MUSIM hujan diperkirakan masih akan berlangsung hingga Maret mendatang. Namun, kondisi cuaca ini berpotensi terganggu abu vulkanik yang disemburkan Gunung Sinabung dan Gunung Kelud. Efek negatif dan positif akan muncul di sejumlah daerah.
Gunung berapi ketika meletus akan menyemburkan beragam senyawa kimia berbentuk padat, cair, dan gas. Material yang dilontarkan di antaranya adalah uap air (H2O), karbon dioksida (CO2), sulfur dioksida (SO2), asam klorida (HCl), asam fluorit, dan abu vulkanik.
Adapun abu vulkanik mengandung silika dan bermacam unsur mineral. Unsur yang dominan adalah sulfat, klorida, natrium, kalsium, kalium, magnesium, dan fluorit. Terdapat pula unsur lain yang berkonsentrasi rendah, seperti seng, kadmium, dan timah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penyemburan abu vulkanik ini tentu lebih jauh daripada material besar, seperti kerikil hingga bongkahan yang terlontar hanya dalam radius beberapa kilometer dari kawah. Abu berukuran beberapa mikron akan beterbangan sampai jarak ratusan bahkan ribuan kilometer, tergantung dari kekuatan semburan ke atmosfer dan kecepatan angin.
Sebaran abu dibagi tiga lapisan udara, yaitu dengan batas atasnya berturut-turut 3 km, 15 km, 40 km, dan di atas 40 km. Debu yang mencapai ketinggian di atas 40 km akan berdampak global. Karena debu akan menurun jauh di wilayah lain akibat adanya perputaran bumi.
Pada masa lalu, semburan abu dari gunung-gunung raksasa di Nusantara, seperti Toba, Krakatau, dan Tambora, menyebar ke seluruh dunia. Partikel halus itu melanglang buana setelah tersebar hingga ke lapisan udara atas, berjarak puluhan kilometer dari bumi. Debu ini terbawa angin dan lambat laun akan mengendap di lokasi bumi yang jauh karena faktor rotasi bumi.
Gunung Tambora di Sumbawa Nusa Tenggara Barat saat meletus 1815, misalnya, abunya mendarat di Jawa dan Kalimantan. Debu yang lebih halus dari gunung setinggi 4.300 meter ini—tertinggi di Nusantara kala itu—bahkan menyebar hingga ke Eropa dan Amerika Utara. Tutupan debu masif di lapisan atas atmosfer ini menyebabkan gangguan iklim dunia sehingga dua benua tersebut tak mengalami musim panas selama satu tahun sejak letusan Tambora.
Hal yang nyaris sama terjadi setelah Krakatau meletus. Gunung Krakatau yang meletus pada 1883, abunya pun mengitari bumi berhari-hari. Hamburan debu hingga ke Norwegia, Eropa, dan New York (Amerika Serikat). Akibatnya, selama 1,5 hari dunia gelap setelah itu cuaca redup selama setahun setelah Krakatau meletus 26 Agustus 1883.
Bagaimana dengan letusan Gunung Kelud 13 Februari lalu?
Gunung Kelud menyemburkan abu hingga ketinggian sekitar 15–17 km. Ketinggian ini merupakan puncak awan kumulonimbus yang terbentuk. Berdasarkan pantauan satelit meteorologi MTSat, arah abu ini berbeda-beda.
Arah angin di lapisan bawah, abu menyebar di seluruh Jawa Timur, dalam radius beberapa kilometer dari kawah. Sementara abu vulkanik yang masuk ke lapisan hingga 6 km mengarah ke timur.
Pada ketinggian di atas 6 km hingga 16,7 km penyebarannya bergerak ke arah barat. ”Debu inilah yang terbang hingga ke Bandung dan sekitarnya,” urai Kepala Bidang Informasi Kualitas Udara Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Mangasa Naibaho.
Efek pendinginan
Debu vulkanik dalam jumlah besar di lapisan troposfer menghalangi radiasi matahari masuk ke permukaan bumi. Bahkan, akan timbul efek pendinginan suhu bumi. ”Ini karena debu silika—material yang digunakan pada industri gelas dan kaca—akan memantulkan balik sinar matahari sehingga tidak sampai ke permukaan bumi,” kata Edvin Aldrian, Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG.
Fenomena ini mengakibatkan penurunan suhu udara di daerah di bawahnya, hingga memengaruhi sistem cuaca. Ini terjadi karena radiasi matahari sebagai unsur utama penggerak sistem cuaca. Tutupan debu ini jika berlanjut dalam jangka panjang akan memengaruhi iklim.
”Adapun untuk Kelud jika tidak lagi menyemburkan debu efek cuaca redup akan berlangsung hingga dua minggu mendatang di wilayah yang dilewatinya,” kata Edvin, pakar meteorologi itu.
Gangguan cuaca
Debu vulkanik akan turun ke permukaan tanah jika kecepatan angin berkurang dan suhu udara menurun. Karena itu, pada malam hari debu akan mengendap. ”Pencucian udara juga dapat terjadi jika hujan,” kata Edvin.
Hujan yang dipicu material debu memang dapat terjadi. Dalam abu vulkanik terdapat material utama dan paling ringan, yaitu silika bebas, yang mudah bereaksi dengan unsur kimia lain. ”Silika berhamburan dalam bentuk suspensi di atmosfer bersama unsur volatil belerang yang jumlahnya kecil,” kata Mas Atje Purbawinata, mantan Kepala Bidang Pengamatan Gunung Api Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi.
Senyawa garam dan sulfur yang bersifat higroskopis atau mengikat uap air ini berfungsi sebagai inti kondensasi. Unsur ini akan memicu terbentuknya awan hingga menjadi hujan. Sehingga meningkatkan curah hujan di daerah tersebut.
Namun, jika debu dalam jumlah yang masif atau sangat jenuh, efeknya justru mengganggu terbentuknya uap air sehingga curah hujan berkurang. Daerah yang terkena awan debu, terutama yang relatif dekat gunung berapi, itu akan terancam kekeringan. ”Efek kekeringan ini terjadi dari Sumatera Utara hingga Sumatera Barat yang terpapar debu Sinabung,” urai Edvin.
Adapun debu vulkanik Gunung Kelud saat meletus, pekan lalu, sekitar 90 persen jatuh di laut. Ketika mengendap di laut, unsur-unsur mineral pada debu vulkanik akan menyebabkan fertilisasi atau menyuburkan biota laut, termasuk ikan.
Oleh: YUNI IKAWATI
Sumber: Kompas, 17 Februari 2014