Laju Pemanasan Bumi Tercepat dalam 2.000 Tahun

- Editor

Sabtu, 27 Juli 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pada bulan Juli ini, jagat media ramai memberitakan 50 tahun peringatan pendaratan manusia di Bulan. Pada bulan yang sama, 10 tahun setelah pendaratan itu, untuk pertamakali dilaporkan bahwa masa depan kehidupan di Bumi menghadapi ancaman serius akibat lonjakan emisi gas rumah kaca yang dapat memicu pemanasan global.

Kini, 40 tahun setelah peringatan dari kalangan saintifik ini, suhu Bumi makin panas. Bahkan, kajian terbaru menunjukkan laju pemanasan global saat ini merupakan yang tercepat dalam 2.000 tahun terakhir.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO–Sejumlah remaja menggelar aksi damai tentang bahaya bencana perubahan iklim di depan Gedung Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (15/3/2019). Aksi mereka itu terinspirasi dari gerakan yang dilakukan oleh aktivis remaja asal Swedia, Greta Thunberg.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pada Juli 1979 itu, sekelompok ilmuwan iklim di Lembaga Oseanografi Woods Hole di Massachusetts, Inggris membentuk “Kelompok Ad Hoc tentang Karbon Dioksida dan Iklim”. Mereka kemudian mengeluarkan Laporan Charney, yaitu kajian saintifik petama yang komprehensif tentang pengaruh karbon dioksida terhadap perubahan iklim global.

Gaung Laporan Charney ini memang kalah jauh dibandingkan pendaratan manusia di Bulan, namun kajian ini menjadi fondasi sains bagi perubahan iklim dan memantik kesadaran global untuk mengerem laju bencana global ini.

AFP/ZAKARIA ABDELKAFI–Warga Paris bermain air di kolam Air Mancur Trocadero di depan Menara Eiffel di Paris saat gelombang panas mendera, Jumat (28/6/2019). Suhu di Perancis pada hari Jumat tersebut mencapai lebih dari 45 derajat celsius (113 derajat fahrenheit). Metro France, lembaga prakiraan cuaca setempat, mengatakan, peristiwa itu merupakan pertama kali terjadi ketika Eropa didera gelombang panas besar.

Sebelumnya, pada tahun 1850-an, fisikawan Irlandia telah menemukan efek rumah kaca. Menurut dia, karbon dioksida merupakan salah satu gas yang bisa meningkatkan suhu jika konsentrasinya di atmosfer amat tinggi di atmosfer. Berikutnya, pada 1950-an, para ilmuwan mulai memprediksi Bumi mengalami pemanasan jika terus membakar bahan bakar fosil.

Pada tahun 1972 John Sawyer, Kepala Penelitian di Kantor Meteorologi Inggris, menulis makalah empat halaman di jurnal Nature yang memperkirakan Bumi mengalami penambahan suhu sekitar 0,6 derajat celsius di akhir abad ke-20. Akan tetapi prediksi itu masih menjadi kontroversi.

Sejumlah ilmuwan lain berpendapat, peningkat suhu global tak terjadi secara linier. Sebagai buktinya, dunia justru mendingin pada 1300 -1850, sehingga periode itu itu dikenal era Zaman Es Kecil. Pendinginan ini terutama terekam di Eropa melalui lukisan dari periode ini dan juga jejak pada pohon.

Hingga pada tahun 1979, sepuluh ilmuwan iklim terkemuka berkumpul di Massachusetts guna menghitung laju pemanasan suhu secara lebih akurat untuk menunjukkan tentang seriusnya dampak perubahan iklim. Mereka dipimpin salah satu ilmuwan atmosfer paling dihormati di abad ke-20, Jule Charney dari Massachusetts Institute of Technology (MIT).

–Suhu permukaan yang terekam satelit, menandai gelombang panas yang kini mendera Eropa. Sumber: WMO, 2019

Laporan yang mereka buat menjabarkan dengan tegas, “Kami memperkirakan pemanasan global yang paling mungkin karena penambahan konsentrasi karbon dioksida hingga dua kali lipat akan mendekati 3 derajat celsius dengan kemungkinan kesalahan 1,5 derajat celsius.”

Setelah laporan Charney ini, pemanasan global dan perubahan iklim telah menjadi konsensus dunia untuk pertama kalinya pada tahun 1985. Pada tahun itu, konferensi yang diinisiasi Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyepakati bahwa gas rumah kaca telah memicu pemanasan global dan bahwa dampak dan tingkat pemanasan itu tidak terelakkan oleh dunia.

“Charney Report adalah contoh dari hasil penting dan manfaat sains yang baik dan akurat,” kata peneliti iklim Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Siswanto.

Setelah 40 Tahun
Kini, 40 tahun sejak laporan ini, konsentrasi karbon dioksida rata-rata tahunan di atmosfer, sebagaimana diukur di Mauna Loa di Hawaii, meningkat sekitar 21 persen. Selama periode sama, suhu permukaan rata-rata global meningkat sekitar 0,66 derajat celsius. Itu berarti, jika penambahan karbon dioksida mencapai dua kali, maka Bumi akan bertambah panas sekitar 2,5 derajat celcius.

