi Milenial itulah yang kini menjadi pelaku utama di dunia kampus dan menguasai sekitar 20 persen dunia kerja.
Salah satu pembeda generasi ini, menurut ahli perilaku konsumen Alexandra Broennimann, adalah mereka tidak bisa dilepaskan dari ponsel dan media sosial. Alat itu sudah menjadi ekstensi tubuh generasi ini.
Lantaran itu pula, sekitar lima tahun terakhir, SEG memberikan tablet kepada seluruh mahasiswa dan menggunakan alat ini di perkuliahan. Tablet ini menggantikan diktat tebal, berbagai buku notes, dan buku-buku lain.
Sebuah aplikasi dikembangkan untuk menaruh informasi tentang bahan perkuliahan yang tengah dibahas saat itu. Juga informasi tentang perusahaan-perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan untuk siswa magang. Proses melamar untuk magang juga dilakukan lewat dunia maya inilah. Sebagai catatan, magang merupakan kegiatan wajib bagi siswa di sekolah-sekolah SEG.
Langkah ini, menurut Chief Academic Officer SEG Emanuel D Donhauser, menjadi upaya mendekatkan pendidikan dengan siswa. Pendekatan ini penting. “Agar siswa tidak melamun di dalam kelas sambil berpikir, kapan mereka bisa membuka gawai,” ujarnya dalam konferensi pers.
Di sisi lain, ia juga mewanti-wanti siswanya agar bertanggung jawab menggunakan media sosial. “Apa yang di-posting siswa di dunia maya bisa menjadi pertimbangan bagi perusahaan dalam menentukan siswa itu diterima magang atau bekerja di tempat mereka,” ucapnya.
Gwendelyn Sijangga, siswa asal Surabaya, mengaku terbantu dengan optimalisasi teknologi ini. “Sekarang saya bikin apa-apa di iPad, mulai dari akses bahan kuliah, cari lowongan kerja magang, dan lainnya. Kalau ke kelas, saya juga cuma bawa tablet ini, satu notes, dan kotak pensil. Simpel,” tutur Gwen yang baru masuk ke IHTTI tahun ini.
Marcelino Leonardo Waani, siswa tahun kedua di SHMS, berpendapat, penggunaan gawai saat pembelajaran memudahkan siswa mendapatkan pelbagai bahan yang dibutuhkan. “Kelemahannya, sebagian orang cenderung malas mencari bahan dari buku. Mendingan browsing saja,” ucap Marcel yang mengaku masih membaca koran ini.
Mendekatkan diri dengan jagat Generasi Z ini juga dilakukan dengan membiasakan diri berinteraksi dengan teknologi di dalam kelas. Salah satu simulasi kecil dilakukan saat presentasi manajemen SHMS kepada wartawan yang berkunjung ke kampus mereka.
Wartawan diminta menghubungkan ponsel dengan Wi-Fi. Saat presentasi diluncurkan, setiap bagian langsung muncul di layar ponsel. Para pemateri pun meminta wartawan memberikan tanda like atau love atas presentasi yang mereka hadirkan. Di situlah para pemateri seolah berkompetisi mendapatkan love terbanyak. Tentu saja, kali ini kompetisi tersebut sebagai hiburan saja.
Yang pasti, sebagian siswa seperti Bebe memanfaatkan teknologi ini untuk memublikasikan kegiatannya di sekolah. Sejumlah teman di negara asal kerap merespons apa yang di-posting Bebe.
“Kadang, ada teman nanya, bagaimana buat makanan itu,” ujar Bebe yang merupakan warga Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Ia tak lupa memberikan informasi tentang cara membuat masakannya itu kepada teman-temannya.
Interaksi langsung
Di kelas, keterampilan meracik makanan diajarkan langsung oleh chef, bukan dengan teknologi semata. Interaksi langsung ini tidak tergantikan dengan teknologi. Bebe dan teman-teman sekelasnya juga bisa berdiskusi dengan chef, yang masing-masing punya karakter berbeda-beda.
“Ada satu chef yang tradisional banget. Dia bikin langkah-langkah masak sesuai aturan. Tetapi, dia juga terbuka terhadap menu baru yang kami bawa,” tutur Bebe.
Setiap siswa di sini memang diminta untuk kreatif, berani berinisiatif, dan inovatif. Dari situlah lahir karya-karya yang diyakini akan memukau dan penting untuk jenjang karier setiap siswa kelak.
Di sinilah teknologi dan keterampilan dunia nyata berbagi peran. Dan, dunia pendidikan bisa menjadi tempat untuk menyatukannya.(Agnes Rita Sulistyawaty)
Sumber: Kompas, 12 November 2017