Kajian terbaru oleh kelompok internasional yang dipimpin Raphael Neukom dari Oeschger Center for Climate Change Research, University of Bern yang dipublikasikan di jurnal Nature Geoscience pekan ini menunjukkan periode terpanas di Bumi dalam 2.000 tahun terakhir kemungkinan besar terjadi pada abad ke-20.

–Suhu Bumi etrus meningkat sejak tahun 1600-an, bahkan saat ini suhu di Eropa mencapai rekor tertinggi. Sumber: WMO

“Memang benar bahwa selama Zaman Es Kecil itu umumnya lebih dingin di sejumlah bagiandunia, “jelas Raphael Neukom,” tetapi itu tidak terjadi di semua tempat pada saat yang sama. Periode puncak periode hangat dan dingin pra-industri terjadi pada waktu yang berbeda di tempat berbeda.”

Menurut dia, Zaman Es Kecil itu, terutama terjadi di Eropa dan sebagian Amerika, namun tak ada data pembanding di belahan dunia lain. Dengan demikian, tidak bisa disimpulkan hal ini terjadi secara global. Ada banyak faktor yang menyebabkannya, di antara letusan gunung api.

Sebagai contoh, letusan gunung api Tambora yang menyebabkan tahun tanpa musim panas di Eropa pada tajun 1815-1816. Sebelumnya, paa tahun 1257 juga terjadi letusan Gunung Samalas di kompleks Gunung Rinjani, yang diperkirakan lebih dasyat dari letusan Tambora. Letusan-letusan gunung api ini diperkirakan bisa mendinginkan bumi, namun sifatnya hanya sementara.

KOMPAS/ AGUS SUSANTO–Tim Ekspedisi Kompas Cincin Api beristirahat di punggungan menuju posko empat jalur Doropeti ke arah puncak Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat, Selasa (21/6/2011).

Para peneliti menunjukkan periode terpanas di Bumi dalam 2.000 tahun terakhir justru terjadi di abad ke-20. Selain itu, pemanasan global saat ini terjadi pada lebih dari 98 persen permukaan Bumi. Itu membuktikan perubahan iklim modern tidak dapat dijelaskan dengan fluktuasi acak seperti fenomena cuaca sebelumnya, tetapi oleh emisi antropogenik CO2 dan gas rumah kaca lainnya.

Studi Neukom dan tim ini menyimpulkan, suhu global rata-rata di abad ke-20 disebut lebih tinggi daripada sebelumnya dalam setidaknya 2.000 tahun. Tak hanya itu, periode pemanasan kini memengaruhi seluruh planet pada saat yang sama untuk pertama kali dengan kecepatan pemanasan global tidak pernah setinggi sekarang ini.

Hari-hari ini Eropa juga dilanda gelombang panas dengan suhu udara di banyak negara memecahkan rekor tertinggi. Contohnya, Belgia, Jerman, dan Belanda mengalami rekor suhu nasional tertinggi dengan rata-rata di atas 40 derajat celsius. Kota Paris di Prancis pun mengalami rekor terpanas 42,6 derajat celsius, yang merupakan suhu tertinggi sejak dilakukan pencatatan pada tahun 1630.

REUTERS/PASCAL ROSSIGNOL–Warga Paris bermain air di kolam Air Mancur Trocadero di depan Menara Eiffel di Paris saat gelombang panas mendera, Kamis (25/7/2019).

Gelombang panas pada bulan Juli ini mengikuti kejadian serupa pada Juni, yang sebelumnya juga mencatat rekor suhu baru di Eropa dengan suhu rata-rata dua derajat Celcius di atas normal. Juni juga merupakan bulan Juni terpanas di dunia.

Laporan studi para ilmuwan dari World Weather Attribution tentang kontribusi manusia terhadap gelombang panas Juni 2019 menyimpulkan, “Setiap gelombang panas yang terjadi di Eropa saat ini lebih intens akibat perubahan iklim yang disebabkan manusia.”

Studi ini juga menyebut, gelombang panas yang intens terjadi saat ini setidaknya 10 kali lebih sering dari pada seabad lalu. Gelombang panas diperkirakan terjadi tiap tahun jika suhu global naik 2 derajat celsius di atas suhu era pra-industri atau sebelum 1600-an. Jika pemanasan global 1,5 derajat celsius, peristiwa itu diperkirakan bakal terjadi tiap dua dari tiga tahun.

Dengan ekstremitas iklim yang meningkat ini, seharunya tak ada alasan bagi semua negara untuk memenuhi komitmen penurunan emisi karbon. Itu bisa dimulai dalam skala individu dengan pola hidup rendah emisi karbon, mulai dari menghemat energi hingga memilih menggunakan transportasi umum.

Oleh AHMAD ARIF

Sumber: Kompas, 27 Juli 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB
Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri
PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen
7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu
Berita ini 0 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 1 April 2024 - 11:07 WIB

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:17 WIB

PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:09 WIB

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya

Rabu, 3 Januari 2024 - 17:34 WIB

Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia

Minggu, 24 Desember 2023 - 15:27 WIB

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB